Yang Kita Tidak Bicarakan Ketika Berbicara Tentang Belis

Maumere, Ekorantt.com – Menjalankan tradisi tanpa memahami makna-maknanya, akan menimbulkan masalah lain. Salah satu tradisi itu adalah belis.

Saya menemui pasangan Robertus Nuri (32) dan Magdalena Sepe (32), di rumah mereka di Desa Nitakloang, pada Minggu, 6 Maret 2022. Magdalena baru saja pulang dari gereja, setelah membina anak-anak sekami (Sekolah Minggu). Ini adalah kesibukannya selain menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan Robertus adalah seorang guru SD.

“Kami bertemu di Kupang, waktu zaman kuliah dulu,” Magdalena menceritakan kepada saya di mana ia dan suaminya bertemu. Kampus mereka berbeda, namun sama-sama berkuliah pendidikan guru. Setelah berpacaran selama empat tahun, mereka mantap untuk melangkah ke jenjang perkawinan. Keduanya berkeluarga pada 2017 dan diberkati di gereja pada 15 November 2019.

Meski sama-sama berasal dari Kabupaten Sikka, Magdalena berasal dari suku Lio, Desa Paga, bagian barat Kabupaten Sikka. Sedangkan Robertus berasal dari Desa Nitakloang, Kecamatan Nita. Seperti pasangan-pasangan muda lainnya di Sikka, ikatan kasih Magdalena dan Robertus disahkan secara adat dan gereja. Rangkaian perkawinan adat pun dilakukan terlebih dahulu, sebelum pemberkatan secara Katolik dilakukan. Sebagaimana perkawinan adat di daerah ini, pihak laki-laki wajib mengantarkan belis atau mahar kepada keluarga perempuan sebagai ikatan antara kedua keluarga tersebut.

“Menurut saya, belis itu penghargaan kepada orang tua si perempuan. Yang kedua, belis adalah bentuk persaudaraan, supaya menjalin persaudaraan antara pihak laki dan perempuan. Contoh saja, jika kita tidak ada belis itu, berarti kita tidak saling mengenal antara keluarga laki-laki dan perempuan,” kata Robertus.

“Jadi belis itu harus dipertahankan,” Magdalena menambahkan.

Robertus dan Magdalena juga mengikuti kursus persiapan perkawinan yang wajib diikuti oleh pasangan-pasangan Katolik sebelum pemberkatan nikah dilakukan. Kursus ini bertujuan untuk membina calon-calon pasangan dalam mendirikan kehidupan keluarga mereka agar harmonis menurut ajaran Katolik dan norma-norma setempat. Kursus ini berlangsung selama beberapa hari dengan materi yang berbeda, seperti: Sakramen Perkawinan, Kitab Suci, Kesehatan Keluarga, Komunikasi, hingga KDRT.

Paroki St. Mikael, tempat Robertus dan Madgalena diberkati, turut menghadirkan perkawinan adat, nilai-sebagai materi dalam kursus persiapan perkawinan Katolik. Tujuannya adalah menggali kembali nilai luhur perkawinan adat yang diturunkan secara lisan dalam keseharian.

“Tahun 2019 itu, kami diajarkan juga tentang istilah-istilah adat sebagai pasangan suami istri.” Kata Magdalena. “tapi pakai bahasa Sikka.”

Sebuah istilah adat yang Robertus kenal adalah “bihing wain, to’en lopa tegor.” Dalam bahasa Indonesianya memberi makan, tulang jangan tegang.

“Khusus seorang pria, harus bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya, harus memenuhi kebutuhan rumah tangganya.” Jelas Robertus.

Bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, belis atau mahar adalah syarat penting dalam perkawinan. Perkawinan tidak hanya dilihat sebagai jalinan kasih antara dua orang (perempuan dan laki-laki), namun juga jalinan persaudaraan antara kedua keluarga mempelai pria dan wanita. Belis mengambil posisi untuk mempererat persaudaraan tersebut. Belis, dalam tradisi Sikka, diberikan keluarga pria berupa gading, kuda, uang tunai, dan lain-lain. Belis ini kemudian akan dibalas oleh pihak wanita dalam bentuk babi, sarung, beras, moke, dan lain-lain.

Dalam praktiknya, nilai-nilai dalam tradisi belis tidak turut dimaknai. Makna-makna belis tidak selalu diturunkan, tidak dipelajari oleh generasi muda secara mendalam, dan pelan-pelan terkikis, sehingga belis dilihat sebagai beban, bersifat transaksional, dan menjadi alasan KDRT.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan-Flores (TRUK-F), melaporkan bahwa selama 2013, ada lima korban yang mengaku bahwa belis menjadi pemicu dari kekerasan dalam rumah tangga.

Di kesempatan lain, saya  bertemu dengan Nina (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan yang mengalami KDRT dari keluarga sang suami. Mereka menikah pada Oktober 2019. Setelah penghantaran belis dilakukan setahun sebelumnya, Nina memutuskan untuk ikut suami (plari depo) dan tinggal bersama mertua dan ipar. Perlakuan yang tidak mengenakkan ia dapati setelah 2-3 bulan ia tinggal bersama keluarga barunya tersebut.

“Saya merasa tertekan. Jika ada kesalahan kecil yang saya buat, mereka (mertua dan ipar) akan ungkit soal belis.” Kata Nina.

“Mereka selalu mengungkit belis yang diberikan. Balasan dari pihak perempuan tidak sesuai dengan yang mereka inginkan. Jadi sepertinya, tidak usah ada belis saja,” katanya. “Urusan belis kan urusan keluarga besar. Tapi mertua selalu sebut keluarga ini bawa ini itu. Saya ‘kan tidak tahu,” Nina mengatakan bahwa pertemuan kedua keluarga sudah selesai dan tidak ada masalah, sehingga seharusnya ia tak perlu mendengarkan kalimat-kalimat yang memperhitungkan belis tersebut.

“Ada trauma. Saya sampai berpikir untuk pulang ke rumah orang tua.” Ujar Nina. “Mungkin karena mereka (keluarga suami) sudah kasih belis banyak toh, jadi mereka anggap, eh, kita sudah bawa orangnya, jadi mereka seenaknya.”

Nina menyadari bahwa tidak semua perempuan di Sikka mengalami kekerasan rumah tangga karena belis.

“Tidak semua perempuan ini ditindas karena belis. Mungkin hanya orang tua yang pikirannya sempit. Jika keluarga yang terbuka, mungkin tidak seperti yang saya alami,” katanya lagi.

“Menurut saya, belis jangan terlalu (banyak), karena beban batin. Nanti kita yang menjalankan (rumah tangga), akan beban batin.” Ia menutupnya demikian dengan tarikan nafas yang menggigil.

Karena ia tidak tahan dengan perlakuan keluarga suami, setelah melahirkan anak pertama mereka, ia dan suami memutuskan untuk keluar dari rumah.

Victor Nekur Orinbao (Foto: Dok. Pribadi)

Salah Kaprah Soal Belis 

Jika yang kerap kali dilihat oleh masyarakat adalah belis menjadi alasan terhadap KDRT, Viktor Nekur, seorang aktivis hukum adat sejak 2012, tidak setuju dengan pernyataan itu.

“Ada beberapa kasus yang terjadi, itu karena proses perkawinan adat, atau proses fungsional adatnya tidak tuntas. Contohnya saat mertua mencampuri urusan keluarga terlalu banyak. Ini bukan belisnya, tetapi unsur adatnya yang tidak terselesaikan, karena di dalam adat tidak dijelaskan bagaimana seorang istri menghargai mertuanya dan bagaimana seorang suami menghargai mertuanya,” jelas Viktor.

Menurutnya, lembaga adat seharusnya bertanggung jawab terhadap perkawinan adat dan tradisi belis ini. Pada zaman dulu sebelum pemerintah kolonial datang dan memberi pengaruh ke Indonesia, lembaga adat atau tana pu’an-lah yang memiliki otoritas dalam mengesahkan perkawinan adat. Akan tetapi, akibat dari pengaruh kolonial tana pu’an menjadi tidak cukup kuat di masyarakat, sehingga yang bertanggung jawab terhadap perkawinan adat adalah keluarga besar, bukan lagi lembaga adat atau tana pu’an.

Viktor juga menjelaskan, ada tiga aspek penting yang mempengaruhi sebuah hukum yang bagus yaitu struktur hukum, substansi atau materi hukum, dan budaya hukum.

“Di adat ini, ketika struktur adatnya hilang atau redup, maka materi hukumnya terbang bebas. Bagaimana kita akan mendapatkan suatu budaya hukum yang bagus?” katanya. Hal inilah yang menyebabkan pergeseran akan makna-makna dalam belis tersebut.

Penurunan nilai-nilai belis terdistraksi dengan perkembangan zaman, sehingga menjalankan tradisi belis bisa terjadi tanpa dibarengi dengan pengetahuan dan kesadaran terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai belis harus dijalankan secara benar.

“Saat orang mengantar belis, ada satu istilah adat namanya tudi hit gebi, poron song garan. Bahasa Indonesianya pisau ditaruh di dinding dan parang diletakkan di atas para-para. Istilah adat ini diartikan dalam bentuk kuda dan uang. Artinya untuk menandakan dan menjaga perempuan agar tidak boleh diganggu oleh orang lain karena sudah ada yang meminangnya dengan pisau dan parang.” Kata Viktor.

“Keluarga perempuan punya tanggung jawab untuk menjaga anak perempuan ini dan keluarga laki-laki juga jangan buat yang sembarang karena sudah dipinang. Semua itu harus dipahami unsur-unsurnya,” tambahnya.

Tiap-tiap barang hingga hidangan dari mahar, syair dan istilah-istilah adat, serta kehadiran-kehadiran tiap individu, selalu mewakili makna-makna yang syarat dari tradisi belis.Pada dasarnya belis diartikan sebagai sebuah bentuk penghargaan yang diberikan kepada seorang laki-laki kepada perempuan. Namun,  saat pemahaman tentang belis semakin memudar, maka memunculkan masalah-masalah lain.

Dosen Ilmu Komunikasi dan pemerhati perempuan, Rini Kartini

Belis dan Pandangan Bias Gender Dalam Masyarakat

Ditemui di tempat berbeda, Dosen Ilmu Komunikasi dan pemerhati perempuan, Rini Kartini juga sepakat bahwa ada pemahaman soal adat yang keliru dalam masyarakat terkait belis. Hal ini diperburuk dengan pandangan bias gender yang mengakar.

“Bias gender ini terjadi karena patriarki yang kuat, yang melihat perempuan sebagai hak milik. Tak hanya itu, ada konstruksi yang keliru terhadap belis ini. Hal ini terjadi karena adat tidak dilaksanakan dengan seksama dan lembaga adat tidak hidup,” kata Rini.

Ia menambahkan bahwa, pandangan patriarki yang kuat menyebabkan perempuan dipandang sebagai ‘hak milik’, sedangkan belis sendiri diterapkan untuk menghargai perempuan. Patriarki menyebabkan perempuan berada di posisi kedua dalam kelas sosial, serta pemahaman yang keliru dari belis menyebabkan bias gender yang semakin melebar.

“Ketidakpahaman akan belis ini dikarenakan pengetahuan-pengetahuan akan makna belis termasuk kewajiban perempuan dan laki-laki yang sudah melewati proses belis tidak sampai kepada mereka. Distribusi pengetahuan ini mandek. Inilah yang menjadi masalah, sehingga belis terkesan transaksional.” tambahnya.

Menurut Rini, berbicara tentang belis adalah sesuatu yang kompleks, karena hal ini bukan hanya masalah dari pihak perempuan atau laki-laki, namun ada banyak hal yang mempengaruhinya. Semua pihak perlu duduk bersama untuk menghidupkan kembali lembaga adat. Lembaga adat pun tidak bisa hidup sendiri, namun membutuhkan dukungan dari banyak pihak seperti lembaga pendidikan, opinion leader, dan media. Gereja, sebagai sebuah lembaga yang mengukuhkan perkawinan turut serta berperan terhadap relasi sosial setiap individunya.

Peran Penting Gereja dalam Mengatasi Kekeliruan Soal Belis

Perkawinan adat turut memperkuat sakralnya perkawinan Katolik mengingat perkawinan adat selalu didahulukan oleh keluarga-keluarga di kabupaten Sikka pada umumnya. Hal inilah yang disadari betul sehingga Paroki Nita memberikan pemahaman tentang perkawinan adat melalui Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) Katolik.

“Ketika perkawinan adat tidak ‘dianggap’ oleh banyak orang, saya mengangkatnya. Perkawinan adat ini menjaga sakralnya perkawinan (Katolik), supaya karya Tuhan beranjak dari perkawinan ini.” Kata Viktor Nekur.

Viktor yang menjabat sebagai Ketua Seksi Keluarga (dalam Dewan Pastoral Paroki: lembaga yang membantu kerja-kerja pastoral), turut membawakan materi ‘Memahami Perkawinan Adat’. Ia mengajak pasangan-pasangan yang mengikuti kursus untuk menggali kembali nilai-nilai adat yang sudah terkikis di masyarakat dan mempertegasnya.

Pemahaman Perkawinan Adat yang diberikan melalui KPP ini dilakukan sejak 2017. KPP dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun. Biasanya setelah masa paskah dan sebelum masa adven. Tak hanya melalui KPP, dalam kunjungan misa stasi-stasi (bagian kecil dari paroki), bahasa-bahasa adat, hukum-hukum adat ini kerap diobrolkan bersama masyarakat, seperti cara mendidik anak, tabe telan atau tata krama, dan lain-lain. Dengan menjadikannya sebagai wacana, pengetahuan dan makna-makna belis dapat dilakukan perlahan-lahan. Keluarga-keluarga Katolik menjadi sel terkecil untuk menghidupi pemahaman nilai-nilai belis ini.

Magdalena dan Robertus adalah satu dari sekian pasangan yang mengikuti kursus persiapan perkawinan di Paroki St. Mikael, Nita. Usia pernikahan mereka baru menginjak 2 tahun. Keduanya membangun keluarga, sambil mengaplikasikan nasehat-nasehat adat yang mereka dapat dalam keseharian di samping menjalani peran masing-masing. Magdalena menjalani perannya sebagai seorang istri, termasuk tugasnya memberi makan leluhur, dan Robertus, sambil menghidupi keluarga kecilnya, ia mempelajari tradisi belis dengan ikut serta dalam pertemuan adat ketika ada keluarga yang hendak menikah.

Oleh Karolina Karmadina, mahasiswa Jurnalistik Universitas Nusa Nipa, volunteer Maumere TV. Tertarik dengan isu keberagaman sejak 2 tahun terakhir. Karya ini didukung dari hasil kerja sama PKBI dan Koalisi Masyarakat Anti Kekerasan Seksual

spot_img
TERKINI
BACA JUGA