Oleh: Bernardus Tube Beding*
Pembeda negara demokrasi dengan negara otoriter pada kehadiran pihak oposisi. Peneliti Media Survei Nasional (Median), Ade Irfan Abudurrahman menilai bahwa peran oposisi dalam demokrasi sangat penting; sebagai penyeimbang pemerintahan. Bukan untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi melakukan fungsi kontrol terhadap kebijakan dan meminimalisir upaya penyalahgunaan kekuasaan.
Oposisi berfungsi sebagai watchdog untuk menjaga agar pemerintah tidak otoriter, dan tidak seenaknya mengeluarkan kebijakan. Ketika pemerintah keluar jalur, oposisi berdiri paling depan untuk meluruskan.
Oposisi tidak sekadar ada, tetapi hadir membangun kekuatan yang seimbang dengan koalisi sehingga ada dinamika dalam penentuan kebijakan.
Era sekarang ini sepertinya muncul konstruksi wacana bahwa oposisi sebagai pengganggu pemerintah. Ini yang harus diluruskan. Padahal oposisi berfungsi agar kekuasaan tetap on the track dan bukan menjadi penghalang berjalannya pemerintahan. Kehadiran oposisi bukan sebagai lawan dalam roda pemerintahan.
Dalam sistem demokrasi, kekuatan oposisi sangat penting. Keberadaannya dibutuhkan untuk mengontrol dan mengawas pemerintah, sehingga dapat meminimalisir kemungkinan munculnya sikap kesewenangan penguasa.
Bahkan, oposisi acap kali dijadikan rujukan untuk menilai, apakah suatu pemerintahan itu demokratis atau tidak. Karena pemerintahan yang memungkinkan ada dan berperannya kelompok oposisi dipandang demokratis. Sementara pemerintah yang tak membuka ruang bagi kelompok oposisi dipandang tidak demokratis.
Dalam pemerintahan suatu negara yang menganut sistem parlementer, oposisi sangat mudah hadir. Perannya terus berusaha mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Ketika mengetahui kesalahan pemerintah, misalnya, oposisi berusaha “menggoreng”nya dengan tujuan menjatuhkan melalui mosi tidak percaya. Tentu, peran oposisi model demikian tidak berlaku pada sisitem pemerintahan presidensial.
Sistem presidensial menitikberatkan jangka waktu kekuasaan yang jelas. Misalnya, kekuasaan pemerintahan dalam jangka waktu empat tahun, maka peran oposisi hanya bisa menggantikan pemerintahan dalam suatu pemilihan ketika masa jabatan kepemimpinan sudah berakhir.
Sistem kepartaian dalam pemerintahan juga sangat berpengaruh. Sistem “dwi” partai memungkinkan oposisi lebih mudah hidup, baik dalam sistem parlementer maupun presidensial. Sementara sistem “banyak partai” dapat menghadirkan praktik berpolitik yang sangat cair, kalau tidak disebut pragmatis.
Kalau kita melihat kembali dalam pemerintahan negara Indonesia, oposisi telah terjerembap ekstremisme pada masa-masa awal kemerdekaan. Masa selanjutnya kurang lebih empat dekade (1959–1998), oposisi mengalami pengucilan, bahkan dicap sebagai tidak sesuai dengan jati diri bangsa dan dianggap sebagai salah satu biang penyebab ketidakstabilan. Akibatnya, oposisi menjadi mati suri.
Masa-masa itu telah cukup menimbulkan kegamangan penyikapan rakyat dan bahkan elite atas oposisi. Dampaknya kesadaran dan penguatan oposisi setelah rezim-rezim otoriter berakhir, tidak serta-merta terjadi.
Sementara di masa reformasi hingga pascareformasi, oposisi dianggap bukan pilihan yang menguntungkan. Sehingga terbangunlah pemerintahan yang berkecenderungan kartel, ketika potensi oposisi terserap menjadi bagian pemerintahan. Dengan posisi itu untuk mencari keuntungan dari berbagai fasilitas negara.
Pemerintah dan sebagian besar masyarakat seakan masih melihat oposisi sebagai pelengkap yang tidak perlu. Bahkan, menguatnya (kembali) peran kaum oligarki dan pragmatisme politik yang meninggi.
Alhasil komitmen oposisi senantiasa mengalami guncangan. Sikap merasa nyaman dan perlu untuk terus berada dalam arus kekuasaan tetap lestari.
Belakangan ini semakin terlihat difasilitasi dengan kekuasaan dan kekuatan material yang besar dan menjanjikan, terutama dari kalangan oligarki. Dalam nuansa itulah, perilaku politik partai-partai dan sebagian besar masyarakat tidak sepenuhnya sejalan dengan hakikat dan watak oposisi sesungguhnya. Pola-pola mendekat pada kekuasaan koalisi terus terjadi, sementara komitmen menjadi oposan yang genuine tidak juga menguat.
Strategi Koalisi
Dalam masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, kaum oposisi tampak semakin memperlihatkan kelemahan. Pengangkatan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan menjadikan partai oposisi dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf berkurang dan roda pemerintahan tampak tak imbang.
Pihak oposisi tinggal PKS, Demokrat, dan PAN. Namun, dalam perjalanan PAN menyatakan diri mendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf melalui Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PAN pada 31 Agustus 2021.
Apalagi muncul isu reshuffle dengan memasukkan PAN ke dalam kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma’ruf Amin, ketika Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan bertemu dengan Presiden Jokowi pada Senin, 7 Maret 2022 lalu.
Bahkan, secara terang-terangan Zulkifli mengusulkan kepada Jokowi agar Ketua Dewan Pertimbangan PAN, Soetrisno Bachid dapat duduk di pemerintahan.
Presiden Jokowi memiliki strategis yang cukup mahir dalam mengatur kelompok oposisi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Jokowi memang lebih kuat daripada partai mana pun.
Awalnya memang Jokowi diatur partai. Sekarang Jokowi yang mengatur parlemen dan partai politik. Padahal kelompok oposisi memiliki peran penting untuk membongkar kebijakan Presiden Jokowi yang tidak pro kepada kepentingan rakyat saat ini.
Satu sisi, oposisi pada tingkat nasional tidak dapat dibanding lurus dengan apa yang terjadi di daerah. Misalnya, Partai Demokrat bisa bergandengan dengan PDIP dalam membangun kekuatan pemerintahan di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Ini merupakan jalinan oposisi “lawan” bisa menjadi “kawan” yang baik pada situasi dan kepentingan masyarakat daerah.
Realitas semacam itu menggambarkan oposisi dalam demokrasi kita sepertinya tidak mudah dilakukan. Selain tidak didukung desain kelembagaan politik yang ada, juga oleh praktik politik sehari-hari, bahkan termasuk budaya politik kita.
Sangat tampak bahwa saat kesadaran beroposisi mulai tumbuh, bangsa Indonesia sepertinya dibawa Jokowi masuk ke pusaran sistem politik yang tidak lagi menghendaki adanya oposisi. Dengan berbagai alasan yang diindoktrinasi secara sistematis dan represif oleh kekuatan dan strategi Jokowi, oposisi bisa dikatakan sedang dicoba untuk dilenyapkan.
Kekuasaan merangkul oposisi dan perlahan membawanya ke koalisi menunjukkan bahwa oposisi bukanlah bagian dari budaya politik kita. Akhirnya muncul argumentasi bahwa demokrasi kita tidak terlepas dari nilai-nilai yang telah lama mengakar di dalam masyarakat, seperti nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan, serta yang bermuara pada adanya kerja sama, dan bukan nilai-nilai yang mengedepankan nilai-nilai individualisme yang bermuara pada persaingan.
Pertanyaan muncul, “Apakah dengan demikian praktik demokrasi yang kita miliki sulit diberi penilaian sebagai ‘demokratis’?” Kalau kita merujuk pada apa yang dikatakan Robert Dahl, dua dimensi penting dari demokrasi adalah adanya public contestations dan the right to participate.
Dimensi pertama terkait adanya persaingan dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik melalui pemilu yang demokratis. Sementara dimensi kedua terkait keterlibatan publik dalam penentuan pejabat publik yang akan dipilih, dan dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan itu.
Dalam konteks semacam itu, ada tidaknya oposisi bukanlah suatu keharusan di dalam demokrasi. Dalam demokrasi, kata Robert Dahl (1971), yang terpenting adalah adanya “the continuing responsiveness of the government to the preferences of its citizens, considered as political equals”.
Pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintahan yang terpilih secara demokratis melalui kompetisi yang sehat. Sementara, setiap warga negara dipandang secara sama dan memiliki hak di dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan publik.
Meski demikian, kemunculan pemerintahan yang responsif membutuhkan pengawalan-pengawalan, baik yang berfungsi melaksanakan kebijakan-kebijakan, maupun yang berfungsi sebagai pengingat agar pemerintahan itu terus berjalan baik. Artinya, dalam demokrasi adanya orang atau kelompok yang terus-menerus menjadi pengingat perlu mendapat tempat. Orang atau kelompok itu bisa datang dari partai(-partai) yang kalah di dalam pemilu ataupun dari internal pemerintahan sendiri. Hal yang paling penting adalah nilai kekritisan pihak tersebut agar pemerintahan diarahkan untuk mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Lebih dari itu, oposisi di tengah koalisi bukan lawan, tapi kawan. Karena itu, seperti harapan Firman Noor (2016), perlu ada upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti oposisi dan revitalisasi partai politik.
Tujuannya adalah agar muncul kesadaran yang lebih tepat akan demokrasi dan oposisi di level masyarakat serta meningkatkan kapabilitas partai dalam menjalankan peran demokratiknya, termasuk kemampuan partai dalam beroposisi.
Upaya-upaya yang dapat menguatkan peran oposisi baik dalam makna kesadaran dan tradisi ataupun struktural (lembaga-lembaga demokrasi dan aturan main) harus dilakukan agar kualitas demokrasi di Indonesia semakin membaik.
*Penulis adalah Dosen PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng