Ruteng, Ekorantt.com – Bupati Manggarai, Herybertus G L Nabit, meluncurkan Rumah Restorative Justice, pada Rabu (20/7/2022).
Sementara Herybertus G.L Nabit dalam sambutan menyampaikan, bahwa menetapkan Mbaru Wunut sebagai tempat menyelesaikan masalah hukum adalah mengedepankan keadilan restoratif, maka kita juga mengadopsi nilai-nilai warisan leluhur orang Manggarai yaitu lonto leok (duduk melingkar).
“Karena sejak dahulu, apabila ada pihak-pihak yang bermasalah maka akan dipanggil di rumah adat (mbaru gendang) yang difasilitasi oleh tua-tua adat untuk memusyawarahkan penyelesaian masalah yang terjadi, sehingga keputusan yang diambil dapat memuaskan semua pihak,” katanya.
Bupati Hery bilang, terkait dengan konsep Rumah Keadilan ini, tentunya harus dipahami bahwa tidak semua tindak pidana masuk dalam kategori yang bisa diselesaikan melalui pendekatan seperti itu.
Ia pun menyampaikan apresiasi karena terobosan Kejaksaan Agung RI merupakan tanda-tanda awal terwujudnya penegakan hukum pidana sesuai asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, dan independen demi keadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Tentu ini adalah satu hal yang sangat positif untuk kita semua masyarakat Kabupaten Manggarai, sebagai salah satu alternatif penyelesaian permasalahan hukum secara damai tanpa paksaan, sehingga tidak sampai dilanjutkan ke meja hijau. Ini sangat luar biasa,” pungkasnya.
Lebih lanjut, peluncuran tersebut ditandai dengan pemukulan gong yang didampingi Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai, Bayu Sugiri didampingi Ketua DPRD Kabupaten Manggarai, Matias Masir dan Kapolres Manggarai, AKBP Yoce Marten.
Dalam kesempatan tersebut, Bayu Sugiri menjelaskan bahwa Rumah Restorative Justice adalah tempat untuk dilakukannya pertemuan, musyawarah atau mediasi para pihak yang terlibat dalam persoalan hukum pidana (sebagai pelapor dan pihak terlapor) ataupun tersangka dan korban yang memiliki kehendak untuk menyelesaikan melalui proses penuntutan dan peradilan.
“Sehingga saya optimis dan apresiasi ketika Bapak Bupati yang telah menyarankan Mbaru Wunut adalah tempat yang tepat untuk menjadi pertemuan penyelesaian kasus secara damai, di mana permasalahan hukum di luar pengadilan jaksa penuntut umum bertindak sebagai fasilitator, sehingga terbangunnya kesepakatan kedua belah pihak,” kata Sugiri.
Dalam pertemuan restorative justice, tentu dihadiri oleh lembaga adat, pemerintah desa, kecamatan, pihak kepolisian, dan kejaksaan sebagai fasilitator. Hal ini seiring dengan nilai-nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakat Manggarai berupa adanya tatanan lembaga masyarakat adat.
Sehingga, kata dia, hal ini juga sangat relevan dengan semangat restorative justice, di mana adanya kehendak dan kesepakatan antara korban dengan tersangka untuk tidak melanjutkan sampai proses penuntutan dan peradilan dengan dipenuhi langkah pemulihan korban, sehingga kembali pada posisi semula sebelum terjadinya permasalahan hukum.
“Bahwa untuk memastikan pemulihan aspek ketercelaannya dan pemulihan kerugian korban tidak terlepas juga dari peran serta tokoh lembaga adat, kepala desa, dan tokoh masyarakat,” jelasnya.
Sugiri berpendapat, restorative justice berdasarkan pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Pasal 139 KUHAP sebagai implementasi dari asas domunus litis yang memberikan kewenangan penuh bahwa penetapan dan pengendalian kebijakan penuntutan hanya berada di satu lembaga kejaksaan.
Kemudian UU Nomor 11 Tahun 2021 yang mendasarkan pada asas oportunitas atau menyampingkan perkara demi kepentingan umum.
Dalam penjewantahannya, Jaksa Agung RI telah melakukan kebijakan yang merupakan terobosan hukum (progresive law), yakni Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan dengan cara restorative Justice dan secara teknis berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI Nomor: B-475/E/E5.2/02/2022 tentang pembentukan Rumah Restorative Justice.
Dikatakan, terobosan hukum dalam tahapan penuntutan oleh kejaksaan berupa penghentian penuntutan melalui cara restorative Justice, dalam pelaksanaannya tentu membutuhkan tempat yang lebih menyatu, dan memiliki nilai histori dengan masyarakat Kabupaten Manggarai.
“Setelah ditindaklanjuti oleh Bagian Hukum Sekda Manggarai dan koordinasi dengan Kasi Tindak Pidana Umum, maka rumah RJ ini kita kenal dengan Rumah Restorative Justice ‘Mbaru Wunut Lonto Leok‘,” terangnya.
“Ini bukan kepentingan kejaksaan semata, tapi kepentingan pemerintah daerah dan kepentingan masyarakat Manggarai, khususnya untuk mendapatkan kepastian hukum berdasarkan pada keadilan,” tambahnya.
Sugiri mengemukakan bahwa metode ini tentu berlaku terhadap perkara yang sudah dilakukan proses penyidikan oleh pihak kepolisian, lalu muncul kehendak masyarakat untuk tidak diproses lebih lanjut, di mana sudah dilakukan pemulihan kerugian korban dan telah melakukan perdamaian, sepanjang memenuhi syarat untuk dilakukan restorative justice.
Adapun persyaratan penyelesaian hukum melalui restorative justice, di antaranya ancaman hukuman maksimal 5 tahun, kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta, tersangka bukan pelaku pengulangan (recidivice), jaksa menilai tingkat ketercalaannya rendah, dan motif tersangka melakukan kecendrungan yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan.
“Penyelesaian di luar pengadilan jauh lebih bermanfaat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang berhadapan hukum tersebut, maka upaya restorative justice dapat diproses,” tandasnya.