Dewasa ini, para penyandang disabilitas berjuang dalam tekanan stigma yang kuat. Masyarakat mengenal mereka sebagai individu yang tak berdaya. Mereka juga terus mengalami stigma yang menyebabkan kualitas diri dan kemanusiaan mereka mati.
Sadar atau tidak, stigma itu menghancurkan, melukai, dan secara tidak langsung membunuh. Mengapa? Karena ia lahir dari pikiran, pandangan, atau kepercayaan negatif.
Biasanya, hal-hal negatif menjadi senjata yang ‘mengikis’ harkat dan martabat kemanusiaan seseorang. Di lain sisi, masyarakat menganggap yang negatif sebagai hal biasa dan mempraktikkannya secara berulang.
Jika lingkungan masyarakat masih memegang stigma sebagai kebiasaan, dampaknya, penerima stigma yang juga adalah subyek akan mengalami sakit seumur hidup.
Dalam buku Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity yang ditulis oleh sosiolog Erving Goffman pada tahun 1963, ia menulis: “Stigmatized people are those that do not have full social acceptance and are constantly striving to adjust their social identities: physically deformed people, mental patients, drug addicts, prostitutes, etc”.
Artinya, orang yang terstigmatisasi adalah mereka yang tidak memiliki penerimaan sosial penuh dan terus-menerus berusaha untuk menyesuaikan identitas sosial mereka: orang cacat fisik, pasien gangguan jiwa, pecandu narkoba, pelacur, dll.
Apa yang ditulis Erving terbukti. Gaspar Gaa Aja (39) dari Dusun Sipi, Desa Ulupulu, Nangaroro, Matheus Mega dari kampung Raja bersama rekannya Nikwardus Lado adalah manusia unik dengan kecerdasan humanitas yang tinggi.
Mereka melawan stigma, memulihkan persepsi publik yang mengandung hal-hal berbau negatif. Intimidasi dan sarkasme membawa mereka keluar dari ‘kubur kematian’ dan bangkit sebagai manusia yang bernilai.
Tentu, tugas kita sebagai manusia normal adalah bertanggung jawab atas apa yang menjadi budaya buruk itu. Kepada pemerintah, bangunlah komunitas penyandang disabilitas di semua kabupaten!
Tidak hanya itu, Dinas Sosial harus menjadi pelancar untuk mendata jumlah penyandang disabilitas. Dengan demikian, ketika mereka benar-benar ada sesuai jumlah, kita mendukung opus manuale mereka.
Tujuannya, memanusiakan mereka seperti kita memanusiakan diri kita sendiri!