Oleh: Gerardus Kuma*
Guru itu profesi mulia. Kemulian profesinya terletak pada tanggung jawab mewujudkan cita-cita kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini termanifestasi dalam tugas mendidik, menuntun, membimbing, dan mengajar. Tugas guru sungguh mulia; bagaimana menjadikan anak yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak tahu menjadi tahu.
Orang yang memilih menjadi guru mengetahui jalan panggilan yang dilalui sebagai guru. Dengan pilihan ini berarti bersedia untuk berpeluh di jalan keguruan. Dalam profesinya, guru tidak hanya mentransferkan pengetahuan semata. Tetapi lebih dari itu adalah kesetiaan menemani murid untuk membentuk sikap hidup yang luhur.
Jalan panggilan ini menuntut guru menjadikan dirinya inspirator, motivator, dan panutan bagi siswa. Guru tidak hanya mengajar lewat kata-kata, tetapi juga mendidik melalui tindakan. Sebagaimana dilukiskan dalam pepatah Jawa, guru adalah digugu dan ditiru yang artinya guru adalah sosok yang menjadi panutan. Atau dalam bahasa Ki Hajar Dewantara; guru harus bersikap “ing ngarso sungtulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.
Marsudi Kisworo (2016: 66-67) menjelaskan tiga tugas panggilan guru yaitu tugas profesi, tugas kemanusiaan, tugas kemasyarakatan. Tugas profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih-mengembangkan keterampilan murid. Tugas kemanusiaan yaitu di sekolah guru dituntut menjadi orang tua kedua bagi siswa. Memberikan motivasi dan menjadikan dirinya panutan siswa.
Tugas kemasyarakatan yaitu peran guru di tengah kehidupan masyarakat dalam membantu masyarakat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. kehadiran guru harus memberikan manfaat dan membawa dampak dalam kehidupan masyarakat. Guru menjadi teladan dan sumber inspirasi dan informasi bagi masyarakat.
Kesejahteraan Guru Honorer
Menjalani panggilan menjadi guru di Indonesia tidaklah mudah. Walau tugas guru begitu mulia, namun kondisi hidup, terkhusus guru honorer, masih amat memprihatinkan. Guru honorer belum mendapat jaminan kesejahteraan yang memadai. Tanggung jawab yang berat dalam mendidik anak bangsa belum mendapat imbalan yang setimpal.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh status kepegawaian yang disandang. Secara faktual, berdasarkan status kepegawaian, ada dua jenis guru, yaitu guru ASN (PNS dan PPPK) dan guru honorer. Guru ASN adalah guru yang diangkat dan digaji oleh pemerintah sesuai perarutan perundang-undangan. Sedangkan guru honorer diangkat dan digaji oleh komite sekolah atau yayasan. Gaji guru honorer disesuaikan dengan kemampuan keuangan komite atau yayasan. Penanda pada dua jenis guru ini adalah NIP. Guru ASN memiliki NIP, guru honorer tidak ada NIP.
Dilansir Kompas.id (23/11/2020) dari laman statistik.data.kemdukbud.go.id tahun ajaran 2019/ 2020, jumlah guru dengan status PNS sebanyak 1.288.336 orang (47,75%) dan honorer sebanyak 1.973.303 orang dengan rincian: guru tetap yayasan 420.238 (15,57%). Sementara itu jumlah guru tidak tetap meliputi guru bantu 564 orang (0, 02%), guru honorer daerah 201.242 orang (7, 46%), dan guru tidak tetap 787.823 (29, 20%).
Pembedaan status kepegawaian ini membawa konsekuensi serius pada dua hal berikut. Pertama, gaji. Gaji guru ASN sangat layak karena sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Sebaliknya, gaji guru honorer sangat jauh dari layak. Besarannya sangat bervariasi karena disesuaikan dengan keuangan yayasana atau komite.
Nominalnya tidak perlu disebut karena akan menambah derita guru honorer. Sudah menjadi rahasia umum, gaji guru honorer tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tidak heran guru honorer harus melakoni profesi ganda. Mengajar sambil memelihara ternak, menyambi jadi tukang ojek, menjual koran, dll.
Saya sungguh merasakan dan mengalami derita menjadi guru honorer. Tahun 2013-2015, saya mengabdi sebagai guru honorer dengan upah yang tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup. Karena itu pekerjaan menjadi tukang ojek, penjual koran, penjual kantong plastik saya jalani.
Kedua, kewenangan. Guru ASN punya kewenangan yang besar di sekolah. Guru honorer, sebaliknya, punya kewenangan yang terbatas. Di sekolah negeri, dalam hal tertentu, karena status sebagai honorer, kewenangan guru dibatasi. Seorang guru honorer, tidak akan bisa menjadi kepala sekolah. Atau menjadi bendahara BOS. Pembatasan wewenang ini menempatkan guru honorer sebagai warga “kelas dua”.
Guru Bangsa
Walau memiliki status kepegawaian yang berbeda, tanggung jawab guru ASN dan honorer sama. Bahkan dalam situasi tertentu, beban kerja guru honorer lebih besar dari guru ASN. Guru ASN, dengan tugas tambahan yang banyak, kadang meninggalkan kelas berhari-hari. Dalam situasi ini, guru honorer yang selalu stand by di sekolah, harus mengisi kekosongan kelas yang ditinggalkan.
Kesejahteraan yang memprihatinkan dan kewenangan yang diamputasi seperti ini, sebenarnya sangat mudah bagi guru honorer untuk resign dari sekolah. Namun guru honorer memilih bertahan karena anak-anak di sekolah membutuhkan guru. Dari data yang ditampilkan di atas, secara kuantitas, jumlah guru honorer lebih banyak dari guru ASN. Karena itu bila guru honorer mengundurkan diri, pendidikan praktis akan lumpuh karena tenaga guru honorer sangat dibutuhkan terutama di daerah terpencil.
Pendidikan di daerah terpencil sangat bertumpu pada guru honorer. Peran guru honorer dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini sangat strategis. Banyak daerah masih kekurang guru ASN. Dan guru ASN ada yang tidak betah mengabdi di sekolah terpencil. Dari data yang dihimpun PGRI Cabang Wulanggitang, di Kecamatan Wulanggitang, ada SD yang hanya memiliki satu orang guru ASN. Di sini kehadiran guru honorer menjadi penting.
Guru honorer sudah sangat menderita di tengah pilihan bertahan untuk mengabdi dan tuntutan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Di tengah derita guru honorer, tidak ada jalan untuk segera mengurai benang kusut persoalan mereka. Ada dua jalan yang bisa ditempuh.
Pertama, dalam jangka pendek, segera mengangkat guru honorer menjadi ASN. Status kepegawaian guru honorer harus diperjelas. Nasib guru honorer yang selama ini terkatung-katung jangan terus digantung. Janji pemerintah mengangkat 1 juta guru PPPK harus segera direalisasikan. Hanya dengan cara demikian, kesejahteraan hidup guru terjamin dan tidak ada lagi guru yang dipandang sebagai guru “kelas dua”.
Kedua, dalam jangka panjang, saya memimpikan agar semua guru yang mengabdi di seluruh negeri tidak lagi dibeda-bedakan berdasarkan status kepegawaian yang disandang. Pembedaan status ini berkonsekuensi serius atas kesejahteraan hidup guru.
Konkritnya status kepegawaian guru ASN dan honorer dihapus. Nomenklaturnya diubah menjadi guru bangsa. Dengan status kepegawaian yang sama: GURU BANGSA, siapa pun yang menjadi guru akan diupah secara layak sesuai tugas dan tanggung jawab yang diemban.
Sudah saatnya “kasta” dalam status kepegawaian guru dihilangkan. Jangan ada lagi guru negeri (ASN) dan guru swasta (honorer). Semua guru di negeri ini tidak mendidik anak negeri atau anak swasta. Yang dididik guru itu adalah anak bangsa. Karena itu, meminjam Prof. Winarno, mereka bukan guru negeri juga bukan guru swasta. Tetapi guru bangsa.
*Guru SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur, NTT