Oleh: Paul Ama Tukan*
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Filsafat dan Teknologi (IFTK) Ledalero melakukan aksi road show (aksi jalanan seperti orasi, teatrikal, monolog, live band) dan malam Pentas Seni di kota Maumere bertajuk “Merawat Bumi” pada Sabtu (25/2/23).
Aksi ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap bumi yang sedang “sakit” karena ulah manusia dalam berbagai skala dan konteks. Aksi ini bisa disebut juga sebentuk representasi kegelisahan publik terhadap kondisi bumi.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 22 Februari 2022 menunjukkan kondisi kritis bumi karena eksploitasi dan deforestasi besar-besaran. Anomali iklim dan peningkatan panas bumi terjadi secara masif (Firda: 2022). Gejala ini merupakan indikasi konkret atas jeritan bumi yang sakit hari-hari ini.
Perubahan iklim disebut telah mengakibatkan korban jiwa, merobohkan ketahanan pangan masyarakat dan merusakkan alam serta tempat tinggal manusia. Dalam skala global dan nasional, dampak perubahan iklim bisa menghambat pertumbuhan ekonomi bangsa, berikut menggusur perkembangan kemanusiaan universal karena memperparah sektor pendidikan, kesehatan, dan bahkan stabilitas politik (Firda: 2022).
Aksi mahasiswa IFTK Ledalero merupakan bentuk edukasi untuk masyarakat luas sekaligus ajakan menjalankan pertobatan ekologis dengan cara menjaga lingkungan dari sampah, polusi, penggundulan hutan, serta mengontrol kebijakan-kebijakan publik yang mengabaikan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Kegiatan yang dilakukan mahasiswa IFTK Ledalero ini merupakan aksi lanjutan dari sejumlah aksi konkret sebelumnya seperti pembersihan pasar di Kota Maumere dan reboisasi di pesisir Pantai Magepanda, Kabupaten Sikka. Respons kolektif untuk mengambil langkah-langkah konkret sangat diperlukan untuk menyelamatkan bumi, rumah bersama (common home) dari eksploitasi besar-besaran.
Ajakan Laudato Si Action Platform (LSAP)
Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si, sebuah ajaran sosial Agama Katolik, menyapa tidak hanya umat Katolik tetapi semua warga dunia untuk menjawab persoalan global yaitu kerusakan bumi. Ensiklik yang diterbitkan pada 18 Juni 2015 ini menjadi sebuah gebrakan dalam ajaran sosial Katolik dan telah mendapat tanggapan luas.
Secara global, respons atas ensiklik tersebut terejawantah dalam Laudato Si Action Platform (LSAP) yang dimulai sejak April 2021. Gerakan ini bertujuan mendorong masyarakat dunia untuk secara sinergis menyelamatkan masa depan bumi. Konsep di balik LSAP ialah pembangunan manusia yang integral yakni manusia yang memiliki relasi harmonis dengan sesama, Tuhan dan lingkungan tempat ia tinggal.
Bumi dilihat secara lebih integral yakni bukan saja persoalan geografis melainkan juga terkait semua problematik yang menimpa manusia yang menghuni termasuk kebijakan-kebijakan birokratis yang menindas kaum lemah dan terpinggirkan.
Dalam komitmen global, LSAP berlangsung selama tujuh tahun sejak 2021 dengan tujuh bidang fokus yang berbeda, di antaranya: tanggapan terhadap jeritan bumi, tanggapan terhadap jeritan orang miskin, ekonomi ekologis, penerapan gaya hidup berkelanjutan, pendidikan ekologis, spiritualitas ekologis, komunitas keterlibatan, dan tindakan partisipatif (Budi Kleden: 2022). Komitmen ini sedang dikampanyekan di seluruh dunia.
Secara formil, ajakan mendasar LSAP menyasar antara lain pada instansi-instansi pemerintahan untuk membangun komitmen secara simultan dan programatik serta berkiblat pada pembangunan komitmen personal masyarakat luas tentang pentingnya menjaga lingkungan. Di bidang ekonomi, investasi-investasi dan aktivitas industri mesti berbasis pada AMDAL. Di bidang pengambilan kebijakan publik, pemerintah mesti menghormati hak hidup masyarakat banyak dan mempertimbangkan kelestarian lingkungan yang sifatnya berkelanjutan.
Undang-Undang tentang Masyarakat Adat misalnya mengatur tentang wilayah-wilayah yang tidak boleh mendapat intervensi kebijakan pemerintah. Hal ini tentu didasarkan pada komitmen menjaga kelestarian alam dan bentuk kepedulian humanistik yang diatur secara konstitusional. Negara mengatur secara tegas tentang kelestarian bumi dan eksistensi masyarakat adat.
Di NTT khususnya, polemik tentang klaim kepemilikan tanah Besipae belum juga berakhir. Silang sengkarut klaim secara prosedural tentang Besipae mesti membuat pemerintah kembali berpikir secara lebih arif dan komprehensif, tidak saja dari sisi idealisme pembangunan progresif tetapi juga pertimbangan secara biosentris (berpijak pada kelangsungan hidup manusia dan alam). Ajakan LSAP di atas tepat juga dalam konteks mendengar jeritan kaum lemah dan miskin yakni masyarakat kebanyakan yang menjadi korban dari kisruh berkepanjangan ini.
LSAP mengajak semua kita untuk berpartisipasi dalam merawat bumi dan menciptakan situasi dunia yang damai dan berkeadilan lebih-lebih dalam pengaturan sistem birokrasi pemerintahan. Di sini, keberpihakan pada kehidupan adalah tugas mutlak semua kita.
Pertobatan Ekologis
Paus Fransiskus menulis, “manusia yang tidak menghargai lingkungan itu berdosa. Merusak lingkungan termasuk dalam kategori dosa yang dinamakan dengan dosa ekologis. Untuk menghapus dosa tersebut diperlukan pertobatan ekologis”. Pertobatan merupakan sebuah sikap “beralih” yakni beralih menuju kebaikan.
Eksploitasi besar-besaran terhadap bumi, pembabatan hutan, kebijakan publik yang tidak mempertimbangkan kelangsungan hidup masyarakat akat rumput serta aktivitas industri yang menimbulkan pencemaran adalah bentuk dosa ekologis manusia. Laudato Si mengajak semua orang untuk beralih dari sikap tersebut, pertama-tama dengan menyadari dan mengevaluasi diri baik secara komunal-institusional maupun secara personal.
LSAP mengajak masyarakat global untuk menjalankan pertobatan ekologis dalam empat model keterlibatan (Bdk. Budi Kleden: 2022) yakni Doa dan Refleksi (secara personal maupun komunal untuk menumbuhkan kesadaran personal dan kolektif), Aksi (pembersihan lingkungan, penghijauan di wilayah rawan bencana dan mengindari pemakaian bahan-bahan abiotik sekali pakai), Edukasi (sosialisasi dan pengajaran dalam berbagai sektor tentang pentingnya merawat bumi), serta Advokasi (mengontrol dan mengevaluasi kebijakan publik yang mengabaikan kelestarian lingkungan hidup).
Partisipasi Kolektif dan Sinergis
Merawat bumi mesti membutuhkan partisipasi kolektif dan kerja sama sinergis. LSAP telah mendapat respons global di antaranya dari instansi akademik. Sebanyak 153 Universitas di dunia telah berkomitmen secara tegas untuk menjalankan tahun ekologis di atas. 28 Universitas di antaranya per/2022 telah memasukkan program aksi nyata. Di Indonesia, terdapat 3 Universitas yang telah berkomitmen terhadap LSAP yakni Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Soegiyapranata Semarang dan Universitas Widya Mandira Kupang (Budi Kleden: 2022).
Tidak hanya dalam instansi akademik, LSAP juga perlu menginspirasi semua instansi konstitusional untuk berkomitmen menjaga bumi melalui aksi-aksi nyata. Komitmen itu diperlukan untuk menegaskan bahwa masa depan bumi ada di tangan kita. Gerakan bersama akan sangat berimplikasi pada perubahan bumi, rumah bersama.
Untuk itu, pertobatan ekologis tidak hanya sebuah seruan moral tetapi mesti diejawantahkan dalam aksi. Jeritan bumi membutuhkan aksi konkret saat ini dan di tempat ini (hitc et nunc) oleh semua pihak terutama yang membaca ini. Mari menjaga dan melestarikan bumi kita!
*Anggota KMK dan Diskusi Filsafat Ledalero