Intoleransi dan Urgensi Pendidikan Kritis

Oleh: Gerardus Kuma Apeutung*

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi beberapa tahun lalu merilis tiga “dosa besar” pendidikan. Satu dari tiga dosa besar tersebut adalah intoleransi (dua yang lain adalah kekerasan seksual dan perundungan). Intoleransi di lingkungan pendidikan menunjukkan bahwa sekolah sebagai ruang perjumpaan dengan latar belakang yang berbeda belum mengakomodir fakta keberagaman.

Ini memprihatinkan karena institusi pendidikan menjadi wadah penyemaian sikap intoleransi. KBBI menjelaskan intoleransi sebagai ketiadaan tenggang rasa. Kondisi ini dapat diartikan sebagai sikap yang tidak menghargai dan menerima perbedaan; lantaran keberagaman dalam kehidupan bersama tidak diterima sebagai sebuah keniscayaan.

Intoleransi adalah sikap tidak peduli pada keberagaman dan atau keberadaan orang lain yang berbeda. Dalam lingkungan yang intoleran, keberagaman dipandang sebagai sesuatu yang mengancam, mencurigakan, dan membahayakan. Karena itu setiap perbedaan baik individu, status sosial dan ekonomi, gender, suku, budaya, agama, dan ras tidak diberi ruang.

Di lingkungan pendidikan, intoleransi dapat terjadi antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, guru dengan guru. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018 mengungkapkan sebanyak 57 persen guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Data ini tentu mencemaskan karena guru memiliki peran strategis dan penting dalam membentuk nilai, pandangan, dan perilaku siswa.

Di sekolah tertentu, misalnya, ada aturan yang mewajibkan semua siswa harus berjilbab. Sementara di sekolah lain, ada larangan bagi siswa untuk tidak boleh berjilbab. Di lain pihak, ada guru yang melarang siswa untuk memilih ketua OSIS dari siswa yang tidak seiman. Sementara ada siswa yang tidak mau bergaul dengan siswa yang tidak seagama.

iklan

Tindakan intoleransi yang terus terjadi dan terkesan dibiarkan akan menjadi momok dalam dunia pendidikan. Sekolah yang tidak menghargai perbedaan dan keberagaman tidak akan menghadirkan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi siswa.

Lingkungan pendidikan yang intoleran akan membawa dampak yang buruk bagi perkembangan mental peserta didik, juga mempengaruhi psikis dan pencapaian akademik siswa. Lebih luas intoleransi akan menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap alergi atas perbedaan dan keberagaman akan membahayakan masa depan bangsa.

Dalam kehidupan berbangsa, intoleransi merupakan ancaman bagi pluralitas bangsa. Indonesia adalah negara plural. Tatanan bangsa ini terbentuk oleh berbagai unsur yang berbeda. Sebagai negara majemuk bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai latar belakang: agama, budaya, bahasa, adat-istiadat, suku, status sosial-ekonomi. Karena itu perbedaan adalah sebuah keniscayaan.

Pluralitas adalah sebuah fakta dan Bangsa Indonesia terbentuk dari keberagaman. Kesadaran akan kemajemukan bangsa sudah terbangun ketika Sumpah Pemuda diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928. Saat itu, para pemuda dari latar belakang berbeda-beda berkumpul untuk menyatakan persatuan. Para pemuda menyadari bahwa heterogenitas bangsa adalah kekuatan dalam melawan dan mengusir penjajah apabila ada persatuan.

Sebagai bangsa yang plural, lingkungan pendidikan juga terbentuk dari beragam orang. Siswa dan guru tidak hanya berasal dari satu kelompok saja tetapi datang dari berbagai latar belakang baik status sosial-ekonomi, kemampuan, budaya, bahasa, agama, dan ras. Karena itu sikap intoleran adalah penolakan terhadap fakta pluralis.

Urgensi Pendidikan Kritis

Kita tentu tidak ingin intoleransi terus menghantui dunia pendidikan. Kemdikbudristek terus berupaya memerangi intoleransi. Kampanye terhadap toleransi terus dilakukan. Narasi-narasi keberagaman terus digemakan. Hukuman terhadap pelaku intoleransi juga diberikan. Namun kasus-kasus intoleransi terus bermunculan. Mengapa tindakan intoleransi seolah tidak hilang dari dunia pendidikan?

Hemat Penulis, ini karena upaya memerangi intoleransi yang dilakukan selama ini masih bersifat temporal dan belum menyentuh akar persoalan. Ketika muncul kasus intoleransi baru kita tergerak memeranginya. Ini ibarat memangkas daun tanpa mencabut akar.

Salah satu akar intoleransi adalah mudahnya orang terpapar virus intoleransi. Lingkungan pendidikan dengan sasaran (maha)siswa menjadi medan yang rawan disusupi paham-paham radikal. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dalam penelitiannya menunjukkan Generasi Z memiliki sikap yang berpotensi menjadi jalan masuk ide radikal.

Hal ini disampaikan pengajar UIN Syarif Hidayatullah di mana sebagian (maha)siswa menelan mentah-mentah informasi yang diperoleh tanpa memverifikasinya. Ada 25,51 persen responden yang selalu membagikan pendapat, anjuran, atau fatwa dari tokoh agama tertentu yang mereka temukan di dunia maya (Kompas.id, 21/11/2019).

Menurut Bagong Suyatno, siswa terpapar radikalisme karena tidak memiliki fondasi sikap dan literasi kritis yang kuat (Kompas.id, 02/02/2021). Artinya mereka tidak memiliki “perkakas” untuk membentengi diri dalam mempertanyakan setiap tindakan yang dilakukan. Dengan kata lain, sikap intoleran muncul karena orang tidak memiliki kemampuan berpikir kritis.

Sebagaimana dikatakan Anita Li, dkk (2020) salah satu kegagalan pendidikan kita yang selama ini juga sering dikritik adalah tidak memberikan peluang bagi peserta didik untuk berpikir pada jenjang yang lebih tinggi dan membatasi peserta didik pada kemampuan menghafal. Ini artinya anak tidak dilatih untuk berpikir kritis dalam proses pendidikan.

Pada abad 21 ini, salah satu tuntutan yang harus dimiliki siswa adalah kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis membuat orang tidak mudah terpengaruh. Orang yang berpikir kritis juga selalu menyikapi setiap fenomena dengan bijak, termasuk dalam menghadapi setiap perbedaan. Orang yang memiliki sikap kritis akan melihat keberagaman secara jernih. Mereka akan selalu bertindak bijak dan tidak akan melakukan tindakan gegabah.

Bagi siswa yang berpikir kritis, informasi apa pun yang diterima tidak akan mudah dipercaya begitu saja tetapi dipertanyakan secara rasional. Orang yang memiliki kemampuan berpikir kritis tidak mudah ikut arus dan digiring begitu saja. Apalagi terseret dalam tindakan yang menyimpang.

Menurut Harsanto (2005:44) berpikir kritis adalah salah satu ciri menjadi orang kritis. Pikiran harus terbuka, jelas, dan berdasarkan fakta. Seorang pemikir kritis harus mampu a) memberi alasan atas pilihan keputusan yang diambilnya, b) menjawab pertanyaan mengapa keputusan seperti itu diambil, c) terbuka terhadap perbedaan keputusan dan pendapat orang lain, d) sanggup menyimak alasan-alasan mengapa orang lain memilik pendapat keputusan yang berbeda.

Kunci utama menghadapi keberagaman adalah berpikir kritis. Dengan sikap kritis, orang akan lebih terbuka pada perbedaan, dan selalu menerima pandangan atau pendapat yang berbeda. Karena itu kemampuan berpikir kritis sangat perlu dimiliki oleh siswa untuk dapat menghadapi permasalahan-permasalahan termasuk dalam menyikapi keberagaman.

Menghadapi virus intoleransi yang mewabah di lingkungan pendidikan, kemampuan berpikir kritis wajib diajarkan kepada siswa. Dengan kemampuan berpikir kritis siswa tidak akan terpapar virus radikalisme, terjebak pada tindakan intoleransi, dan terhasut menghakimi kelompok yang berbeda. Karena dengan sikap kritis yang dimiliki, siswa akan menghadapi keberagaman di sekolah dengan sikap terbuka dan eklusif.

Anita Li, dkk (2020) menjelaskan kemampuan berpikir kritis siswa dapat diasah dengan melaksanakan pembelajaran berbasis High Order Thinking Skill (HOTS). Siswa perlu belajar keterampilan berpikir tingkat tinggi karena adanya perubahan dan potensi disinformasi pada era kebebasan berekspresi. Di era keterbukaan sekarang, informasi baik yang menyuguhkan pandangan intoleran ekstrem maupun perdamaian tersebar di media sosial tanpa disaring. Agar peserta didik tidak terjebak pada disinformasi yang menyesatkan, siswa perlu dibekali keterampilan berpikir tingkat tinggi agar mampu mencari dan mengolah informasi dengan daya nalar yang memadai.

Lebih jauh Anita Li, dkk (2020) menjelaskan pembelajaran berbasis HOTS menekankan pada kegiatan pembelajaran yang mengakomodir pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan menerapkan beberapa metode pembelajaran seperti problem solving, inkuiri, discovery, problem based learning, project based learning, learning. Selain itu direkomendasikan juga model pembelajaran mind mapping, brainstorming, idea showers, modular brainstorming, pass the hat, idea mixer, brain purge, idea pool, dan klaster.

Lebih jauh, guru juga perlu mengembangkan materi yang melatih keterampilan berpikir tingkat tinggi. Materi ajar yang disiapkan harus mengajak siswa untuk mengasah keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dan yang tidak kalah penting adalah pertanyaan kelas. Pertanyaan pendidik di dalam kelas amat berkaitan dengan upaya menerapkan pembelajaran berorientasi berpikir tingkat tinggi. Karena itu pertanyaan yang diajukan harus merangsang siswa untuk berpikir kritis.

Dengan mengajarkan siswa untuk berpikir kritis, mereka tidak akan terpapar virus radikal dan diharapkan dapat menyikapi dengan baik setiap fenomena di sekolah, termasuk menghargai fakta keberagaman.

Dengan demikian “dosa besar” intoleransi dalam dunia pendidikan dapat teratasi sehingga lingkungan sekolah yang aman dan nyaman dapat terwujud.*

*Guru dan Pendidik di SMPN 3 Hewa, Wulanggitang

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA