Satu Jalan Membangun Lembata

Oleh: Bernardus T. Beding*

Masyarakat Lembata patut bersyukur, setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan oleh para perintis mewujudkan impian membentuk kabupaten sendiri. Tonggak awal perjuangan menuju otonomi Lembata dibuktikan dengan lahirnya komitmen bersama para tokoh melalui statement 7 Maret 1954 di Hadakewa.

Perjuangan tersebut tak pernah pupus dari semangat para tokoh. Harapan dan cita-cita itu dibangkitkan terus melalui berbagai langkah sinergis dan kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat.

Lembata berjalan dalam status pemerintahan sebagai “Koordinatorschap Lembata” sejak 1967—1975. Sejak 1975—1999 Lembata menjadi “Pembantu Bupati” dari Kabupaten Flores Timur. Tepat 7 Maret 1999 muncul memorandum pembaharuan komitmen perjuangan bersama menjadikan Lembata sebagai kabupaten. Perjuangan itu berbuah melalui Undang-Undang RI No. 52 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata, tepatnya 12 Oktober 1999. Artinya, Lembata resmi menjadi kabupaten pada tanggal 12 Oktober 1999.

Tahun ini, tepatnya Kamis, 12 Oktober 2023 menjadi begitu bermakna dan historis karena pada hari itulah masyarakat Lembata boleh merayakan Ulang Tahun Otonomi Daerah Lembata ke-24. Tentu, perayaan aroma syukur dan terima kasih menjiwai masyarakat Lembata sekaligus melahirkan harapan baru.

iklan

Saya memiliki kepercayaan bahwa semua masyarakat Lembata merasa puas, baik mereka yang setia mendukung dan terlibat secara aktif dalam seluruh proses perjuangan pembentukan Kabupaten Lembata sejak awal, maupun mereka yang pada awalnya agak ragu-ragu memberikan dukungan. Kita juga patut berterima kasih kepada para tokoh pejuang Otonomi Daerah Lembata.

Harapan bahwa lahirnya Otonomi Daerah Kabupaten Lembata membawa dampak positif bagi akselerasi pembangunan di Pulau Lembata ini dari masa ke masa. Namun, tanpa dimungkiri bahwa hingga Ulang Tahun ke-24 ini, Lembata diibaratkan sebuah kapal yang masih dalam proses kerja dan penyelesaian. Proses pembangunan kapal pemerintahan yang bernama Kabupaten Lembata, oleh H.

Sulaeman L. Hamzah, salah satu tokoh pejuang otonomi sekaligus anggota Komisi IV DPR RI masih mengalami tantangan. Sulaeman (mediantt.com, 13 Oktober 2023) menyoroti bahwa Kabupaten Lembata belum mencapai kemandirian fiskal. Pemerintah Daerah Lembata terkesan belum maksimal dalam membangun daerah dan masih mengandalkan dana dari pusat untuk pembangunan.

Padahal kalau kita melihat secara utuh dan menyeluruh, sesungguhnya tanah Lembata memiliki keunggulan di banyak sektor. Sebut saja, sektor pariwisata, budaya, dll. Ada tradisi “langka” yang tidak dimiliki oleh dunia mana pun, yakni tradisi penangkapan ikan paus, serta budaya dan objek wisata lainnya yang masih “perawan”, belum tersentuh oleh tangan-tangan terampil. Di bidang pertanian, Lembata memiliki areal perkebunan dan persawahan yang cukup menjanjikan, seperti perkebunan di wilayah Atadei, Wulandoni, Ile Ape, Nubatukan, Lebatukan, Kedang, dan persawahan Waikomo. Dari segi transportasi, ada Bandar Udara Wunopito dan pelabuhan laut yang memudahkan masyarakat Lembata berinteraksi dengan dunia luar serta para wisatawan mancanegara dan domestik yang datang ke Lembata. Dari segi perdagangan, Lembata juga memiliki berbagai macam tanaman perdagangan yang dapat diandalkan, baik di tingkat nasional maupun internasional, seperti jagung, kemiri, kelapa, jambu, kacang, dll. Jika dikembangkan dengan baik dan konsisten.

Artinya bahwa Lembata memiliki potensi ekonomi yang menyebar hampir semua kecamatan di wilayah Lembata. Semua potensi tersebut merupakan faktor pendukung yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah maupun masyarakat. Seperti Soeharman (dalam FP), hipotesis yang mungkin dapat saya kemukakan untuk menjelaskan mengapa potensi-potensi lokal tersebut belum dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal.

Pertama, dari dalam masyarakat itu sendiri tidak adanya dorongan atau mungkin lebih tepat kebutuhan untuk berprestasi mencapai tingkat kesejahteraan hidup lebih baik. Kalau kebanyakan orang dalam suatu masyarakat memiliki semangat yang tinggi untuk berusaha, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat diharapkan dan diandalkan. Namun sebaliknya, jika sikap cepat puas diri (complacency) begitu mendominasi nilai-nilai hidup masyarakat, maka sulit juga membayangkan masyarakat terdorong untuk mencapai prestasi yang tinggi.

Kedua, secara geografis, Lembata masih dikategorikan “terisolasi” dari aktivitas perdagangan “besar” dengan dunia luar. Hal ini disebabkan terutama karena kurangnya infrastruktur pendukung, seperti jalan raya ke sentra-sentra ekonomi masyarakat, pelabuhan niaga, prasarana dasar seperti listrik, air, dll. Keterisolasian ini mengakibatkan interaksi sosial, ekonomi, serta arus informasi dari dan luar berjalan lamban. Lambannya interaksi sosial dan ekonomi memengaruhi tingkat kegairahan masyarakat untuk berprestasi.

Ketiga, faktor kepemimpinan. Kemauan moral yang kuat, wawasan tentang pembangunan dan karakteristik sosial serta budaya suatu masyarakat menjadi elemen-elemen penting dan inheren pada faktor kepemimpinan ini. Selama ini kebijakan pembangunan cenderung memperlemah partisipasi masyarakat, padahal masyarakat yang paling berkepentingan dalam pembangunan itu. Masyarakat menjadi objek pembangunan. Dampak dari model pembangunan seperti ini adalah munculnya sikap apatis masyarakat dalam memanfaatkan semua infrastruktur yang telah dibangun dengan biaya yang besar. Akibatnya, produktivitas masyarakat rendah.

Keempat, pemerintah kurang mengoptimalkan potensi “Orang Lembata” yang telah sukses dan berprestasi di luar daerah. Tidak sedikit orang Lembata yang telah menjadi “orang besar” dan “orang penting” di tanah orang. Namun, pemerintah belum membuka pintu lebar, memberi kesempatan kepada mereka untuk berkontribusi dalam pembangunan, baik pemikiran maupun sumbangsih lain.

Kelima, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lembata yang masih terbatas. Anggaran daerah pun belum cukup mendukung pembangunan. Hal ini, seperti kata Sulaeman, “Perlunya kolaborasi yang lebih baik antara Pemerintah Daerah dan diaspora Lembata”. Sisi lain, pemerintah perlu mendengarkan aspirasi masyarakat. Bagus kalau ada orang Lembata yang menjadi “wakil” masyarakatnya di Senayan. Karena, satu jalan membangun daerah adalah melalui jalur politik.

Sekarang di usia ke-24 ini, Lembata terlihat baru mulai diluncurkan setelah melalui proses pengerjaan yang panjang dan melelahkan. Sekarang baru tampak bahwa ia siap berlayar menuju negeri impian. Tentu, pelayaran Lembata membutuhkan seorang nakhoda yang cerdas, humanis, lincah, memahami seluruh proses pembuatan kapal, dan mengetahui dengan jelas medan yang akan dilalui sehingga tidak kandas pada karang yang terjal dan akhirnya tidak membawa penumpangnya pada haluan yang salah, tetapi pada jalan yang benar sesuai dengan tujuan bersama.

Pencapaian tujuan bersama itu, para penumpang kapal harap berpartisipasi secara aktif untuk menciptakan suasana kedamaian dan tidak saling bermusuhan. Sehingga kapal yang kelihatan baru (walau sudah terbilang tua) itu tidak terombang-ambing di lautan lepas yang akhirnya menghanyutkan semua penumpang. Jika kapal itu karam dan terombang-ambing, niscaya tujuan bersama tidak akan tercapai. Itu berarti pembentukannya hanya menjadi sebuah elegi, tragis, dan menyedihkan.

Satu jalan penting bagi pembangunan Lembata ke depan, yakni memaksimalkan partisipasi masyarakat. Partisipasi ini tidak saja hanya pada tahap pelaksanaan program pembangunan itu, tetapi mulai dari proses perencanaan pembangunan dengan memanfaatkan institusi-institusi masyarakat yang paling bawah untuk merumuskan pembangunan mereka sendiri.
Partisipasi masyarakat perlu mengedepankan proses interaksi dialogis serta proses penyadaran masyarakat, bahwa masyarakatlah yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Majid Rahnema (Sachs, 1995:187—190) mengemukakan beberapa asumsi dasar dan fungsi-fungsi penting mengapa partisipasi masyarakat harus diperhatikan dalam sebuah proses perencanaan pembangunan itu sendiri.

Pertama, partisipasi dapat mengatasi halangan-halangan yang muncul dalam kaitan dengan proses pembangunan rakyat. Hal ini disebabkan karena masyarakat diberi kesempatan penuh untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan mereka.

Kedua, partisipasi tidak hanya mengekspresikan keinginan dari mayoritas rakyat, tetapi partisipasi juga merupakan satu-satunya cara bagi mereka untuk memastikan bahwa tujuan moral, perikemanusiaan, sosial, budaya, dan ekonomi yang penting dalam suatu pembangunan yang lebih manusiawi dan efektif dapat dicapai dengan damai.

Ketiga, interaksi dialogis, proses penyadaran, partisipasi masyarakat, dan kegiatan-kegiatan lain serupa dapat memungkinkan seluruh rakyat untuk mengorganisir diri mereka sendiri dalam suatu cara yang paling sesuai dengan tujuan akhir yang mereka inginkan.

Metode pendekatan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dengan mengedepankan interaksi dialogis dan proses penyadaran akan menggantikan pola hubungan lama, yaitu hubungan subjek-objek antara pemerintah dan rakyat. Dengan demikian, rakyat sendirilah yang bertindak sebagai subjek-objek bebas dalam memperbaharui ruang hidup mereka sendiri.

Soeharman menyatakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan elemen kunci dalam menciptakan sebuah pembangunan alternatif yang berpusat kepada masyarakat. Partisipasi masyarakat mencegah semua design yang hegemonistik dan manipulatif terhadap kelas-kelas, kelompok-kelompok, dan organisasi-organisasi yang tertindas dan tereksploitasi.

Peningkatan partisipasi masyarakat juga berimplikasi pada berkurangnya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah yang disebabkan karena penerapan model top-down dalam proses pembangunan.

Keterlibatan aktif masyarakat merupakan sumber legitimasi baru terhadap pembangunan, mengatasi kesenjangan baik antarkelompok masyarakat itu sendiri maupun dengan pemerintah. Secara instrumental, partisipasi dapat memberikan peluang baru kepada masyarakat untuk mencari alternatif-alternatif baru bila suatu strategi pembangunan mengalami kegagalan. Mereka tahu mengapa suatu pembangunan gagal dan mereka menemukan suatu strategi alternatif untuk mengatasinya. Secara sosial, partisipasi memungkinkan semua institusi, kelompok, organisasi, komunitas, maupun individu-individu terlibat dalam kegiatan pembangunan dan mengkonstruksikan masa depan bersama.

Kita berharap bahwa siapa pun akan memimpin Kabupaten Lembata ini harus memiliki kecerdasan, kebijaksanaan, humanis, kemauan moral yang kuat, wawasan yang cukup tentang model-model strategi pembangunan dan karakteristik sosial dan lingkungan masyarakat setempat. Dengan demikian, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dicapai, tetapi juga pemerataan ekonomi sehingga kesejahteraan sosial yang dicita-citakan dalam Pancasila dapat terwujud.

Alus ta alusi, Tana Lembata haradi’en. Ta’an oneket tou, pai tite soga naran Tana Lembata” (Gerard D. Tukan).*

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA