Belajar Konservasi Mata Air dari Masyarakat Adat di Sikka

Maumere, Ekorantt.com – Maria Lolong, seorang perempuan paruh baya, berjalan menuju mata air Wair Bubuk dengan tergesa-gesa. Langkah kakinya bergerak cepat menuju mata air di hutan adat yang berlokasi di lembah lereng Gogong Pu’an, Detung Likong, Desa Kara Kabu, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Siang itu, matahari menyengat raga. Maria membawa plastik berisikan perlengkapan mandi sambil menggendong keranjang anyaman daun kelapa yang berisikan pakaian kotor.

Du’a (panggilan perempuan di Kabupaten Sikka), kau jangan sendiri kalau mau mandi di sana jam begini. Bahaya,” seorang warga menegurnya.

Maria seolah-olah tak mendengar suara itu. Ia terus berjalan menuju mata air tanpa menoleh ke kiri dan kanan.

iklan

Di lokasi mata air, sebuah pancuran yang terbuat dari belahan bambu mengalirkan air jernih. Air jatuh tepat di sela-sela bebatuan kali, lalu memantulkan percikan ke segala arah. Maria lantas mandi dengan air dingin nan segar dari pancuran itu.

Entah apa yang terjadi kemudian, Maria tak menunjukkan batang hidungnya di kampung hingga sore hari. Anggota keluarga cemas dengan keberadaannya. Ke mana ia pergi?

Kabar kehilangan sosok Maria menyebar hingga ke semua orang di kampung. Mereka mencarinya seturut jejak terakhir keberadaannya: lokasi mata air Wair Bubuk.

Mereka tidak menemukan siapa-siapa di sana. Yang tersisa hanya keranjang pakaian dan perlengkapan mandi milik Maria.

Warga kampung pun bergegas memasuki hutan adat di sekitar lokasi mata air. Mereka meneriaki nama Maria. Tapi tak seorang pun yang menyahut. Setelah melakukan pencarian di segala penjuru hutan, hasilnya nihil.

Cerita singkat tentang Maria Lolong dituturkan oleh Januarius Mego (32), salah satu warga Kampung Detung Likong. Cerita ini merupakan salah satu mitos yang diwariskan secara turun temurun oleh warga setempat.

Januarius berkeyakinan bahwa Maria hilang ‘diculik’ oleh penghuni mata air karena mengabaikan larangan adat di mana tidak boleh pergi mandi di siang bolong. Siapa yang tak menghargai larangan itu, pasti akan menerima risikonya.

Belajar Konservasi Mata Air dari Masyarakat Adat di Sikka2
Lahan pertanian masyarakat Desa Kara Kabu, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang pengairannya berasal dari mata air Wair Bubuk (Foto: Nivan Gomez/Ekora NTT)

“Keluarganya hanya pasrah. Mereka minta maaf ke leluhur dengan membuat upacara di mata air,” kata Januarius melanjutkan cerita sambil menyeruput kopi di kediamannya di Detung Likong pada Jumat, 3 November 2023 lalu.

Berkaca pada kisah Maria Lolong, Januarius sejak dini berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak pergi sendirian ke mata air dan tidak boleh mandi pada jam-jam tertentu. Waktu yang dilarang yakni jam 12 siang dan jam 6 sore.

“Kalau ada yang mandi sendirian di sana pasti akan hilang. Itu adalah aturan yang telah diwariskan oleh orang tua kami, dan telah kami taati secara turun-temurun,” kata Januarius.

Mata Air Wair Bubuk sendiri berlokasi hanya sepelemparan batu dari pemukiman warga. Mata air ini masuk dalam kawasan hutan adat di bawah lereng Gogong Pu’an. Tumbuh pohon-pohon besar di sekitar mata air.

Tidak hanya Wair Bubuk, di sekitar lereng Gogong Pu’an, terdapat 24 mata air lain yang memberikan kehidupan untuk masyarakat sekitar, baik untuk pengairan lahan pertanian maupun untuk kebutuhan air minum.

Rata-rata mata air yang ada mengalir sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Hal itu terjadi karena pemberlakuan aturan adat yang ketat.

Tokoh adat setempat, Fransiskus Walo (79) mengatakan, aturan adat lebih banyak mengandung larangan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya larangan menebang pohon dan memburu hewan di hutan.

Bila dilanggar, maka seseorang akan menerima denda atau sanksi adat. Denda itu bervariasi, mulai dari ayam kampung hingga babi, yang disebut tua wawi.

“Pembayaran denda dilakukan melalui ritual. Dan ritual ini menjadi simbol perdamaian dengan roh atau arwah nenek moyang,” tutur Fransiskus.

Denda bukan lahir karena keputusan sepihak tetua adat. Ada keputusan warga kampung di baliknya sehingga roh nenek moyang yang mendiami mata air tidak murka.

Saat pembayaran denda, orang yang melakukan kesalahan mengucapkan kata-kata permohonan maaf kepada roh nenek moyang. Hal itu menjadi keharusan karena keyakinan akan adanya konsekuensi bagi mereka yang mengabaikannya.

“Misalnya pria penebang pohon di Wair Bubuk istrinya sedang hamil, anaknya akan lahir dengan cacat tertentu, atau orang yang membunuh satwa akan mendapat penyakit tak wajar yang tak bisa diobati dan hanya bisa diobati melalui ritual adat,” kata Fransiskus.

Ia mengatakan, penerapan aturan adat terbukti menjadi  cara ampuh dalam melestarikan Wair Bubuk, juga satwa di dalamnya.

“Kalau pohon ditebang, maka tidak ada lagi tempat tinggal untuk mereka (leluhur),” katanya.

Ritual Adat ‘Reba Mahe’

Fransiskus menambahkan, tanah dan hutan di sekitar mata air merupakan rumah para leluhur yang dipercayai telah menjaga mata air agar tetap lestari. Mereka juga diyakini menjadi penjaga kampung dari segala serangan hama serta penyakit menular.

“Semua tanah dan pohon yang ada di situ adalah rumah tempat tinggal leluhur kami yang menjaga dan melindungi kami. Dan kami secara turun temurun telah merawat dan menjaga melalui ritual adat Reba Mahe,” tuturnya.

Reba Mahe adalah ritual memberi makan roh para leluhur untuk dengan berbagai ujud, sesuai dengan kebutuhan. Ada permohonan untuk menjaga mata air. Ada permohonan maaf atas pelanggaran-pelanggaran adat, Ada pula permohonan untuk menjaga kampung dari segala jenis bencana, hama, dan penyakit menular. Reba Mahe juga bertujuan sebagai ucapan syukur dan terima kasih kepada roh leluhur yang telah menjaga keberlangsungan hidup warga kampung.

Masyarakat setempat, kata Fransiskus, biasanya menggelar ritual Reba Mahe sekali dalam setahun, kerena banyaknya  pelanggaran-pelanggaran adat yang dilakukan masyarakat Detung Likong seperti, perzinahan, pembunuhan, hingga pelaggaran aturan adat konservasi hutan.

Dan setiap pelanggar akan diadili menurut aturan adat serta didenda adat berupa seekor babi berukuran besar, beras 50 kilogram, moke 20 liter serta satu lembar sarung tenun.

“Kemudian semua denda adat itu akan diserahkan secara simbolis kepada para leluhur melalui ritual Reba Mahe dan sisanya akan digelar makan bersama seluruh masyarakat Detung Likong,” jelas Fransiskus.

Namun sekarang, atas kuatnya aturan adat, pelanggaran-pelanggaran semacam itu kian berkurang, sehingga masyarakat Detung Likong hanya menggelar ritual Reba Mahe sekali dalam 2-3 tahun saat menghadapi musim kemarau seperti yang terjadi tahun ini.

Saat ritual, warga kampung dipimpin kepala suku berbondong-bondong menuju mata air dengan menggotong seekor babi berukuran kecil. Lalu, mereka mengelilingi sebuah batu datar, tempat sesajen akan diserahkan.

Kepala suku kemudian meletakkan siri pinang dan rokok koli di batu sesajen sebagai suguhan bagi roh nenek moyang.

Tak lama setelah itu, beberapa lelaki membawa-masuk babi ke tempat sesajen sambil menahan erat bagian kaki dan kepala. Kepala suku pun menggorok leher babi menggunakan sebilah golok. Darah yang keluar tubuh babi dipercikkan ke atas batu sesajen sambil mengucapkan doa adat.

Ena te’i lerong epang, ami me buang pu lu’ur, mai gapu wa’ing piru limang, neni ampon olok. Loning ami hulir hewot le’u ba’a mora miu nitu noang aming. Ami ma’i noding bako, bitek wu’a ta’a, mole beli miu ge’a minu nora ara wai. Kamang jaga plamang niang ai lopa bere, wair matang lopa marak, tena me babo u’a uma ihing, kare tua dolo,” ungkap Fransiskus Walo.

Artinya “Hari ini adalah hari berahmat, kami anak cucumu datang sembah sungkem, memohon maaf atas kekhilafan kami yang selama ini tidak menghiraukan kalian para leluhur kami. Saat ini kami memberikan sesajen secara adat berupa rokok, siri pinang, sebagai pendahuluan dan akan dilanjutkan makan bersama nasi daging babi sebagai tanda ikatan persaudaraan yang kekal abadi turun temurun. Semoga para leluhur tetap menjaga hutan yang lebat dan air yang melimpah sehingga kami anak cucumu bisa berkebun dan beternak untuk kami sejahtera sepanjang masa.”

Sekembali dari lokasi mata air, kepala suku menjelaskan aturan-aturan adat kepada warga. Itu adalah bentuk ikatan antara masyarakat adat dan para leluhur.

Belajar Konservasi Mata Air dari Masyarakat Adat di Sikka3
Batu yang menjadi tempat menyimpan sesajen dalam ritus Reba Mahe, yang letaknya dekat dengan sumber mata air (Foto: Nivan Gomez/Ekora NTT)

Kearifan Lokal

Penjabat Kepala Desa Kara Kabu, Karolus Agato mengakui upaya konservasi oleh masyarakat adat merupakan kearifan lokal yang berdampak positif bagi kelestarian lingkungan. Aturan adat ampuh dalam menjaga kelestarian mata air Wair Bubuk.

Selain menggunakan aturan adat untuk menjaga hutan dan mata air, pemerintah desa juga melakukan penanaman bibit pohon di lokasi sekitar mata air secara berkala. Pemerintah desa, jelas Karolus, juga berencana untuk memasukkan aturan adat dalam upaya konservasi Wair Bubuk dalam Peraturan Desa (PerDes).

Sementara Plt. Direktur Walhi NTT, Yuven Nonga mengatakan, secara umum di NTT, mayoritas masyarakat adalah masyarakat adat. Kearifan lokal atau strategi beberapa masyarakat adat dalam merawat hutan  masih terjaga.

Belajar Konservasi Mata Air dari Masyarakat Adat di Sikka1
Fransiskus Walo (79), salah satu tokoh adat di Detung Likong sekaligus penjaga mata air Wair Bubuk (Foto: Nivan Gomez/Ekora NTT)

Sayangnya, kata Yuven, hutan di NTT saat ini, baik hutan desa, hutan adat, apa pun status hutannya termasuk hutan lindung berada dalam ancaman kerusakan. Beberapa kebijakan pembangunan skala besar seperti industri pariwisata dan pertambangan, berpotensi pada alih fungsi kawasan hutan.

“Ke depan ancaman itu akan semakin meningkat, dapat dilihat dari kebijakan pemerintah baik itu nasional dan daerah yang akan berdampak langsung  ke hutan,” ujarnya.

Pelestarian alam sangat bergantung pada kekuatan masyarakat dalam mempertahankan kearifan lokalnya, dukungan regulasi, dan represifitas pemerintah.

Vinsenzo Ferry Hariyanto, Kepala Bidang Penataan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sikka, mengatakan bahwa pihaknya selalu membangun komunikasi dengan masyarakat adat yang mendiami area hutan dan mata air. Tujuannya agar, upaya konservasi terus dilakukan melalui pendekatan kearifan lokal.

Menurut Hariyanto, Dinas Lingkungan Hidup memiliki program konservasi hutan dengan melibatkan masyarakat adat setempat. Kearifan lokal terbukti lebih efektif, sebab masyarakat cenderung lebih segan dengan hukum adat dibandingkan hukum atau Undang-Undang terkait konservasi hutan yang berlaku.

“Apa yang telah dilakukan masyarakat adat Detung Likong dalam konservasi hutan adalah langkah yang tepat dan pemerintah desa juga merespons baik hal itu dengan berencana menjadikan konservasi hutan melalui hukum adat sebagai Peraturan Desa (PerDes),” tuturnya.

Anakan yang diambil untuk konservasi adalah pohon endemik atau tanaman lokal yang sudah biasa tumbuh di sekitar area mata air. Hal ini dilakukan agar memastikan anakan pohon di area mata air dapat bertahan dengan kondisi alam.

“Kami menghindari tanaman impor untuk program penghijauan hutan karena belum tentu tanaman itu bertahan dengan kondisi tanah dan alam yang ada di sana,” jelasnya.

Dia berharap, masyarakat adat Detung Likong dan pemerintah desa terus merawat hutan agar kawasan Wair Bubuk tetap terjaga dan tetap menjadi paru-paru bagi masyarakat Desa Kara Kabu.

“Kerusakan alam bukan terjadi pada kita, tetapi kerena kita. Untuk itu merawat alam hari ini adalah pupuk untuk kehidupan yang lebih baik,” pungkasnya.

Jurnalis: Nivan Gomez

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA