Petani dan Masalah Agraria di NTT

Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila

Tanah merupakan alat produksi bagi penghidupan petani. Seorang petani pertama-tama harus memiliki tanah garapan untuk berproduksi. Tanah tidak hanya sekadar alat yang darinya petani menghasilkan komoditas pertanian, tetapi tanah adalah bagian mendasar dari keseluruhan cara hidup petani.

Di tempat lain, seperti di Papua, tanah dianggap sebagai ibu kandung yang darinya masyarakat memperoleh makan, air, dan kehidupan itu sendiri.

Pemaknaan fungsi yang melekat pada tanah oleh masyarakat (petani) di perdesaan tentu berakar dari cara hidup masyarakat perdesaan yang sepenuhnya bergantung pada tanah.

Cara hidup masyarakat perdesaan yang hidup sebagai petani tentu memiliki relasi dengan tanah sebagai sumber pokok perekonomian. Karena itu, kerusakan pada tanah adalah kerusakan pada kehidupan ekonomi keluarga petani.

Karenanya, petani di beberapa tempat seperti di Kendeng, Wadas, Wae Sano, Mataloko, Sumba, Rempang, dan di tempat lain menolak apabila tanah dirusak dan dialihfungsikan untuk kepentingan penambangan ekstraktif. Sebab, selain merusak ekosistem yang ada di dalamnya dan mengganggu resapan air, kerusakan pada tanah juga mengakibatkan petani kehilangan sumber produksi pangan.

Masalah Agraria yang Lain

Terlepas dari beragam praktik perampasan tanah (land grabbing) dan pencaplokan ruang oleh negara dan korporasi, masalah agraria di perdesaan juga seringkali absen didiskusikan secara serius.

Ini bukan berarti mengesampingkan dan menyurutkan perlawanan petani di perdesaan atas praktik perampasan tanah, berikut kerusakan tanah yang diakibatkan oleh agenda penambangan ekstraktif.

Meskipun tak bisa dibantah perampasan tanah yang melibatkan mekanisme pengaturan, pemaksaan, pasar, dan legitimasi (Hall, Hirsch, dan Li; 2022) juga kerap terjadi di perdesaan. Tetapi, menurut saya, kita juga mesti melihat dan mengkritisi masalah lain dari agraria yang mendera petani dan bagaimana petani kehilangan tanah.

Prosesnya berlangsung dalam suatu kondisi yakni beban utang yang membawa pada proses kehilangan tanah petani.

Seperti pernah saya tulis di media ini, ketergantungan pinjaman yang menyebabkan petani kehilangan tanah, karena tanahnya digadai untuk dapat memperoleh pinjaman dari bank dan koperasi (Ekora NTT; 01/11/2023).

Dengan bunga pinjaman dan jaminan berupa sertifikat tanah, memungkinkan pihak kreditur (bank dan koperasi) dapat leluasa mengalihkan kepemilikan tanah persis ketika debitur (peminjam) tidak mampu melunasi utangnya.

Lalu bagaimana pola dan mekanisme yang menyeret petani kehilangan tanahnya lewat beban utang yang tak mampu dilunasinya itu?

Sebelum kita menelusurinya, perlu dicatat bahwa tulisan ini hanya menganalisis persoalan agraria pada petani yang luas tanah atau lahan garapan sebesar 0,5 hektare yang disebut sebagai petani gurem yakni kelompok petani dengan luas tanah kecil yang hanya mampu mencukupi kebutuhan keluarga (Bdk; Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi; 2011).

Nasib Petani Gurem

Laporan Kompas (06/03/2024) yang merujuk pada data BPS berdasarkan hasil antarsensus tahun 2023 mengungkapkan, 10 provinsi dengan petani pengguna lahan pertanian dan petani gurem di Indonesia, dengan total petani pengguna lahan pertanian di Indonesia sebanyak 27.799.280 dan petani gurem sebanyak 17.248181.

Jawa Timur memiliki total petani gurem sebanyak 4.475.033, Jawa Tengah sebanyak 3.466.475, Jawa Barat sebanyak 2.551.067, Sumatera Utara sebanyak 759.573, Lampung sebanyak 570.941, Sumatera Selatan sebanyak 190.216, Sulawesi Selatan sebanyak 426.742, NTT sebanyak 498.101, Aceh sebanyak 469.138, dan Sumatera Barat sebanyak 402.610 (Kompas; 06/03/2024).

BPS menyebutkan beberapa faktor yang mendorong pertambahan petani gurem yakni, pertama, konversi lahan sawah yang diperuntukkan  perumahan, industri, perdagangan, dan sarana publik.

Kedua, pewarisan tanah dari orang tua kepada anak yang memicu penyempitan lahan. Ketiga, serapan tenaga kerja di sektor industri dan jasa yang mengakibatkan berkurangnya jumlah petani. Keempat, belum optimalnya dukungan pemerintah kepada petani (ibid).

Lalu bagaimana nasib petani gurem, katakanlah, ketika mereka gagal berproduksi di lahan yang sempit itu? Bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga?

Di sini BPS tidak melaporkan bagaimana persoalan petani gurem ketika diperhadapkan dengan masalah gagal panen yang membuat mereka justru mencari sumber pemasukan lain dengan melakukan pinjaman di bank dan koperasi. Persis, di sinilah masalah agraria yang mendera petani gurem itu.

Hubungan yang Timpang

Kehadiran bank dan koperasi di masyarakat menciptakan dan mendorong perputaran ekonomi rumah tangga. Bank dan koperasi (kreditur) memberikan peluang bagi setiap individu dan rumah tangga petani untuk mengakses pinjaman uang.

Sementara, pihak debitur (peminjam) diwajibkan mematuhi peraturan dan persyaratan yang ditetapkan seperti, kesepakatan bunga pinjaman dan sertifikat tanah sebagai agunan.

Di satu sisi, pihak kreditur menetapkan bunga pinjaman dengan nilai tertentu, katakanlah bunga pinjaman 5 persen kepada pihak debitur dan jaminan sertifikat tanah. Sementara di sisi lain, pihak debitur memperoleh pinjaman uang, yang dapat dikelola atau dimanfaatkan untuk membuka usaha atau untuk kegiatan lain.

Di sini hubungan keduanya (kreditur dan debitur) berjalan normal, selama keduanya dipertemukan dengan satu kesepakatan.

Masalahnya, hubungan keduanya tidaklah berjalan baik dan normal. Persoalannya terletak pada sifat hubungan keduanya yang, menurut saya timpang.

Dengan bunga pinjaman sebesar 5persen, misalnya, dan ditambah jaminan sertifikat tanah, posisi kreditur lebih diuntungkan. Bunga pinjaman dapat mendongkrak akumulasi kapital di satu sisi, sementara di sisi lain, sertifikat tanah menciptakan pengalihan kepemilikan tanah di tangan kreditur persis ketika debitur tidak melunasi utangnya.

Hubungan keduanya justru mengandung persoalan jauh lebih besar. Karena terikat oleh tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan mendesak lainnya, memaksa debitur melakukan pinjaman di bank dan koperasi, dan dengan demikian menggantungkan nasibnya.

Ketika ia mampu membayar dan melunasi utangnya, sertifikat tanah sebagai jaminan kembali ke pangkuannya, begitu pun sebaliknya.

Pada titik ini, menurut saya, petani berdiri pada apa yang boleh kita sebut sebagai ‘subjek yang rentan’ yakni, membayar bunga pinjaman utang di satu sisi, sementara dipaksa melunasi utang untuk mencegah pengambil-alihan tanah oleh pihak kreditur pada sisi yang lain.

Persis, masalah agraria ini mendera petani dengan luas lahan kecil (petani gurem) yang terpaksa melepaskan aset tanah ketika diperhadapkan pada pilihan ‘keterdesakan ekonomi keluarga’.

Kondisi demikian justru membuat nasib petani gurem kerap mudah kehilangan tanah garapan karena tidak mampu membayar utang bank dan koperasi. Mereka (petani gurem) terpaksa meninggalkan pekerjaan sebagai petani dan melakukan migrasi ke tempat lain mencari pekerjaan yang baru. Inilah alasan mendasar mengapa migrasi ke Kalimantan, Papua, dan Malaysia oleh petani dari NTT meningkat drastis.

Dalam artikel ‘Buruh Migran, Ketimpangan Agraria, dan Pembangunan di NTT’, Emilianus Y. S. Tolo (2023) menunjukkan keterhubungan yang kuat bagaimana pilihan orang (petani) bermigrasi ke Malaysia, Kalimantan, dan Papua merupakan konsekuensi logis dari masalah ketimpangan agraria yang dihadapi petani di NTT.

Menurut Emil, sebagian petani di NTT memilih meninggalkan pekerjaan di sektor pertanian karena lahan yang sangat kecil, tidak menjanjikannya sektor pertanian, dan mahalnya biaya untuk pertanian seperti pupuk, bibit, dan lain-lain.

Intervensi Negara

Di tengah problem agraria yang mendera petani gurem, penting diperhatikan bahwa persoalannya terletak pada tiga soal yang berkait kelindan. Pertama, minimnya intervensi negara bagi petani gurem, sehingga tidak menjawab persoalan agraria yang mereka hadapi.

Negara seperti di pemerintahan SBY dan Jokowi, misalnya, kerap mengobral sertifikasi tanah. Padahal, masalah petani seperti petani gurem justru terletak pada rendahnya produktivitas pertanian sebagai akibat dari ‘mungilnya’ lahan pertanian mereka.

Kedua, sebagaimana dicatat Emil (2023), masalah ketimpangan agraria di NTT justru menjadi akar dari masalah yang melilit petani dengan lahan kecil. Mereka tidak mampu bersaing dengan petani kelas kapitalis yang menguasai berhektare-hektare luas tanah.

Ini yang membuat petani gurem justru melepaskan tanah garapannya dan menjualnya ke pihak lain, karena kecilnya produktivitas pertanian yang mereka dapatkan.

Ketiga, negara perlu memperhatikan dengan serius petani gurem dengan memberikan subsidi berupa bibit, pupuk, alat-alat pertanian, dan modal yang memungkinkan mereka memanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

Sebab, jika dilepaskan begitu saja, petani gurem justru menjadi ‘sasaran empuk’ dari beban utang bank dan koperasi, yang sewaktu-waktu mengambil-alih tanah mereka karena tidak mampu melunasi utangnya.

Pada akhirnya, persoalan agraria di NTT akan terus mengintai para petani. Bagi petani dengan lahan luas, mungkin masalahnya tidak terlalu berpengaruh. Tetapi, bagi petani gurem, masalahnya justru menjadi berbeda yakni, melepaskan tanah kecil karena utang atau bekerja di tanah kecil tersebut dengan hanya mampu mencukupi buat sekali makan keluarga.


*Patrisius E.K. Jenila adalah Alumnus Universitas Merdeka Malang dan saat ini tinggal di Jakarta.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA