Ruteng, Ekorantt.com – Diskusi publik seri literasi hak asasi manusia (HAM) digelar di Rumah Baca Aksara, Langgo, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, pada Kamis, 24 April 2025. Kegiatan ini menghadirkan pendamping dan warga terdampak proyek geotermal sebagai peserta utama.
Mengusung tema “Situasi Hak Asasi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Proyek Geotermal”, diskusi tersebut bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hak-hak dasar mereka, khususnya dalam menghadapi proyek pembangunan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan lingkungan.
Diskusi berlangsung secara hybrid, yakni luring dan daring, mulai pukul 17.00 hingga 19.00 Wita. Sejumlah tokoh masyarakat adat diundang sebagai pemantik diskusi, antara lain Jimmy Z. Ginting dari Terranusa Indonesia, Antonius Anu dari Masyarakat Adat Mataloko, Andreas Ledjap dari Masyarakat Adat Lembata, dan Agustinus Tuju dari Masyarakat Adat Poco Leok.
Para perwakilan masyarakat adat akan berbagi kesaksian terkait situasi yang mereka alami akibat pembangunan proyek panas bumi di wilayah masing-masing.
Beberapa tokoh turut hadir sebagai penanggap dalam diskusi tersebut, antara lain Pastor Beni Denar, dosen Stipas St. Sirilus Ruteng; Sri Chatun, Ketua Lakpesdam PWNU NTT; Saurlin P. Siagian, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM; serta Julio C. Achinadi dari Accountability Counsel.
Soroti Pelanggaran HAM dan Nasib Masyarakat Adat
Sejumlah komunitas dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini mendampingi warga terdampak proyek geotermal di Flores, menginisiasi diskusi publik guna membangun pemahaman kolektif mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat. Informasi ini disampaikan dalam keterangan resmi yang diterima Ekora NTT.
Diskusi ini digagas oleh berbagai elemen, antara lain Rumah Baca Aksara, Sunspirit for Justice and Peace, AMAN Nusa Bunga, JPIC SVD Ruteng, JPIC OFM Ruteng, Terranusa Indonesia, Lakpesdam NU Manggarai, Puan Floresta Bicara, Koalisi Orang Muda Peduli Iklim (KoPI), dan LBH Labuan Bajo.
Menurut panitia, kegiatan ini bertujuan mendorong sikap dan tindakan para pemangku kepentingan untuk menjalankan prinsip-prinsip HAM, khususnya terhadap kelompok rentan seperti masyarakat adat.
“Tujuan lainnya adalah memberikan pemahaman tentang konteks pembangunan dan prinsip akuntabilitas perusahaan dalam menjamin pemenuhan hak dasar masyarakat adat,” ungkap panitia.
Penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2268 K/30/MEM/2017 disebut meninggalkan berbagai tantangan, terutama bagi masyarakat adat di wilayah-wilayah terdampak.
Meskipun Flores dinilai memiliki potensi energi listrik besar dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), di lapangan justru muncul kontradiksi antara tujuan kesejahteraan dan prinsip negara hukum.
Proyek ini masuk dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Perpres Nomor 4 Tahun 2016 dan kerap dijadikan dalih untuk melakukan tindakan represif terhadap kelompok masyarakat yang kritis atau menolak.
“Masyarakat adat menjadi contoh nyata bagaimana rencana pembangunan justru membuka ruang terjadinya pelanggaran HAM,” ujar panitia.
Hal ini berseberangan dengan standar global dan nasional yang mengintegrasikan pembangunan dan bisnis dengan penghormatan terhadap HAM, seperti konsep Business and Human Rights.
Selama tiga tahun terakhir (2022–2025), berbagai penolakan terhadap rencana pembangunan PLTP tercatat di sejumlah wilayah Flores.
Bahkan, Bank Dunia diketahui pernah menarik dukungan pembiayaan proyek PLTP Wae Sano di Manggarai Barat.
Pada tahun 2025, enam keuskupan di Flores menyatakan penolakan atas proyek tersebut, yang kemudian direspons oleh Gubernur NTT dengan janji menghentikan sementara proses pembangunan.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sebanyak 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat di Indonesia sepanjang tahun 2024, dengan total wilayah terdampak mencapai 2,8 juta hektare.
Merespons situasi ini, Terranusa Indonesia melakukan penelitian tentang bentuk-bentuk tindakan pembalasan terhadap masyarakat adat, khususnya di Poco Leok, Kabupaten Manggarai dan Atakore, Lembata. Hasil penelitian tersebut akan menjadi materi utama dalam diskusi publik.
Panitia menegaskan, konflik sosial yang melibatkan masyarakat adat di Flores penting untuk dicermati secara serius.
Perlu ada langkah-langkah konkret dari berbagai pihak guna memastikan proses pembangunan berpijak pada perspektif HAM dan keadilan.
Diskusi ini juga mendorong berbagai pertanyaan kritis: Bagaimana potret nyata kasus di wilayah proyek geotermal Flores? Apa langkah yang telah ditempuh oleh komunitas terdampak? Dan, upaya apa yang harus dilakukan agar hak-hak masyarakat adat benar-benar diakui, dihormati, dan dilindungi?