Teologi Terlibat di Hadapan Gunung Meja (Mengenang Tahbisan Uskup Paul Budi Kleden)

Legenda Gunung Meja dalam versi yang dipakai dalam analisis ini menunjukkan bahwa narator dari kisah ini tidak netral dan memilih untuk berdiri di posisi para korban, yakni Meja dan Iya

Oleh: Ve Nahak*

“Tiga kata kunci teologi Metz, menurut saya, ada pada: kenangan, solidaritas, dan narasi,” demikian Gusti Tetiro dalam buku untuk mengenang gurunya Paul Budi Kleden (Tetiro, 2024: 44).

Metz berbicara tentang “kenangan yang berbahaya” (risking memory), tetapi segera perlu disadari bahwa sebuah narasi sebagai memori kolektif bisa menjadi lembek seiring waktu dan berisiko menjadi sekadar kisah romantis pengumpan tidur.

Dalam terang pemikiran Metz, Teologi terlibat adalah upaya aktif, kreatif dan berani untuk membangkitkan risking memory.

Sehubungan dengan itu, legenda Gunung Meja mesti direfleksikan ulang sebab, menurut hemat penulis, legenda ini membahasakan aspek tertentu dari realitas keterpecahan manusia di NTT pada umumnya sekaligus mengandung gugatan dan harapan. Berteologi terlibat di hadapan Gunung Meja berarti melakukan gerakan rangkap bersama Allah untuk membangun persekutuan (Budi Kleden: 2003, 28) di tengah realitas keterpecahan dalam masyarakat.

iklan

Legenda di sini dipahami sebagai local genius yang merupakan proyeksi pengalaman konkret kelompok masyarakat tertentu sepanjang sejarah yang dituturkan turun-temurun dengan tujuan formatif: untuk mendidik dan mewariskan nilai. Dalam arti ini, legenda Gunung Meja adalah “perikop Kitab Suci” umat sederhana yang ditulis dengan maksud untuk menyuarakan penderitaan para korban.

Museum rakyat

Legenda Gunung Meja adalah tragedi cinta segitiga antara Wongge, Meja, dan seorang gadis bernama Iya. Karena cintanya ditolak Iya, Wongge menyimpan dendam pada Meja dan akhirnya menebas leher rivalnya itu.

Konon, inilah alasan mengapa puncak Gunung Meja tampak seperti tanah lapang, parang Wongge berubah menjadi Pulau Ende, kepala Meja menjadi Pulau Koa, sedangkan Wongge yang penuh amarah pergi menyendiri di utara kota Ende.

Kalau Gunung Iya menyemburkan debu karena aktivitas vulkanik, masyarakat percaya bahwa itulah tangisan sang gadis untuk mengenang kekasih hatinya (disadur dari https://rizkypein.blogspot.com/2014/11/cerita-rakyat-ende.html).

Legenda Gunung Meja merupakan “museum” rakyat. Parang, tengkorak manusia, suara tangisan adalah “artefak-artefak” audio-visual yang terpajang di lanskap kota Ende. Kontemplasi para leluhur terhadap gugusan gunung dan pulau-pulau di sekitar lingkup kosmik kota kecil ini dirajut dalam sebuah narasi yang merekam memori kolektif tentang nasib orang-orang kalah.

Kalau Teologi terlibat dipahami sebagai “kritik terhadap budaya dan politik”, apa kiranya inspirasi yang bisa dipelajari dari legenda Gunung Meja?

Pertama, legenda Gunung Meja berbicara tentang realitas budaya yang ditandai oleh feodalisme yang kuat. Dalam masyarakat feodal, cinta yang merupakan urusan privat antara dua individu diperlakukan sebagai sebuah peristiwa sosial untuk mengekspansi kekuasaan.

Sebagai anak bangsawan dari puncak piramida sosial, tokoh Wongge memperlakukan Meja sebagai musuh yang layak dihabisi karena lancang menyerobot wilayah kekuasaannya. Tokoh Iya tidak dilihat sebagai subjek otonom, tetapi lebih sebagai objek garapan.

Dalam kisah tersebut berlaku hukum rimba: yang kuat selalu menang. Menghabisi yang lain adalah cara menormalisasi tatanan sosial. Kecantikan dan ketampanan seolah-olah melekat pada kalangan bangsawan.

Duet antara Meja yang fakir dan Iya yang cantik merupakan anomali dan karena itu harus dikembalikan kepada pakem semiotik yang biasa dianut oleh masyarakat feodal.

Tata bahasa (grammar) feodalisme menegaskan bahwa budaya adalah sesuatu yang keramat. Namun, dalam Teologi terlibat “kebudayaan” dimengerti sebagai sesuatu yang dinamis. Karena ia adalah hasil daya cipta akal budi, maka ia bisa dimodifikasi, dikritisi atau malah diubah dan ditinggalkan.

Seorang manusia beriman mesti mewaspadai tendensi untuk menjadikan kebudayaan sebagai sesuatu yang magis karena hal ini mengandung risiko bahwa kebudayaan dimanfaatkan sebagai instrumen kekuasaan untuk membelenggu yang lain.

Dalam sebuah kebudayaan di mana darah babi adalah elemen fundamental dalam ritus adatnya mesti menemukan solusi baru ketika virus ASF membunuh binatang-binatang kurban. Demikian pula kepanikan ketika pandemi covid-19 menantang agama untuk menjadi lebih kreatif (Max Regus, 2020).

Tanpa imajinasi dan kreativitas, budaya bisa macet sebagaimana secara dramatis digambarkan dalam Kitab Yoel. Ketika gandum dan anggur – dua materi dasar ritus di sekitar mezbah – punah karena wabah, para pemabuk dan para imam menjadi bahan olok-olokan karena mereka menganggur (Bdk. Yl 1: 5.9).

Horizon persaudaraan

Kedua, feodalisme dalam legenda Gunung Meja menegaskan bahwa strata sosial yang bercorak piramidal mesti dijaga dengan ongkos apapun termasuk nyawa manusia. Artinya, Wongge adalah pahlawan budaya feodal karena berjasa menegakkan prinsip-prinsip lama. Namun, dari perspektif kristiani, kisah ini justru berbicara tentang gagalnya persaudaraan.

Dalam refleksinya tentang kisah Kain dan Habel, Luis Alonso Schökel mengatakan bahwa narasi pembunuhan pertama versi Alkitab tersebut adalah paradigma bagi setiap peristiwa kekerasan.

Kata Schökel, “Kalau sekiranya semua manusia bersaudara maka setiap pembunuhan pada dasarnya adalah pembantaian terhadap saudara sendiri.” (Schökel, 1997: 11). Pembunuhan Wongge terhadap Meja merupakan sebuah kisah kekerasan primordial versi lokal yang menggambarkan tentang sempitnya horizon persaudaraan.

Legenda Gunung Meja meninggalkan pesan bagi kita bahwa persaudaraan adalah sesuatu yang tidak turun dari langit, tetapi mesti diperjuangkan secara strategis. Sejarah dunia menunjukkan bahwa persaudaraan membutuhkan latihan dan dapat diuji terus-menerus dalam peradaban. Perang Rusia-Ukraina, Israel-Palestina dengan jelas menunjukkan hal itu.

Dalam sejarah modern Indonesia, kesadaran tentang persaudaraan lintas pulau di Nusantara baru dirumuskan secara eksplisit dalam peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 yang kemudian dimantapkan dalam proklamasi kemerdekaan NKRI dengan Pancasila sebagai wawasan filosofisnya. Namun, paradigma persaudaraan lintas batas ini terus diuji dalam peristiwa 1965, pergolakan Timor-Timur, konflik Aceh, Ambon dan Papua.

Sejauh penelitian penulis, kata “Saudara” yang dipahami dalam pengertian luas sebagai pertalian keluarga yang melampaui batas-batas primordial suku dan ras merupakan rumusan yang terbilang baru dalam peradaban modern NTT. Kata “Saudara” dalam pengertian ini rupa-rupanya masuk bersamaan dengan misi Gereja di NTT.

Sampai dengan awal abad ke-20 kata “Saudara” pada umumnya masih dipahami secara sempit sebagai “pertalian antara orang-orang sesuku”. Suku lain selalu diwaspadai sebagai musuh yang berbahaya dan patut dicurigai.

Asumsi di atas didukung misalnya oleh kisah-kisah perjalanan misi di Timor yang dikumpulkan Peter Laan dalam tiga jilid Sejarah Gereja Katolik di Timor (Nusa Indah: 1970). Praktik pemenggalan kepala di Timor menunjukkan bahwa kekerasan dan rasa curiga antarsuku masih sangat kental di awal abad ke-20.

Namun, kehadiran Gereja lewat misi parokial dan pendidikan telah mengintroduksi sebuah budaya baru. Dalam waktu tidak lebih dari separuh abad, anak-anak dari Timor yang suku-sukunya bermusuhan dan terbiasa merencanakan perang tanding sudah bisa dikumpulkan bersama di Seminari Menengah Mataloko dan saling menyapa sebagai “Sama saudara”.

Moto Uskup Agung Ende adalah sebuah ajakan untuk mempromosikan persaudaraan lintas batas dalam pengertian yang luas. Persaudaraan dalam arti ini merupakan ekspresi dari iman yang tidak mengurung seseorang dalam keamanan diri sendiri, dalam keasyikan mengurus keselamatan diri sendiri, tetapi sebaliknya untuk ikut merasakan penderitaan orang lain.

Tragedi Gunung Meja adalah berita sehari-hari di koran dan media sosial yang tampil kembali dalam kasus-kasus perdagangan orang (human trafficking), HIV-AIDS, dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

Berteologi terlibat dalam konteks Flores berarti mampu membaui realitas kemiskinan NTT dengan segala problematikanya (Rikard Rahmat, Floresa.co, 2024). Teologi Terlibat secara moral mendesak kita untuk mencegah tragedi Meja dan duka Iya terulang kembali.

Memori berbahaya

Ketiga, kerangka dasar kisah Gunung Meja, meminjam Metz, menyimpan sebuah “kenangan yang berbahaya”. Gunung Meja dan Pulau Koa adalah wakil dari tubuh yang terluka. Tubuh yang mendemonstrasikan lukanya kepada publik seperti Yesus kepada Thomas dan kawan-kawannya.

Legenda Gunung Meja adalah sekaligus monumen luka di hadapan kota Ende yang membiarkan kisah tentang kekerasan terus berbicara dalam kebisuan. Memori kolektif tentang Gunung Meja dan Iya adalah ingatan rakyat yang menuntut keadilan.

Letusan Gunung Iya dalam wawasan orang Ende-Lio adalah protes terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan yang diwakili oleh tokoh Wongge. Di sini legenda tersebut menegaskan tentang otoritas korban. Korban terus bersuara bersama semua elemen kosmik.

Namun, ada bahaya bahwa legenda sebagai sebuah dongeng rakyat dikisahkan sebagai kenangan romantis yang menjadi candu. Padahal, risking memory yang dimaksudkan Metz ialah sebuah kenangan yang aktif dan kritis serta diperjuangkan secara praktis demi mewujudkan keadilan.

Pendeknya ingatan publik yang antara lain diperkuat oleh banjir bandang informasi akan menjadi tantangan tersendiri untuk membangkitkan kembali memori-memori tragis masa silam. Orang tidak lagi bergairah untuk berbicara tentang masa lalu karena isu-isu lama sudah terlanjur menjadi sampah dan kini sudah ada isu lain yang lebih aktual. Mentalitas instan ini sangat bisa menjinakkan masyarakat.

Dari sisi kritik redaksi (redaction criticism), legenda Gunung Meja menampilkan sebuah anomali menarik. Gunung api aktif di Flores biasaya diidentifikasi sebagai “laki-laki”, sedangkan gunung yang lebih tenang dilabeli “perempuan”. Sebagai rujukan, pasangan Ebu Lobo dan Ine Rie di Ngada atau Lewotobi Laki-laki dan Lewotobi Perempuan di Flores Timur.

Namun, dalam legenda Gunung Meja, Iya yang merupakan gunung api aktif justru diidentifikasi sebagai “perempuan”. Gejolak vulkanik tidak dibaca secara kultural sebagai manifestasi dari keperkasaan khas maskulin, tetapi justru sebagai air mata perempuan. Itu berarti legenda Gunung Meja adalah teks kebudayaan yang mendekonstruksi pakem semiotik tradisi penamaan gunung-gunung berapi di Flores dan menawarkan satu hermeneutika baru di mana suara protes kaum perempuan diamplifikasi secara simbolik.

Pelintiran semiotik di atas tidak mungkin datang dari posisi status quo. Legenda Gunung Meja dalam versi yang dipakai dalam analisis ini menunjukkan bahwa narator dari kisah ini tidak netral dan memilih untuk berdiri di posisi para korban, yakni Meja dan Iya. Narator membeberkan kisah itu apa adanya untuk mengundang empati dan bela rasa (compassio) para pembacanya agar dapat mencegah jatuhnya korban-korban lain.

Laporan Kompas tahun 2023 lalu menyatakan bahwa rata-rata 100 peti jenazah perantau diterima di Bandara El Tari Kupang setiap tahunnya. John Prior – rekan teolog Budi Kleden – menyebut mereka sebagai para perantau yang “gagal” dan pulang kampung (Prior, 2015).

Bagaimanapun juga Paulus Budi Kleden – Uskup Agung Ende – dan kebanyakan pastor misionaris asal NTT adalah para perantau dengan nasib yang berbeda. Kata “perantau” di sini digunakan dalam nuansa yang diperkenalkan Mangun Wijaya dalam novelnya Burung-burung rantau.

Seorang perantau mampu mengambil jarak dengan budaya dan tradisi tanah kelahirannya. Kiranya dengan itu sikap kritis diaktifkan dan tragedi Gunung Meja bisa ditulis ulang sebagai epos harapan.

Terima Kasih Monsinyur Budi dan selamat melayani.


*Penulis, Dosen IFTK Ledalero

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA