Kupang, Ekorantt.com – Floresa resmi melaporkan kasus dugaan kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Herry Kabut oleh aparat keamanan di Polres Manggarai dan seorang oknum jurnalis ke Polda NTT pada Jumat, 11 Oktober 2024.
Laporan untuk tindak pidana umum di bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) dan laporan etik di Bagian Profesi dan Pengamanan (Propam).
Pelaporan ini berkaitan dengan tindak kekerasan yang menimpa Herry pada 2 Oktober 2024, saat tengah meliput aksi protes warga terhadap proyek geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai.
Saat itu, Herry diduga dianiaya hingga mengalami luka, alat kerjanya dirampas dan polisi mengecek isi ponsel dan laptopnya, sebelum ia kemudian dibebaskan hampir empat jam kemudian.
Herry didampingi oleh Tim Hukum dari Komite Perlindungan Jurnalis dan Masyarakat Sipil Flores dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), termasuk KKJ Wilayah NTT.
Selain Herry, dua orang perwakilan warga Poco Leok yang menjadi korban kekerasan juga seorang saksi turut membuat pelaporan.
Mereka berangkat dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai pada 11 Oktober pagi, didampingi dua orang pengacara, Ferdinansa Jufanlo Buba dan Yulianus Ario Jempau.
Tiba di Polda NTT pada pukul 12.30 Wita, mereka langsung mendaftarkan laporan pengaduan di Propam yang diterima dengan nomor: SPSP2/35/X/2024/YANDUAN.
Sementara laporan polisi atas kekerasan oleh aparat dan salah satu oknum jurnalis berinisial TJ yang ikut menganiaya Herry juga dilaporkan di bagian SPKT. Laporan diterima dengan nomor: LP/B/285/X/2024/SPKT/Polda Nusa Tenggara Timur.
Herry kemudian melakukan visum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kupang sekitar pukul 16.00 Wita, lalu diperiksa hingga pukul 19.30 Wita.
Setelah di SPKT, Hery melanjutkan memberi keterangan di Propam yang baru selesai pada 12 Oktober dini hari sekitar pukul 01.30 Wita.
Untuk proses lebih lanjut, Propam Polda berjanji akan melakukan audit lanjutan ke Polres Manggarai dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi lain, termasuk polisi terlapor.
Jufan berkata, mereka mengajukan sejumlah bukti, baik foto, video, surat keterangan hasil pemeriksaan medis dan hasil visum lanjutan yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Bhayangkara Kupang.
Selama pemeriksaan, kata dia, Herry bisa mengidentifikasi dengan jelas para terduga pelaku, juga identitas jurnalis TJ yang ikut menganiayanya. Jurnalis itu ikut dalam mobil rombongan aparat, pemerintah dan PT PLN yang mengerjakan proyek geotermal Poco Leok.
Ia menjelaskan, pihak Reskrim Polda mengkualifikasi laporan ini sebagai tindak pidana pengeroyokan sebagaimana yang diatur dalam pasal 170 KUHP.
“Pengeroyokan dilakukan oleh aparat keamanan dan jurnalis TJ dalam konteks tugas jurnalistik Herry saat melakukan liputan,” katanya.
Namun, kata dia, laporan ini merupakan tahap awal untuk selanjutnya dilakukan penyelidikan lanjutan oleh tim penyelidik Polda.
“Kami mendorong Polda agar juga menerapkan pasal 30 undang-undang ITE terkait tindakan illegal access atas data pribadi pelapor dari ponsel dan laptop, juga Undang-undang Pers pasal 18 ayat 1 mengenai larangan peliputan,” katanya.
“Kami sangat yakin beberapa pasal ini akan terpenuhi sebagai delik alternatif apabila pada saat proses penyelidikan keterangan saksi-saksi di lapangan sinkron dengan bukti-bukti awal yang telah kita ajukan,” tambahnya.
Pelaporan ini diiringi unjuk rasa dari 16 elemen mahasiswa dan aktivis di Kupang, yang menyatakan mendukung terhadap upaya Herry dan warga memproses kasus tersebut secara hukum.
Sebelum ke Polda NTT, mereka melakukan aksi di depan Gedung DPRD NTT dan setia menanti proses pemeriksaan hingga larut malam.
Agustinus Tuju, warga Poco Leok yang ikut berorasi saat aksi di depan Polda NTT berkata, ia dan warga lainnya menjadi saksi saat penangkapan Herry.
Namun, kata dia, peristiwa itu tidak bisa direkam warga karena polisi mengejar masyarakat yang memegang ponsel dan berusaha memvideokan peristiwa itu.
Ia menjelaskan, aksi aparat itu membuat video terkait penangkapan Herry “sangat terbatas.”
“Karena, begitu polisi melihat masyarakat yang pegang ponsel, langsung dikejar sehingga tidak banyak gambar dan data yang bisa diambil. Bahkan ada juga ponsel masyarakat yang disita,” jelasnya.
Erick Tanjung dari Satgas Anti Kekerasan terhadap Jurnalis di Dewan Pers mendukung penuh langkah Floresa membawa kasus ini ke ranah hukum karena merupakan pelanggaran pidana serius terhadap pers.
“Kami berharap Polda NTT menuntaskan kasus ini, sehingga tidak ada lagi kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis,” katanya.
“Para pelaku harus dihukum. Penting dicatat bahwa sudah ada yurisprudensi di mana polisi pelaku kekerasan terhadap jurnalis divonis penjara,” tambahnya, menyinggung kasus kekerasan terhadap Nurhadi, jurnalis Tempo di Jawa Timur yang pelakunya dipenjara 10 bulan dan korban mendapat restitusi.
Ia berkata, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu juga telah menulis surat kepada Kapolri Listyo Sigit Prasetyo untuk memberi atensi pada kasus ini.
Erick telah menemui langsung Herry dan para saksi di Labuan Bajo saat proses asesmen terhadap kasus ini, yang kemudian menjadi dasar bagi surat Ketua Dewan Pers.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, mengapresiasi Floresa yang membawa kasus ini ke ranah hukum, menyebutnya sebagai “langkah tepat.”
“Jurnalis dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh UU Pers, sehingga segala bentuk intimidasi terlebih penganiayaan adalah tindakan pidana dan mencederai demokrasi,” katanya.
“Kita tidak boleh diam terkait segala bentuk kekerasan kepada jurnalis,” tambahnya.
Ade juga berharap, Polda NTT segera melakukan pemeriksaan terhadap terduga pelaku hingga tuntas.
“Kami menanti langkah tegas Kapolda. Dan untuk masyarakat, mari kita kawal kasus ini hingga pelaku diadili di meja hijau,” katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda NTT, Ariasandy menyatakan dalam alam siaran pers pada 12 Oktober bahwa pihaknya menanggapi dengan serius setiap laporan dari masyarakat, terutama yang melibatkan dugaan pelanggaran oleh anggotanya.
Hal itu, katanya, “untuk menjaga profesionalitas dan integritas institusi kepolisian dalam melayani dan melindungi masyarakat.”
Ia juga berjanji “tidak akan mentoleransi segala bentuk tindakan kekerasan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anggota.”
Sementara itu, Pemimpin Umum Floresa, Ryan Dagur berkata, langkah hukum ini merupakan upaya Floresa untuk menolak bungkam terhadap upaya represif aparat terhadap jurnalis.
“Upaya ini sekaligus komitmen kami pada pentingnya menjaga kebebasan pers di negara demokrasi,” katanya.
Ia berkata, karena terlapor dalam kasus ini adalah aparat, solidaritas publik menjadi penting.
“Terima kasih atas dukungan berbagai pihak, termasuk elemen masyarakat sipil, sesama jurnalis, media-media lain dan Dewan Pers untuk pengusutan kasus ini,” katanya.
“Kami juga secara khusus berterima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa dan aktivis di Kupang yang setia menunggu di depan Polda NTT hingga malam, demi mendukung upaya mencari keadilan ini,” tambahnya.