Oleh: Antonius Rian
Kata ‘seragam’ memang sangat menyeramkan dalam kaitan dengan pola konsumsi warga Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur. Pemerintah sejak era orde lama yang berpuncak pada revolusi hijau orde baru telah ‘memaksa’ warga untuk mengonsumsi beras sebagai pangan pokok.
Warga diminta mengonsumsi beras yang seragam. Padahal, kondisi alam Indonesia sebenarnya relevan dengan pangan yang beragam. Buku Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan (2023) yang ditulis oleh Ahmad Arif, merangkum persoalan pangan dari yang beragam menuju yang seragam.
Salah satu persoalannya adalah konsep inferioritas terhadap pangan lokal membuat warga NTT melihat sebelah mata pangan lokalnya sendiri.
Inferioritas didahului dengan merusak persepsi masyarakat NTT tentang kekayaan pangan lokalnya, misalnya pangan kotor, tidak sehat, terbelakang, dan lain-lain.
Sebaliknya pengkultusan terhadap beras dari luar NTT mulai dikonstruksi secara sistematis dengan berbagai dalil palsu misalnya, makanan elitis, sehat, bersih, dan meningkatkan kelas sosial.
Menanggapi fakta problematis tentang pangan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pemerintah pusat melalui Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek RI telah melahirkan program Sekolah Lapang Kearifan Lokal.
Poin dari program ini adalah mendorong masyarakat adat untuk mendata atau menemukenali kembali 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan (OPK) di daerahnya masing-masing. Di NTT, telah dilakukan di beberapa tempat, misalnya Lembata, Flotim, Sikka, dan Alor.
Obyek Pemajuan Kebudayaan yang dimaksudkan adalah bahasa, ritus, pengetahuan tradisional, seni, olahraga tradisional, permainan tradisional, adat istiadat, manuskrip, teknologi tradisional, dan tradisi lisan.
Program Sekolah Lapang Kearifan Lokal lebih menekankan pada empat poin yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 2017 yakni perlindungan, pemanfaatan, pengembangan, dan pembinaan.
Pangan lokal NTT sebagai makanan pokok yang sarat dengan kandungan gizi bernilai tinggi masuk dalam kategori pengetahuan tradisional. Pangan lokal NTT sangat kaya dan beragam, misalnya umbi-umbian, jagung lokal, kacang-kacangan, padi ladang, buah-buahan, sayuran hingga pangan laut yang kaya protein.
Dalam sejarahnya, NTT pernah surplus pangan lokal dan berdaulat di atas tanah sendiri tanpa harus menguras rupiah untuk mendatangkan beras dari luar daerah. Namun, fakta hari ini berkata lain.
Beras telah menjadi pangan pokok. Padahal, sebagian besar wilayah NTT bukan lahan yang cocok untuk memproduksi beras sawah.
Untuk mengatasi persoalan seperti ini, dibutuhkan kesadaran dan gerakan masif untuk membangkitkan kembali kedaulatan pangan lokal di NTT. Suku Boti di Timor, misalnya, bisa dijadikan cerminan tentang kedaulatan pangan lokal.
Ketahanan dan Kedaulatan Pangan
Hal yang menarik dari suku Boti di Timor adalah menolak bantuan beras raskin (Kompas.id, 20/2/2024). Bukan karena orang Boti anti beras melainkan nilai yang mau mereka tampilkan adalah soal konsistensi menjaga kedaulatan pangan. Sudah saatnya, orang NTT belajar pada budaya orang Boti tentang sistem pertanian dan konsep tentang menjaga pangan lokal.
Dari aspek kesehatan, belum ada data valid yang menjelaskan bahwa orang Boti terpapar gizi buruk dan stunting karena menolak beras raskin dan mengonsumsi pangan lokal. Tradisi Suku Boti ini telah menampar cara kerja pemerintah yang memberikan sumbangan raskin tanpa edukasi.
Hal ini bisa berakibat pada mental masyarakat dari pekerja menjadi pengemis. Alhasil, masyarakat tidak didorong untuk bekerja mengoptimalisasi lahan di daerahnya, sebaliknya duduk menunggu beras dari Jakarta.
Selain itu, komunitas Lakoat Kujawas menjadi inspirasi tersendiri bagi pengembangan pangan lokal NTT dengan menonjolkan kreativitas dan inovasi. Komunitas yang dinakhodai oleh Dicky Senda membaktikan diri untuk membudidayakan dan mengolah pangan lokal.
Budaya suku Boti dan inovasi komunitas Lakoat Kujawas mesti melahirkan cara berpikir baru tentang potensi pangan lokal di NTT. Pemerintah daerah mesti mampu membedakan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
Ketahanan pangan berfokus pada ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, pangan lokal tidak mendapat tempat utama.
Sementara itu, kedaulatan pangan berarti menekan ketergantungan pada beras dan makanan instan yang datang dari luar NTT. Hal ini berarti, pangan lokal NTT menjadi yang utama untuk dibudidayakan dan dikonsumsi.
Kedaulatan pangan pernah berjaya sebelum datangnya beras. Artinya, pangan lokal adalah tradisi yang perlu dibangkitkan kembali dengan tetap beradaptasi dengan tuntutan zaman.
Keberlanjutan Pangan Lokal
Upaya untuk membangkitkan kembali kedaulatan pangan lokal menjadi tugas bersama semua pihak. Yang harus diubah terlebih dahulu adalah cara berpikir inferior. Pola konsumsi ikut diubah, dari ketergantungan pada beras dari luar NTT menjadi bergantung pada pangan lokal setempat.
Sebut saja sorgum. Dari aspek kesehatan, dalam 100 gram sorgum mengandung energi 366 kalori, protein 11,0 gram, lemak 3,3 gram, karbohidrat 73 gram, serat 1,2 gram, dan vitamin c 0,0 mcg (sumber: Tabel Komposisi Pangan Indonesia Kemenkes, 2017).
Mengarusutamakan pangan lokal harus didukung oleh kebijakan pemerintah daerah. Didukung pula edukasi untuk membudidayakan pangan lokal.
Persoalannya adalah pemerintah lalai untuk berpikir dengan cara seperti ini. Program Tanam Jagung Panen Sapi adalah kebijakan yang mesti dievaluasi sebab jagung yang ditanam adalah hibrida yang bisa mengancam eksistensi jagung lokal.
Ketika dasar hukum sudah jelas, maka edukasi masif mesti terus berjalan ke pelosok tentang pentingnya kedaulatan pangan lokal. Dengan begitu, warga NTT tak perlu terlalu banyak mengeluarkan rupiah untuk membeli beras dari luar daerah.
Seperti yang diketahui bahwa harga beras pernah naik hingga Rp17.000 per kilogram. Bayangkan saja, harga setinggi itu bisa mencekik masyarakat kecil.
Tentu pangan lokal hadir sebagai solusi. Namun, bayangkan jika tak ada pangan lokal yang disiapkan di dapur mama NTT?
Apalagi pada 2025 mendatang, pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto akan menerapkan makan siang gratis di sekolah. Ini menjadi kabar baik, peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat NTT.
Hal ini menjadi peluang karena produksi dan distribusi pangan lokal, pada skala lebih kecil yakni di desa, dapat berdayakan. Misalnya, sekolah bekerja sama dengan pemerintah desa untuk mengonsumsi pangan lokal gratis.
Dengan demikian ada dua keuntungan yang diperoleh yakni kesehatan dan rantai ekonomi bisa berputar di desa bersangkutan. Namun, akan menjadi tantangan jika pangan lokal diabaikan.
Tradisi
Di Desa Watodiri, Kabupaten Lembata, ada budaya yang disebut dengan tradisi buka badu, dikhususkan untuk menunjang kebutuhan pangan laut.
Di wilayah laut yang telah ditentukan berlaku larangan adat (muro), tidak boleh mencari ikan di situ dalam jangka waktu tertentu, kecuali sudah diadakan ritual untuk membuka pintu izin bagi warga.
Ada juga budaya makan kacang dan jagung baru – misalnya uta weru dan ka weru di Ileape dan Kedang, Kabupaten Lembata.
Tentu ada juga budaya lain di masing-masing daerah di NTT yang menggambarkan hubungan tradisi, pangan lokal, dan manusia. Poinnya adalah pangan lokal adalah warisan budaya nenek moyang NTT yang sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan manusia, baik pada masa lampau maupun sekarang.
Tanpa pangan lokal, budaya NTT yang tergambar dalam ritus-ritus tradisional pun akan hilang dari pengetahuan kita.
Orang NTT dengan karakter budaya lokal yang masih kuat sangat menghormati pangan lokalnya, apalagi ada legenda tentang Tonu Wujo dan Ine Pare di Flores yang menggambarkan bahwa pangan bersumber dari tubuh seorang perempuan.
Cerita lisan itu membuka wawasan kita bahwa pangan lokal sangat berharga dan patut dijaga, terlebih harus dikonsumsi oleh masyarakat NTT. Dengan demikian, ketergantungan kita pada beras bisa hilang, sudah saatnya kita pangan lokal kembali menjadi hidangan keluarga.
Salah satu jalannya adalah memasukkan pangan lokal dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Hal ini membantu anak-anak untuk mengenal potensi pangan di wilayah NTT.
Cara pewarisan pengetahuan lokal melalui sekolah, juga instansi pemerintah dan agama adalah hal urgen yang mesti dipikirkan bersama demi kedaulatan pangan yang bisa menunjang keberlanjutan hidup manusia NTT baik dari aspek, ekonomi, sosial budaya, maupun kesehatan.
*Penulis adalah warga Lembata, bergiat di komunitas Pandu Budaya Lembata