Ruteng, Ekorantt.com – “Weri betong kudut kembus wae teku, mboas wae woang,” kata RD Jossy Erot, Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Ruteng dalam homili misa pemberkatan penanaman bambu di halaman mbaru gendang (rumah adat) di Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai pada Jumat, 14 Februari 2025.
Itu berarti Romo Jossy mengajak umat untuk “menanam bambu untuk kelimpahan air dan kesinambungan sumber mata air.”
Pagi itu, Romo Jossy memimpin misa bersama imam konselebran RD Stephanus Sawu, Pastor Paroki Narang, yang diikuti oleh warga, aparat desa, Babinsa, dan tokoh adat setempat.
Sekitar 200 bibit bambu tertata rapi di halaman rumah adat. Tersedia pula bibit buah seperti nangka, durian, dan mangga.
Yos Sudarso, Koordinator Program Yayasan Ayo Indonesia, mengatakan pemberkatan bibit dilakukan sebelum penanaman bersama di Wae Wetu, Desa Terong.
“Semua elemen masyarakat kita ajak untuk ikut terlibat,” tutur Yos.
Kegiatan penanaman bibit ini merupakan kerja sama Komisi PSE Keuskupan Ruteng, Yayasan Ayo Indonesia, dan Yayasan KEHATI.
“Selain pengembangan pangan lokal, pemberdayaan, dan konservasi mata air menjadi salah satu kegiatan bersama masyarakat dalam bingkai program pelestarian dan pemanfaatan sumber daya hayati lokal,” kata Puji Sumedi selaku Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI.

Setidaknya, enam mata air yang ada di wilayah Terong. Sayangnya, debit airnya mulai berkurang. Salah satunya mata air di Wae Wetu, yang menjadi sumber air utama.
“Mata air ini menghidupi enam kampung atau lebih dari 700 kepala keluarga di wilayah desa dan sekitarnya,” kata Kepala Desa Terong, Theodirikus Atong.
Sebelum penanaman, tokoh adat atau tua gendang memberikan penghormatan kepada leluhur agar merestui dan turut menjaga tanaman.
Menanam bambu, menjadi pilihan mengantisipasi kondisi iklim yang berubah. Apalagi, dampaknya sudah terasa.
“Ketersediaan air semakin menipis. Harapannya, dengan meningkatnya vegetasi bambu, debit air di Wae Wetu meningkat,” tambahnya.
Gerakan konservasi mata air dengan bambu dan tumbuhan lain, menjadi satu fokus gerakan ekologis yang terus dilakukan, sejalan dengan program pastoral 2025 Keuskupan Ruteng Tahun Ekaristi Transformatif.
“Ekaristi sosial mengajak setiap orang mewujudnyatakan nilai ekaristi dalam kehidupan. Salah satunya adalah mencintai dan melestarikan alam ciptaan,” papar Romo Jossy.
Menurutnya, menanam bambu juga merupakan amanat dari Ensiklik Laudato Si yang mengajak manusia untuk melestarikan alam lingkungan dan menjaga keharmonisannya.
Kekhasan bambu dengan kemampuan menampung air yang banyak. Selain itu, jenis rumput raksasa ini menyediakan oksigen yang cukup, penyerap karbon yang besar dan menjadikannya tanaman yang dapat diandalkan dalam menjaga bumi sebagai rumah bersama.
“Kalau kerusakan ekosistem di muka bumi adalah dosa ekologis yang disebabkan oleh manusia maka menanam bambu dan konservasi mata air adalah bagian dari pertobatan ekologis,” imbuhnya.
Sebelumnya, penanaman serupa dilakukan bersama siswa sekolah di mata air Wae Ketang, yang menghidupi sekitar 1.000 jiwa. Selanjutnya, penanaman akan dilakukan di mata air Wai Waning, dilanjutkan ke Wae Cober, sumber air bagi 300 jiwa dan mengairi sawah seluas 25 hektar.

Tepat di 14 Februari, di hari kasih sayang, aksi tanam bambu menjadi bentuk nyata kasih sayang kepada semua makhluk.
“Manusia wajib melestarikan pemberian Tuhan dan merawatnya sebagai saudara. Perlu aksi dan tindakan nyata untuk semua orang bahkan anak cucu dan alam semesta. Konservasi mata air Wae Wetu menjadi tanda kasih sayang yang abadi,” pungkas Romo Stephanus Sawu.