Maumere, Ekorantt.com – Perbedaan adalah sesuatu yang terberi. Tapi perjuangan untuk merayakan keberagaman dalam perbedaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Sulit dan melewati jalan berliku.
Sepulang merantau dari Kalimantan pada 2009 lalu, keluarga terheran-heran dengan penampilan Arzeti, 38 tahun. Ia pergi merantau pada 2002 dan kembali ke rumah dengan penampilan yang berbeda, menjadi perempuan seperti keinginannya.
Keluarganya menolak, terutama kakak-kakak. Hanya sang ibu yang tetap menerima dan memahami keputusannya. “Mama tidak, mama sayang saya,” ujarnya pada Ekora NTT saat ditemui pada 18 September 2020 lalu.
Arzeti terus meyakinkan keluarganya bahwa apa yang terjadi adalah wajar dan keinginan dirinya. Ia juga tunjukkan bahwa dirinya mampu mandiri secara finansial dengan identitas dirinya.
“Saya meyakinkan mereka, saya bahagiakan mereka. Sekarang mereka sudah menerima saya apa adanya. Mereka senang karena saya senang,” tutur Arzeti berapi-api.
Penolakan juga dialami oleh Lolita, transgender berusia 30 tahun yang coming out sejak berusia 16 tahun. Ia yang kini memiliki usaha salon sendiri, dulu selalu menjadi sasaran kemarahan keluarganya apabila berpenampilan seperti perempuan.
“Keluarga marah, tidak terima saya menjadi transgender. Satu tahun lamanya saya tidak diterima sama keluarga,” Lolita bercerita.
Penolakan juga diterimanya dari lingkungan masyarakat. Tak sedikit umpatan dan cemoohan mengarah pada dirinya. Banyak yang mempertanyakan, “kenapa saya jadi banci?” kenangnya.
Meski begitu keduanya tidak pernah patah semangat, mereka tetap memilih aktif di kegiatan masyarakat termasuk aktif di kegiatan gereja. Hal ini dilakukan sebagai upaya mendekatkan diri dengan masyarakat dan meredakan stigma negatif.
Lolita adalah ketua orang muda Katolik (OMK) Stasi Paga dan anggota seksi Humas paroki Maulo’o. Arzeti sendiri bergabung di OMK paroki. “Teman-teman OMK senang dengan kami karena suara kami bagus-bagus. Mereka bergantung untuk suara tenor dan bass,” cerita Arzeti.
Selain bergabung dengan paduan suara Alvaro Paroki Salib Suci Maulo’o Paga yang merupakan kelompok paduan suara khusus laki-laki dan transpuan, Arzeti juga bergabung di dalam kelompok paduan suara bernama Moca Maci, kelompok paduan suara khusus transpuan di Paga.
“Mosa itu laki-laki. Maci kami ambil dari bahasa Jawa, Maci kan mama kecil, perempuan. Di antara perempuan dan laki-laki, kami sebut Moca Maci,” ujar Arzeti menambahkan asal nama komunitasnya.
Terbentuknya Moca Maci, kata Arzeti, semata-mata untuk mempererat persaudaraan sesama transpuan lewat paduan suara dan olahraga. Tak ada sedikitpun terbersit niat untuk menjadi kelompok yang eksklusif.
Hal ini terlihat dari bergabungnya Rosalinda, 37 tahun, seorang transpuan beragama Muslim yang ikut bergabung dalam kegiatan Moca Maci. Rosalinda yang juga aktif dalam kegiatan remaja masjid ini juga selalu ikut saat paduan suara bernyanyi di gereja.
“Di sini (Moca Maci – red) saya sendiri transpuan yang Muslim. Dulu ada dua orang, tapi yang satu sudah merantau ke Kalimantan. Rasanya saya bisa berbuat sesuatu di tengah masyarakat saat bergabung di sini,” cerita Rosalinda yang punya usaha salon kecantikan ini.
Selain punya jadwal khusus tampil di lingkungan paroki, Moca Maci juga kerap tampil di banyak acara seperti kedukaan, pernikahan termasuk tampil di luar kota. Hubungan baik untuk tampil bersama atau sekadar bermain voli juga kerap dilakukan dengan komunitas transgender di luar Paga.
Arzeti berharap dengan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan masyarakat, pandangan miring tentang transgender akan segera menjadi masa lalu. “Kami (transpuan) harus buat sesuatu yang baik, supaya pandangan masyarakat tentang kami lebih baik lagi,” ucap Arzeti.
Sekalipun stigma negatif memang belum sepenuhnya sirna tapi Arzeti harapkan pelan-pelan akan terkikis. Termasuk penerimaan keseluruhan terhadap identitas diri mereka sebagai transpuan.
Ini juga, menurut Arzeti, yang menyebabkan komunitas transpuan sangat paham terhadap situasi masyarakat. Misalnya, saat beribadah ke gereja pada hari Minggu, mereka mengenakan pakaian layaknya laki-laki.
“Artinya di mana kita berada, kita tahu bawa diri. Kita sesuai dengan situasi dan kondisi. Kalau acara pesta ataupun acara-acara tertentu, baru kami berpenampilan seperti perempuan,” imbuhnya

Berbagi Kala Pandemi
Pertengahan Mei 2020 lalu, angka kasus Covid-19 di Lembor, Kabupaten Manggarai Barat menjadi begitu tinggi hingga pembatasan aktivitas dilakukan. Keluar masuk wilayah Kabupaten Manggarai Barat diperketat.
Pada saat yang bersamaan, klaster penyebaran Covid-19 di Gowa dan Magetan yang disebabkan kegiatan keagamaan berubah menjadi stigma negatif pada umat Muslim di sana. Dituduh sebagai penyebar Covid-19, umpatan dan caci-maki berseliweran di dunia maya. Meski begitu tetap ada yang terus bergerak membantu sesama selama pandemi Covid-19 tanpa memandang perbedaan agama.
Adalah Suster Chrisanta yang kerap berdoa dalam gelisah, “Tuhan Yesus, saya sudah janji dengan saudara-saudara Muslim di Nangalanang (Manggarai Timur). Saya tidak mau mereka kehabisan makanan saat bulan Ramadhan.”
Doanya masih sama di Mei lalu, agar tidak ada yang kehabisan makanan saat pandemi Covid-19 melanda. Pembicaraan ramai menyebut umat Islam penyebar Covid-19 tak digubrisnya, ia hanya khawatir warga di Nangalanang tidak memiliki makanan cukup.
Bahan makanan, masker dan cairan disinfektan sudah dikumpulkan serta siap dikirimkan. Namun terkendala tidak dapat disalurkan karena adanya pengetatan akses keluar masuk di perbatasan. Karena itu Suster Chrisanta memberanikan diri berangkat ke Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur dengan menumpang mobil angkutan umum. Dari Borong ia naik ojek ke Desa Bea Ngencung. Setengah perjalanan, ia melanjutkan berjalan kaki sejauh 10 kilometer.
Sebelum memasuki kampung Nangalanang, sungai Wae Musur yang terbagi menjadi tiga alur membentang di depan mata. Jembatan bambu yang dibangun warga membantunya menyeberangi sungai dan tiba dengan selamat di Nangalanang saat tengah hari. Imam masjid dan umat muslim Nangalanang menerimanya di Masjid. Mereka sudah menunggunya sejak pagi hari.
“Mereka terima saya dengan begitu bagus sekali. Semua orang datang ke Masjid. Saya bahagia sekali. Ada rasa kekeluargaan di situ,” cerita Suster Chrisanta.
Ini bukan pertama kalinya Suster Chrisanta berbagi. Bersama anggota Biara Congregatio Imitatiomis Jesus (CIJ) lainnya, ia rutin mengirimkan bantuan sembako sebelum pandemi. Setiap hari Jumat, para suster di biara terbiasa makan lebih sedikit untuk disisihkan dan dibagikan kepada yang membutuhkan.
“Warga di sekitar biara juga ikut sumbang beras dan kebutuhan lain,” tambahnya.
Selain Nangalanang, Suster Chrisanta juga turut mengantarkan bantuan sembako di beberapa kampung terisolir selama pandemi seperti di Manggarai Barat seperti Doneng, Kaca, dan Cikonobo.
Sambil mengantarkan bantuan sembako, Suster Chrisanta juga mendengarkan cerita-cerita dari penduduk desa, termasuk kesulitan warga mendapatkan bantuan sembako dari pemerintah. Terkendala administrasi yaitu KTP dan kartu keluarga yang tidak sesuai.
Masalahnya untuk mengurus keperluan administrasi, warga desa harus pergi ke Borong dan menghabiskan uang Rp 300 ribu untuk biaya perjalanan.
“Mahal sekali. Mereka kan orang-orang miskin. Kenapa tidak ada orang yang datang untuk urus administrasi itu?” ceritanya menyampaikan kekecewaan.
Bagi Suster Chrisanta, apa yang dilakukannya, meneruskan bantuan sembako dan kebutuhan hidup sehari-hari kepada mereka yang membutuhkan terlebih di tengah pandemi adalah sesuatu yang dilakukannya atas dasar kemanusiaan.
“Cinta kasih itu diajarkan di semua agama. Untuk saya pribadi, mau dia agama Katolik atau muslim, atau agama yang lain, di hadapan Tuhan kita sama,” ungkapnya penuh yakin.
Imam Masjid Al Hadiyah Nangalanang, Jaelani, juga berpikir hal yang sama. Baginya pandemi Covid-19 juga memberikan dampak yang tidak sedikit bagi warga di Nangalanang. Selain sulitnya akses infrastruktur menuju desa yang semakin mempersulit pergerakan keluar masuk desa, mereka juga masih menanti bantuan pemerintah yang belum tahu kapan datangnya.
“Terima kasih suster. Kami hanya balas dengan doa. Semoga selalu diridhoi Allah,” ungkap Jaelani yang ditirukan oleh Suster Chrisanta. Ia menirukan ucapan terima kasih untuk dengan senyum dan tatapan lembut di matanya.

Seperti Suster Chrisanta, Nur Kartika, 41 tahun, juga terus berbagi pada masyarakat tanpa memandang perbedaan agama. Ia adalah dokter, beragama Islam dan minoritas di Sikka. Dituduh penyebar Covid-19 karena agamanya tidak lantas membuatnya merasa tersandera.
Ia gencar melakukan kegiatan sosial-kemanusiaan selama pandemi yang sudah dimulainya sejak lama. Bersama anggota Komunitas Jalan Kaki (KJK), Dokter Nur bertandang ke Wairbukan, Desa Wairterang, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka. Sebuah kampung dalam kawasan Hutan Lindung Egon-Ilin Medo, Kabupaten Sikka saat pandemi berlangsung pada Juni lalu dan dilanjutkan pada awal Oktober 2020 silam.
Warga kampung tak punya pemahaman terkait Covid-19 yang cukup, akses dan infrasturktur kesehatan pun terbatas. Nur dan KJK pergi ke sana untuk memberikan edukasi masyarakat tentang pencegahan, penularan dan pengobatan wabah Covid-19.
Bagi Nur, harusnya semua warga negara mendapat akses kesehatan yang sama, pun yang kekurangan harus dibantu untuk mendapatkan akses yang lebih baik, tanpa mempertimbangkan latar belakang identitas agama dan suku.
Kunjungannya ke Wairbukan bukanlah yang pertama. Sebelum pandemi, mereka kerap datang untuk membantu mengedukasi anak-anak sekolah yang tak mendapat pendidikan sebagaimana mestinya. Kini saat anak-anak putus sekolah, mereka juga membantu mencarikan solusi untuk menyiapkan tenaga guru agar kegiatan belajar mengajar bisa berjalan.
“Yang penting adalah solusi berkelanjutan, tidak sekadar datang beri bantuan kemudian pulang dan tidak tahu lagi apa yang terjadi,” tambahnya.
Seorang warga, Liberta, 25 tahun, berterima kasih kepada KJK yang punya perhatian khusus dengan warga Wairbukan. Bukan hanya satu kali datang, KJK sudah berulangkali datang, terutama di tengah pandemi.
Mendengar komitmen Nur dan KJK untuk menyiapkan relawan untuk mengajar anak-anak Waibukan, Liberta hanya bisa bersyukur. Bila itu terwujud, anak-anak bisa mengenyam pendidikan, tanpa harus berjalan jauh ke kampung lain.
Ketua RT 017 A Wairbukan, Bernadus Brebo pun mengapresiasi aksi sosial kemanusiaan yang gencar dilakukan oleh Nur dan teman-teman yang lain. Terharu rasanya ketika kampung udik seperti Wairbukan mendapatkan perhatian khusus dari KJK.
“KJK sudah mulai. Kami minta pemerintah bantu kami di sini dengan akses jalan, sinyal, dan gedung sekolah. Bantu kami,” harap Brebo.
Kemanusiaan Melampaui Stigma
Lolita, Suster Chrisanta, dan Dokter Nur adalah sedikit dari banyak anggota masyarakat yang kerap menjadi kelompok rentan. Menjadi transpuan, perempuan dan bagian dari minoritas agama membuat mereka tak asing dengan stigma negatif yang terus dilontarkan. Belum lagi akses mendapatkan hak warga negara yang kerap terkendala dikarenakan identitasnya.
Melalui perjuangan yang tidak mudah, mereka berhasil menerobos stigma negatif. Sungguh pun masih ada, stigma itu kian pudar seiring dengan terbukanya masyarakat.
Dalam riset yang dilakukan oleh Kandidat Doktor di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada, Khanis Suvianita ditemukan bahwa sejauh ini transpuan di Indonesia Timur, khususnya di Flores, tidak semuanya diterima dengan baik oleh masyarakat. Sebagian sudah diterima, sebagiannya lagi juga ada yang sudah terintegrasi dalam masyarakat.
“Diterima itu kan, kaya kamu dimaklumi. Terima tapi kadang-kadang saya tidak punya ruang. Saya tidak mengkritik kamu. Tapi jangan terjadi dalam keluarga saya. Begitu kan kata-kata diterima,” jelas Khanis.
Sementara terintegrasi, lanjut Khanis, bermakna bahwa transpuan tidak hanya sekadar diterima, namun identitasnya sebagai warga Flores dan umat beragama juga turut diapresiasi.
“Ia diterima dan diizinkan untuk merayakan identitasnya,” sambung Khanis.
Khusus di Flores, Khanis melihat bahwa asumsi minoritas yang lemah, tidak berdaya perlahan-lahan tidak nampak. Sejauh orang tersebut berfungsi untuk kehidupan komunitas, kehidupan bermasyarakat maka mereka sangat terbuka.
“Memang secara politik pasti ada. Tapi dalam praktik kehidupan sehari-hari, teman-teman ini tidak punya jarak,” jelas Khanis.
Menurutnya, ada andil kultur Katolik yang cukup kental di Flores, di mana Katolik tidak memiliki ketakutan terhadap minoritas.
“Nah, itu juga membuka kesempatan kelompok-kelompok minoritas bisa terlibat gitu loh,” ujarnya menambahkan.
Sementara Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Pater Otto Gusti Madung sangat bersyukur melihat kelompok minoritas seperti LGBT dan minoritas agama mendapatkan pengakuan yang cukup di NTT dan tidak mengalami kekerasan seperti terjadi di tempat lain.
Meski demikian, Pater Otto tak menampik praktik intoleransi terselubung tetap terjadi di wilayah NTT. Misalnya, dalam pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif, kriteria agama yang mencalonkan diri masih sangat menentukan dalam pertimbangan pemilih.
“Saya tidak bayangkan bahwa seorang Islam misalnya dapat menjadi gubernur di NTT. Mayoritas bupati di NTT juga kalau bukan Katolik ya Protestan,” ujarnya.
Menurutnya, dalam masyarakat tradisional di Indonesia penerimaan terhadap kelompok minoritas pada umumnya baik. Kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti LGBT atau minoritas agama baru mengalami eskalasi beberapa tahun terakhir. Hal ini juga ada kaitannya dengan ketimpangan ekonomi di mana masyarakat miskin menjadikan agama sebagai pegangan satu-satunya.
“Di NTT atau Flores ketimpangan sosial seperti itu belum separah di tempat lain sehingga relasi antar kelompok masih harmonis,” kata Pater Otto menambahkan.
Tentu saja, lanjut Pater Otto, peran gereja Katolik cukup berpengaruh terhadap penerimaan kelompok minoritas. Para agen pastoral di Flores pada umumnya sudah dibekali dengan wawasan hak-hak asasi manusia dan keberagaman gender.
“Ini sangat membantu tentunya,” ungkapnya.
Khanis sendiri berpandangan bahwa momen Covid-19 menjadi ruang interaksi yang sangat baik untuk berbagi. Orang-orang tidak mempedulikan identitas siapa yang berbagi maupun yang diberi karena semua orang mengalami persoalan yang sama.
“Nah, secara politis, ini menjadi ruang yang sangat baik, ruang pernyataan diri bahwa semua orang adalah warga,” jelas Suvianita.
Tentu kemanusiaan itu dimaknai dalam pengalaman Lolita, juga Arzeti, sebagai penerimaan terhadap perbedaan. Keduanya berharap, orientasi seksual yang mereka rayakan tidak membuat mereka dipandang miring. Bahwa mereka sudah diterima di tengah masyarakat, Lolita mengakui hal itu.
“Kami pasti buat yang baik, dengan talenta yang ada. Mudah-mudahan masyarakat terus menerima kami dan juga teman-teman di daerah lain,” kata Lolita berharap.
*Liputan ini terselenggara atas dukungan beasiswa Meliput Isu Keberagaman di Tengah Pandemi oleh SEJUK dan Internews.