Di Balik Senyum Mama-mama Penganyam dari Timur

Larantuka, Ekorantt.com – Senyum merekah di wajah Maria Gabriela Tuto Kerans (24) saat dirinya resmi bergabung dengan kelompok dampingan Du Anyam pada tahun 2019 silam. Kini dia bisa bekerja dengan mama-mama penganyam lainnya dari Desa Wuluboolong, Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur yang sudah bergabung sebelumnya.

Semula Maria tidak tahu menganyam sama sekali. Padahal di lingkungan keluarganya, menganyam sudah menjadi keterampilan yang diwariskan turun temurun. Setiap perempuan dengan sendirinya bisa menganyam, sama seperti menenun sarung yang menjadi tanda dewasanya seorang perempuan.

“Du Anyam masuk ke Solor baru saya tahu menganyam. Awalnya, saya tidak tahu apa-apa. Bagaimana suir (memisahkan tulang dari daun),” tuturnya kepada Ekora NTT pada pertengahan Desember 2021 lalu.

Maria pun terpanggil untuk menjaga tradisi itu. Meski terbilang masih muda, kini dia sudah fasih menganyam.

“Saya dilatih oleh tanta saya. Soalnya saya tidak tahu sama sekali. Tapi, karena kemauan kuat maka saya jalani. Dan akhirnya jadi,” ungkapnya.

Pengalaman serupa dialami Maria Hunu Koten (43). Hunu Koten awal juga tidak bisa menganyam. Sejak Du Anyam masuk ke Wulublolong  pada tahun 2017, ia pun ikut dan giat dalam pelatihan hingga mahir menganyam seperti sekarang.

“Awalnya tidak tahu mengayam, tapi sejak Du Anyam masuk akhirnya saya tahu menganyam juga,” ujarnya.

Hunu Koten yang bertugas sebagai fasilitator lapangan menuturkan, proses menganyam, tidak terlalu sulit.

Secara sederhana dia gambarkan tahapannya: daun lontar dipotong dan dijemur. Lalu pisahkan tulang dari daunya. Pilahkan ukuran 5 mili meter, 1 centimeter, 6 mili meter, 2 centi meter, 1/2 centi meter dan sebagainya. Lalu diawetkan dengan cara dimasak pada periuk tanah selama 8 menit. Lalu, mereka menganyam.

Bagi Hunu Koten, menganyam itu amat mengasyikkan, apalagi dikerjakan bersama-sama di dalam kelompok.

“Kita kerja kita merasa amat dihargai bukan dibutuhkan. Saya merasa persaudaraan di Du Anyam itu bagus sekali,” tandasnya.

Diakuinya, menganyam bisa meningkatkan ekonomi kelarganya. Ia bisa menafkai keluarga dan pendidikan anak-anak. Lebih dari itu, menganyam sebagai kearifan lokal terus dikembangkan sambil belajar modifikasi anyaman terbaru.

Ia menyebut, Du Anyam juga menjalin kerja sama dengan Asta dalam memberdayakan mama-mama penganyam. Kerja sama tersebut dirasa penting karena bersentuhan langsung dengan kebutuhan penganyam.

“Ada pelatihan di 10  desa untuk meningkatkan kualitas menganyam. Pelatihan bagi para  fasilitator lapangan. Dan juga belajar lewat zoom meeting mengenai presentasi soal desain. Selain presentasi, juga proses menganyam juga mereka ikuti lewat online,” jelasnya lebih jauh.

Cerita berbeda dituturkan oleh Angela Lolon (46). Baginya, menganyam sudah diwariskan dari nenek moyang sehingga tidak sulit untuk dipelajari. Tak heran jika Angela tak mengalami kesulitan yang berarti dalam mendalami keterampilan menganyam.

Masing-masing orang, lanjut Angela, bisa mengerjakan anyaman di rumah. Semua hasil anyaman dikumpul di rumah Anyam Wulublolong, lalu dikirim ke Larantuka untuk kemudian disalurkan kepada pemesan.

“Kami kirim biasanya hari Selasa dan Kamis. Kalau pesanan banyak biasanya 6-7 karung. Dalam bahasa daerah biasa kami sebut; keleka, dese, toba, kepe dan sebagainya,” ungkap Angela.

Angela menambahkan, mama-mama pengayam pun terus didampingi. Salah satunya adalah dengan memantau kinerja kerja selama setahun. Untuk itu mereka punya rapor sendiri.

Angela mengatakan, mereka bekerja penuh kegembiraan. Sebagai fasilitator laparang, ia bisa menganyam dan menjadi fasilitator di desa binaan mereka.

“Mereka bisa tahu daerah lain. Dulu tidak pernah ke sana. Sekarang beberapa desa di daratan Solor dan Flores Timur bisa dikunjungi,” tandasnya.

Istimewa

Tetap Tersenyum di Tengah Pandemi

Mama-mama penganyam memang merasakan dampak pandemi. Semua aktivitas dibatasi menyusul adanya kebijakan pemerintah dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kegiatan di kantor terhenti. Sekolah pun demikian, hanya memberlakukan pembelajaran jarak jauh.

Meski begitu, mama-mama penganyam tetap tersenyum. Mereka tetap beraktivitas dengan melakukan sistem shift.

“Saat pandemi, kami terus bekerja. Kami atur pakai shift. Jumlah kami 19 orang di rumah anyam. Jadi ada yang masuk pagi, ada juga yang masuk sore,” kisah Angela.

Selama pandemi, kata Angela, mereka juga belajar manajemen rantai pasok Krealogi. Pelatihan ini dilatarbelakangi oleh perilaku konsumen sulit beraktivitas di luar rumah akibat pembatasan interaksi fisik. Tentu saja hal ini memberikan peluang besar kepada UMKM untuk bisa melakukan transformasi ke digital sehingga mampu bertahan pada situasi pandemi.

Transformasi digital tidak hanya terbatas pada kegiatan penjualan saja namun pada keseluruhan rantai pasok mulai dari kegiatan manajemen order sampai kepada proses pencatatan administrasi.

Direktur Komunitas dan Kemitran Du Anyam & Krealogi, Hanna Keraf menjelaskan, secara aktif, Du Anyam mengembangkan rantai pasok kerajinan tangan dari daerah terpencil di Indonesia, guna meningkatkan taraf hidup perajin terkhususnya perajin perempuan di daerah terpencil Indonesia.

Selama lebih dari 6 tahun, Du Anyam fokus dalam pengembangan sistem dan standardisasi rantai pasok kerajinan tangan dari lebih dari 54 desa di daerah terpencil di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua dan Kalimantan Selatan.

Sebagai pelaku usaha sendiri, Du Anyam memahami kendala UMKM Kriya dalam manajemen pesanan, produksi, persediaan / stok sampai pengiriman sebagai alasan bagi UMKM Kriya untuk bisa mengakses pasar secara berkelanjutan dan mengakses modal untuk meningkatkan usahanya. Menjawab tantangan pasar terhadap produk kerajinan tangan yang memiliki konsistensi kualitas, konsistensi jumlah, pengiriman yang tepat waktu dan komunikasi yang baik, merupakan alasan Du Anyam membangun sistem manajemen di dalam rantai pasok yang kuat dan berbasiskan teknologi.

Sejak akhir 2018, Du Anyam sudah membangun dan menggunakan secara internal sistem berbasiskan aplikasi digital untuk manajemen produksi dan order yang memungkinkan untuk dilakukan pengawasan secara jarak jauh dan terintegrasi.

Kewirausahaan Sosial

Arina Nikma Baroroh (31), Project Manager Du Anyam mengatakan, Du Anyam memiliki pilar bisnis dan pilar sosial. Untuk pilar bisnis, dari produksi anyaman lontar pada 25 desa di Flores Timur, yang aktif menganyam ada 550 orang.

Du Anyam selalu mengingatkan bahwa pendapatan yang ada ditabung. Du Anyam juga mendukung pendidikan serta kesehatan keluarga dari mama-mama penganyam.

“Dengan bergabung dengan Du Anyam, mereka bisa mengaskses pendidikan dan kesehatan lebih cepat,” terangnya.

Sejak tahun 2021, ada 174 beasiswa pendidikan diberikan kepada anak-anak. Hal itu sesuai dengan visi Du Anyam sendiri yakni, memberdayakan perempuan, meningkatkan kesehateraan masyarakat, juga menguatkan kultur atau tradisi lokal.

Bagi Arina, di tengah pandemi, pasar kerajinan  tidak mati tapi  berkurang. Meski order dari beberapa  negara terkait seperti Jepang, Belanda, Amerika, Denmark, di Indonesia ; Labuan Bajo dan Jakarta menurun, namun mereka terus berupaya agar diisi  dengan  riset dan pelatihan-pelatihan secara online/zoom meeting.

Lebih jauh, Arina mengatakan, dengan  terus menjalani produksi menganyam, berarti ada usaha untuk melestarikan serta meneruskan tradisi dan kultur menganyam  yang telah diwariskan secara turun-temurun.

“Soal desain, kita tidak mencoba mengubah tradisi, namun memodifikasi beberapa anyaman tanpa melunturkan khasana lokal.

Oleh karena itu, ia berharap, mama-mama penganya harus terbuka dan terus belajar.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA