Produk Du’Anyam Tembus Pasar Internasional

Du’Anyam. Demikian nama kelompok kewirausahaan sosial yang digagas Hanna Keraf, Azalea Ayuningtyas dan Melia Winata.  Dirintis pada tahun 2014, awalnya tiga perempuan hebat ini datang ke  Maumere, Flores hanya untuk kunjungan liburan.

Namun, ketika memanfaatkan waktu liburan dengan berpelesir dan membuat semacam survei kecil tentang kondisi kesehatan ibu dan anak,  mereka mengamati bahwa walaupun program dan sarana/prasarana kesehatan pemerintah sudah baik, para ibu hamil masih harus mengeluarkan uang dalam bentuk tunai untuk fotokopi KK & KTP, ongkos kendaraan dan uang makan untuk keluarga selama proses menunggu persalinan.

Menurut mereka, pengeluaran-pengeluaran seperti ini yang belum mampu diakses perempuan di daerah terpencil karena rendahnya akses terhadap uang dalam bentuk tunai.

Berangkat dari kenyataan tersebut, ketiga perempuan ini pun sepakat membuat sebuah terobosan yang dirasa dekat sekali dengan keseharian kehidupan ibu-ibu di NTT dan bernilai jual.

“Awalnya kami sepakat menggarap usaha tenun. Tetapi setelah melihat dari dekat perputaran uang dan kerja dari menenun yang memakan waktu cukup lama, kami malah lihat ada wadah anyaman yang dikerjakan oleh ibu-ibu dan kami bersepakat untuk menggarap usaha ini saja. Tinggal dikreasikan lagi, hasilnya pasti luar biasa dan punya nilai jual,” tutur Hanna.

Ketiganya lalu menamakan kelompok kewirausahaan sosial tadi dengan nama Du’Anyam. Dalam bahasa Sikka du’a artinya perempuan, dipadankan dengan kata anyam, sehingga membentuk pengertian ibu yang menganyam. Begitu kira-kira makna harfiahnya.

Du’Anyam dimulai dengan 16 ibu pada tahun 2014, tepatnya  di Desa Duntana, Kabupaten Flores Timur. Ketika awal dimulai, ada beberapa ibu yang tidak percaya bahwa kegiatan menganyam lontar bisa memberikan pendapatan uang tunai, dikarenakan pengalaman mereka yang kesulitan  menjual produknya.

Namun, selama satu setengah tahun, mereka berusaha untuk bekerja bersama melakukan riset tentang waktu produksi, desain produk sampai rantai produksi-nya.

Kesulitan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana ibu-ibu bisa memproduksi produk anyaman dengan kualitas yang bisa dijual ke pasar nasional. Bukan kualitas untuk dipakai dalam kebutuhan sehari-hari.

“Selama dua tahun, sampai 2016, secara intensif kami melakukan pelatihan peningkatan kualitas kepada ibu-ibu dan sampai hari ini kami melakukan pelatihan untuk peningkatan desain produk langsung di tingkat ibu-ibu,” urai Hanna.

Usaha yang lumayan melelahkan ini perlahan-lahan menuai hasil yang gemilang.  Bermula dari 16 ibu, Du’Anyam kini menjangkau 1000 ibu-ibu penganyam yang tersebar di Kabupaten Flores Timur, Lembata, Nagekeo dan Sabu.

Hanna Keraf

Menurut Hanna, ikhtiar menggarap produk anyaman ini seyogianya juga merupakan bagian dari pelestarian kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat yang kini secara tak sadar mulai punah.

Saat ini sangat sulit menemukan nona-nona di NTT di bawah usia 25 tahun yang menganyam daun lontar. Bisa jadi  kesulitan akan akses pasar, adanya plastik pengganti wadah anyaman yang menjamur dan image menganyam yang dianggap pekerjaan nenek-nenek menjadi sekelumit alasan mengapa tradisi ini mulai menghilang.

Tentu saja  sangat disayangkan lantaran dahulu perempuan NTT dianggap  pantas menikah kalau sudah bisa memasak, menenun dan menganyam.

Para perintis Du’Anyam tentu juga sadar. Bahwasanya modifikasi desain produk mereka harus berasal dari basis produk tradisional yang sudah biasa dibuat. Dari situlah mereka belajar untuk menstandarisasi desain produk dan membangun sebuah Rumah Anyam sebagai pusat riset dan pembuatan sampel produk.

Setiap kabupaten di mana kami bekerja, kami berusaha untuk mengangkat desain anyaman lontar yang sesuai dengan kearifan lokal di daerah masing-masing, jelas Hanna.

Kini, tiga perempuan hebat ini  sedang berusaha untuk memasukkan kegiatan menganyam menjadi kegiatan ekstrakurikuler di SMA/SMK di Kabupaten Flores Timur, sehingga lebih banyak oa-oa (nona-nona) muda bisa menganyam sejak usia dini dan tidak dianggap sebagai pekerjaan orang tua atau kaum nenek.

Adapun untuk meningkatkan penjualan produk anyaman, Du’Anyam menyediakan pelatihan peningkatan kualitas dan pelatihan desain kepada ibu-ibu secara berkala. Sedangkan untuk  program sosial sendiri, bagi ibu-ibu yang secara konsisten menganyam dengan kualitas istimewa akan mendapatkan hadiah dalam bentuk beasiswa bagi anak-anaknya. Sehingga pendapatan dari menganyam bisa dimasukkan ke tabungan.

Dari tahun 2017, mereka telah mendistribusikan 67 beasiswa, dan tahun 2019 ini sebanyak 108 beasiswa. Mereka juga bekerjasama dengan para kader dan bidan desa di Posyandu untuk berkolaborasi dalam kegiatan PMT (Pemberian Makanan Tambahan) bagi ibu-ibu Posyandu dan ibu-ibu Du’Anyam.

Kerja keras dan kerja cerdas yang meletihkan akhirnya tak sia-sia. Bagi Hannah, pengalaman paling membanggakan adalah ketika bisa membawa produk anyaman lontar ke ajang internasional, yakni Asian Games 2018.

Du’Anyam menjadi satu-satunya pemegang lisensi resmi suvenir Asian Games 2018 yang bisa menjual produk anyaman.  Mereka menawarkan 15 desain produk anyaman lontar sebanyak 16.000 produk dan terjual habis pada perhelatan bergengsi tersebut.

 

spot_img
TERKINI
BACA JUGA