Oleh: Bayu Tonggo*
Bengkel Teater Kata Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko menggelar “Berkhmawan on the Road” dengan rute Mataloko menuju Kota Bajawa pada Senin, 21 Oktober 2024, pukul 09.30 hingga 17.00 Wita.
Kegiatan ini mengusung tema “Ketika Sampah Nodai Sumpah” dan diisi dengan teater berjalan, orasi, monolog, puisi, dan aksi pungut sampah. Titik pementasan Berkhmawan on the Road berlangsung di Pertigaan Mataloko-Were, Turekisa-Pertigaan Kampus Stiper FB, Pasar Bobou, Terminal Kota Bajawa, dan Taman Kartini.
Kegiatan ini disponsori oleh Polres Ngada, Kampus Bambu Turetogo, PT. Kencana Sakti Nusantara, Antara Prima, Komsos Keuskupan Agung Ende, Rumah Batik Sejoli, MZ Glamour, serta turut bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ngada, Disperindag Kabupaten Ngada, dan Dinas Perhubungan Kabupaten Ngada.
Terlepas dari tujuan untuk menyongsong Hari Sumpah Pemuda yang ke-96, pengembangan bakat dan minat teater siswa, dan menyadarkan masyarakat untuk melihat sastra sebagai medium pengungkapan gagasan yang etis dan nirkekerasan, kegiatan tersebut, bagi penulis, sebagai upaya untuk mengejawantahkan paradigma Laudato Si (selanjutnya disingkat LS) ke tengah masyarakat.
Paradigma Laudato Si menggaungkan upaya untuk “merawat bumi sebagai rumah bersama” dan Seminari Mataloko menegaskan hal itu dengan menyentil persoalan sampah.
Persoalan Sampah
Persoalan sampah merupakan persoalan lingkungan yang terus mendapat perhatian dari waktu ke waktu, di berbagai tempat. Selain sebagai salah satu persoalan lingkungan, sampah juga merupakan persoalan tentang bagaimana manusia memahami dan menghidupi konsep tentang dirinya (Maku, Jurnal Ledalero volume 16, nomor 2, 2017: 185).
Jikalau manusia melihat dirinya sebagai pusat dari sistem alam semesta, maka manusia akan melihat diri dan kepentingannya sebagai hal yang terutama dan mesti selalu diperjuangkan, daripada hal-hal lainnya, termasuk sampah (antroposentrisme).
Sebaliknya, jikalau manusia melihat dirinya sebagai bagian dari sistem kehidupan alam semesta, maka manusia tentu akan sangat peduli dengan persoalan sampah maupun bahaya-ancamannya terhadap lingkungan hidup secara keseluruhan (biosentrisme) (Maku, Jurnal Ledalero volume 16, nomor 2, 2017: 185).
Dengan demikian, upaya untuk menampik masalah sampah, sebetulnya dapat dilakukan dengan menilik paradigma atau konsep berpikir tersebut. Konsep berpikir yang acapkali meninggikan manusia sebagai penguasa atas alam ciptaan dan mengabaikan alam-lingkungan sebagai rumah bersama (common home) mesti segera ditanggalkan.
Alam-lingkungan bukan hadir sebagai pelayan, budak, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam-lingkungan merupakan bagian dari ciptaan yang setara dengan manusia dan punya nilai kehidupannya sendiri (Maku, Jurnal Ledalero volume 16, nomor 2, 2017: 189).
Dalam pemahamannya, sampah merupakan barang atau benda yang sudah tidak terpakai lagi, yang berwujud padat, cair, dan gas. Buangan sampah dalam bentuk padat, cair, dan gas ini dilepaskan ke alam oleh manusia dan hewan, serta dari tumbuhan.
Sampah yang berasal dari proses produksi dan reproduksi yang dilakukan manusia, lebih berdampak langsung bagi kehidupan manusia sendiri, dibandingkan dengan sampah yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Sampah yang berasal dari hewan dan tumbuhan merupakan sampah organik yang sangat mudah terurai.
Sementara, sampah yang berasal dari proses produksi dan reproduksi manusia, selain dapat menghasilkan sampah organik, juga menghasilkan sampah non-organik dan B3 (Mulyono, 2016: 4-6).
Sampah non-organik seperti plastik dan logam, dan sampah B3, seperti sampah rumah sakit dan poliklinik, insektisida, racun, dan mesiu, merupakan sampah yang sulit terurai, berbahaya, dan beracun, sehingga dapat menciptakan dampak langsung pada beberapa aspek kehidupan manusia.
Beberapa aspek kehidupan manusia yang teridentifikasi dapat terkena dampak langsung dari masalah sampah, di antaranya aspek kesehatan, pariwisata, ekonomi, pencemaran lingkungan, dan pencemaran udara (Klau, Jurnal Ledalero, volume 16, nomor 2, 2017:156).
Adanya sampah dari proses produksi dan reproduksi manusia, tentu tidak terlepas dari pertama, aspek perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memacu manusia untuk terus memunculkan temuan-temuan terbaru (Klau, Jurnal Ledalero, volume 16, nomor 2, 2017:155).
Hal-hal baru yang dihasilkan manusia, kadang berdampak baik untuk lingkungan dan kadang pula berdampak buruk, semisal hasil dari kegiatan produksi dan reproduksi manusia, seperti bahan B3 yang berbahaya dan beracun.
Aspek yang kedua ialah bertambahnya jumlah populasi manusia (over population) yang turut mengubah pola hidup manusia. Setiap hari, manusia melakukan aneka cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan adanya peningkatan kebutuhan yang kemudian memacu aktivitas konsumsi manusia ini, maka meningkatkan pula aktivitas produksi.
Tindakan manusia – konsumsi dan produksi – inilah yang memproduksi sampah. Semakin tinggi tingkat produksi dan konsumsi manusia, maka semakin tinggi pula produksi sampah. Demikian sebaliknya, semakin rendah tingkat produksi dan konsumsi manusia, maka semakin rendah pula tingkat produksi sampah (Ningsih, Jurnal Ledalero, volume 16, nomor 2, 2017:166-167).
Dua aspek tersebut, sebetulnya juga dikemukakan oleh Paus Fransiskus secara implisit dalam Ensiklik LS art. 18. Paus menyebut intensifikasi irama hidup dan kerja (rapidacion: percepatan) dalam kehidupan manusia saat ini, sangat memengaruhi keberadaan alam-lingkungan.
“Perubahan adalah memang sesuatu yang diinginkan, tetapi menjadi sumber kecemasan ketika itu menyebabkan kerugian untuk dunia dan untuk kualitas hidup sebagian besar umat manusia” (LS art. 18).
Dengan melihat pola relasi antara masalah sampah dan tindak-gaya kehidupan manusia (produksi dan konsumsi) di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, hemat penulis diperlukan suatu paradigma atau kerangka berpikir yang sehat, yang mesti dikenakan manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian membawa manusia dalam aktivitas produksi dan konsumsi itu, mesti selalu dilihat oleh manusia dalam paradigma yang mampu menata keseimbangan antara dirinya dan alam-lingkungan.
Aktivitas konsumsi dan produksi manusia boleh saja berjalan, asalkan harus terus mempertimbangkan keberadaan alam-lingkungan yang juga memiliki nilai-nilai kehidupannya sendiri. Paradigma LS, sekurang-kurangnya mampu menjawab upaya membangun keseimbangan relasi tersebut.
Mengenakan Paradigma Laudato Si: Rawat Bumi!
LS (Terpujilah Engkau) merupakan ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus (Jorge Mario Borgoglio) pada Hari Raya Pentakosta, 24 Mei 2015. Ensiklik ini terdiri atas enam bab yang secara umum ingin mengajak segenap umat manusia untuk merawat bumi sebagai rumah bersama; memberi perhatian yang lebih terhadap alam-lingkungan (Djiwandono, Majalah HIDUP, 44 tahun ke-69, 1 November 2015:20-21).
Terkait masalah sampah, Paus Fransiskus menyebutnya sebagai sebuah polusi yang sangat membahayakan kehidupan manusia. Pertama, polusi udara yang menimbulkan berbagai masalah kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, serta menyebabkan jutaan kematian dini (LS art. 20).
Kedua, setiap tahun dihasilkan ratusan juta ton limbah, yang sebagian besar tidak membusuk secara biologis, seperti limbah domestik dan perusahaan, limbah pembongkaran bangunan, limbah klinis, elektronik dan industri, limbah yang sangat beracun dan radioaktif (LS art. 21).
Pada poin ketiga, Paus mengemukakan bahwa masalah-masalah diangkatnya pada poin pertama dan kedua, lebih disebabkan oleh pola atau gaya hidup “membuang”, sebagai bentuk keserakahan manusia yang menjadi ciri khas masyarakat masa kini (LS art. 22).
Gaya hidup ini, tidak didukung oleh kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap masalah sampah, sehingga di berbagai tempat, sampah semakin menumpuk dan menyebabkan pemborosan sumber daya (Ningsih, Jurnal Ledalero, volume 16, nomor 2, 2017:168).
Merawat Bumi, Menggaungkan Pertobatan Ekologis
Persoalan sampah merupakan persoalan sosial yang dalam upaya pengentasannya mesti dimulai dari pembentukan keutamaan diri, lalu bergerak menuju upaya atau gerakan bersama. Dalam terang kerangka berpikir merawat bumi dalam LS, didapati upaya tersebut dalam terminologi pertobatan ekologis (LS 216-221).
Pertobatan ekologis berarti membiarkan buah pertemuan manusia dengan Yesus Kristus, berkembang dalam hubungan manusia dengan dunia. Manusia diajak untuk melihat panggilannya untuk melindungi karya Allah, merupakan bagian penting dari kehidupan yang saleh, bukannya sebuah opsi atau aspek sekunder dalam hidup kristianinya (LS art. 217).
Melalui pertobatan ekologis, Paus mengajak semua manusia untuk merawat bumi dengan segala kasih dan kepedulian. Hal ini, karena dasar panggilan manusia ialah panggilan, kepercayaan Allah untuk mengelola dan menjaga ciptaan-Nya.
Paus juga mengajak umat manusia untuk mencontohi teladan hidup Santo Fransiskus Asisi, yang memperlakukan alam sebagai saudara-saudarinya; sebagai kitab yang sangat indah. Di dalam alam, sebagai kitab yang sangat indah itu, Allah berbicara kepada manusia dan memberi manusia sekilas pandang tentang keindahan dan kebaikan-Nya yang tanpa batas (LS art. 11-12).
Dalam pemahaman praktis, pengejawantahan paradigma merawat bumi: pertobatan ekologis pada tingkat personal untuk mengatasi masalah sampah, dapat dilakukan dengan menampik budaya membuang, yang sebagaimana telah diserukan juga oleh Paus Fransiskus.
Tindak membuang sampah sembarangan dapat ditampik, misalkan lewat tiga cara mudah dan aman untuk mengatasi masalah sampah, yakni dengan prinsip mengurangi (reduce), menggunakan kembali (re-use), dan recycle (mendaur ulang) (Ningsih, Jurnal Ledalero, volume 16, nomor 2, 2017:173-174).
Selain mengupayakan pengejawantahan spirit pertobatan ekologis pada ranah personal, pengentasan masalah sampah mesti berlanjut hingga pada tingkat komunal – pertobatan komunal (Ningsih, Jurnal Ledalero, volume 16, nomor 2, 2017:180).
Gaung pertobatan komunal ini, ditekankan oleh Paus Fransiskus dengan upaya dialog. Dialog berarti membangun kerja sama dengan berbagai pihak untuk mencegah kerusakan lanjutan dan meminimalkan dampak buruk yang terjadi; dari spiral penghancuran diri, masalah sampah yang menenggelamkan umat manusia.
Adapun jalur-jalur dialog-kerja sama yang mesti digalakkan, yakni dialog tentang lingkungan dalam politik internasional ( LS art. 164-175), dialog untuk kebijakan baru lokal dan nasional (LS art. 176-181), dialog dan transparansi dalam pengambilan keputusan (LS art. 182-188), politik dan ekonomi dalam dialog untuk pemenuhan manusia (LS art. 189-198), serta dialog agama dengan ilmu (LS art. 199-201).
Akhirnya, melalui Ensiklik LS Paus Fransiskus dan gerakan peduli sampah Seminari Mataloko, dapat dipelajari bahwa persoalan sampah, secara substansial bisa ditanggulangi dengan mengubah paradigma, cara berpikir yang antroposentris menuju cara pikir LS, yang biosentrisme: merawat bumi sebagai rumah bersama (common home).
Dalam kerangkeng paradigma merawat bumi tersebut, sangat ditekankan spirit pertobatan ekologis, untuk menampik budaya mudah “membuang” dan menumbuhkan dialog-kerja sama yang luas guna menumbuhkan gerakan bersama: mengatasi persoalan sampah.
*Penulis adalah pendidik di Seminari Mataloko