Lewoleba, Ekorantt.com -Benediktus Bedil, Direktur Pengembangan Masyarakat Lembata, NTT mendapatkan Birdlife Indonesia Award dalam upayanya menginisiasi warga dalam menjaga dan melestarikan Teluk Hadakewa melalui kearfikan lokal masyarakat.
Penganugerahan penghargaan ini diberikan oleh Yayasan Burung Indonesia dalam penutupan Program Kemitraan Wallacea yang bertema “Merayakan Capaian di Walacea” bertempat di Hotel Four Points, Makassar Sulawesi Selatan awal Oktober 2019 lalu.
Pada acara ini Burung Indonesia juga memberikan penghargaan kepada Kepala Balai TN Kelimutu Persada A. Sitepu atas komitmen yang luar biasa terhadap konservasi dan membantu masyarakat lokal dalam bekerja selaras dengan alam di TN Kelimutu.
Penghargaan diberikan oleh Dian Agista selaku Direktur Eksekutif Burung Indonesia disaksikan oleh perwakilan dari Kementerian KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah di berbagai daerah di wilayah Walacea, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai tuan rumah serta seluruh peserta Mitra Program Kemitraan Walacea dari wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku.
Benediktus Bedil, mengemukakan bahwa inisatifnya mendorong warga untuk menjaga dan melestarikan Teluk Hadakewa karena sesungguhnya warga kabupaten Lembata sudah sejak dulu kala punya tradisi merawat eksosistem laut yang disebut dengan Muro.
Tradisi ini sempat ditinggalkan dan Benediktus berjuang bersama timnya dari LSM Pengembangan Masyarakat Lembata (BARAKAT) untuk kembali kepada spirit Muro.
Muro, menurut Orang Lembata, adalah sebuah kawasan di darat atau di laut yang dilindungi dan dijaga oleh masyarakat adat melalui ritual dan aturan adat.
Proses untuk menetapkan Muro Laut dimulai dengan kesepakatan bersama masyarakat Adat dalam sebuah pertemuan, dilanjutkan dengan sumpah adat di sebuah lokasi yang disebut Namang.
Namang adalah sebuah tempat keramat yang diyakini menjadi tempat pertemuan antara tanah langu atau leluhur yang telah mati dan tanah lolon atau orang yang masih hidup.
Setelah ritual di Namang dilanjutkan dengan pemasangan Nading (tanda yang bisa dilihat oleh masyarakat setempat bahwa laut dan isinya sedang ‘murung’ atau tidak boleh diganggu dan penempatan balela atau tanda batas muro.
Setelah proses ini selesai, semua masyarakat desa tanpa kecuali, ikut menjaga wilayah laut tersebut dan mematuhi semua larangan yang ditetapkan tanpa keberatan sedikit pun.
Jika kesepakatan adat melalui sumpah adat dilanggar secara sengaja atau tidak sengaja; maka pelaku harus mengakui perbuatannya dan memberi makan ribu ratu atau semua masyarakat desa dengan ternak besar seperti kambing dan babi sebagai denda dan juga sebagai upaya pemulihan agar terbebas dari tulah.
Jika pelanggaran tidak diakui dan denda tidak dijalankan, malapetaka berupa kesengsaraan dan kematian akan menimpa pelaku dan semua keluarganya. Sayangnya aturan adat ini berlaku lokal dan tidak mengikat masyarakat atau nelayan dari desa atau wilayah lain.
Muro ini dijalankan karena satu kesadaran penting masyarakat asli Lembata bahwa laut dan isinya adalah layanan alam karena ‘adanya’ tidak disediakan oleh siapapun.
Karena itu harus dikelola untuk kepentingan bersama dalam nuansa persaudaraan dan keadilan sosial agar menunjang ketahanan pangan masyarakat yang dalam istilah lokal disebut malu mara soga nara (menyediakan pangan saat rawan pangan dan mempertahankan keramahtamahan terhadap tamu dengan mengandalkan makanan yang ada di Muro meski kebun tidak menghasilkan padi dan jagung).
Di Muro itu masyarakat juga punya kearifan untuk menetapkan zonasi. Dalam kawasan Muro ada lokasi:
Tahi Tubere atau Jiwa Laut. Lokasi ini sama dengan zona inti. Tempat ini menjadi kamar ikan kawin mawin dan beranak pinak. Karenanya jangan diganggu agar ikan bisa berkembangbiak menjadi banyak dan dewasa agar ketika keluar bisa ditangkap.
Ikan Berewae atau Ikan Perempuan. Lokasi ini sama dengan Zona Penyangga. Perempuan dan anak-anak diprioritaskan untuk menangkap ikan di lokasi ini tapi cuma dengan memancing; karena mereka hanya punya kemampuan untuk menangkap ikan dengan cara itu.
Ikan Ribu Ratu atau Ikan untuk Umum. Lokasi ini sama dengan Zona Pemanfaatan. Lokasi ini akan dibuka dan ditutup sesuai kesepakatan. Ada yang setiap tahun, ada yang tergantung dari kebutuhan umum, dan ada yang dibuka 3-5 kali setahun untuk semua masyarakat menangkap beramai-ramai. Hingga saat ini penerapan masih berbeda-beda antara satu desa dengan desa lainnya.