Jualan Dedak, Hilde Jaju Raup Dua Juta Rupiah Sehari

0

Hilde Jaju bersama suaminya meraup dua juta rupiah per/hari dari hasil penjualan dedak padi. Mereka menjalankan usaha penjualan dedak di depan Stadion Gelora Samador Maumere, Kelurahan Kabor, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

Pasangan suami istri itu sudah menjalankan usaha kecil menengah (UKM) penjualan dedak selama kurang lebih enam tahun.

Hilde Jaju saat ditemui EKORA NTT di tempat kerjanya, awal Desember 2018 lalu mengatakan, nama UKM penjualan dedaknya adalah Sinar Gelora. Sebab, posisi usaha itu terletak persis di depan Stadion Gelora Samador Maumere.

Menurut Hilde, usaha penjualan dedak sudah mulai dirintis beberapa tahun yang lalu. Dedak diperoleh dari seorang ibu asal Bima bernama Sri.

“Dulu, suami saya ojek, tetapi bertemu dengan Ibu Sri. Ibu Sri menawarkan suami saya untuk berjualan dedak,” katanya.

Hilde mengatakan, usaha penjualan dedak merupakan sebuah rahmat. Sebab, berkat penjualan dedak selama lebih dari tiga tahun, mereka dapat membantu keluarga melakukan renovasi rumah dan menyekolahkan anak.

“Setiap hari, dedak selalu habis terjual. Harga dedak adalah Rp2800 per/kilogram. Keuntungannya diperoleh lewat penjualan, baik per/kilogram maupun per/karung,” katanya.

Hilde mengatakan, ada tiga tantangan yang mereka hadapi dalam usaha penjualan dedak. Tiga tantangan itu adalah pertama, persaingan di antara kompetitor, kedua, kekurangan waktu dan ketiga, kekurangan tenaga kerja.

“Tiga hambatan itu cukup dirasakan. Ketiganya memiliki beban yang relatif berbeda. Saya harus urus anak, tiba-tiba orang sudah datang beli dedak. Saya pusing. Apalagi, anak-anak masih kecil dan bersekolah,” katanya.

Menurut Hilde, beberapa hambatan ini menyebabkan pendapatan dari usaha penjualan dedak menurun.

”Pada awal mula usaha ini dibangun, pendapatan kami bisa mencapai Rp6-7 juta per/hari. Namun, sekarang, dengan banyaknya kompetitor, pendapatan kami berkurang mencapai Rp2 juta per/hari,” jelas Hilde.

Hilde mengatakan, selain usaha penjualan dedak beras, dirinya dan suami juga sempat menjalankan usaha penjualan dedak jagung. Ada dua jenis dedak jagung yang dijual, yakni dedak jagung berwarna putih dan dedak jagung berwarna kuning.

“Kami pernah menjualnya dengan harga Rp6000 hingga Rp7000 per/kilogram, tetapi lama baru laku. Jadi, kami tidak mau jual lagi,” katanya.

Hilde mengatakan, banyak pelanggan sudah mulai membangun kerja sama. Para pelanggan itu antara lain berasal dari Larantuka dan Sabu yang sudah lama menetap di Maumere.

“Mereka sudah lama bekerja sama dengan kami. Jadi, kami bersyukur,” katanya.

Albert Gerson Unfinit, Musisi Nian Tana di Kota Seribu Candi

0

Musisi Albert Gerson Unfinit atau yang melambung dengan nama panggung Black Finit adalah pria berdarah Maumere, kelahiran 11 Maret 1983.

Alumnus SMPK Frater Maumere ini sejak kecil, bahkan sebelum masuk Sekolah Dasar, sudah jatuh cinta dengan dunia seni. Mulai dari lukis, musik, vokal, lawak, hingga puisi, semuanya dia tekuni.

“Tidak ada darah seni dari keluarga besar. Saya sendiri bingung tapi ini jalan saya,” katanya kepada Ekora NTT ketika diwawancarai 10 November 2018 lalu.

Dia pun berkisah, tahun 2000-an kota Maumere masih jauh dari industri musik. Belum ada studio rekaman. Namun, optimismenya terhadap musik menguatkan langkah dia ke kota seribu candi Yogyakarta.

Alhasil, pada awal tahun 2002, dia pun memulai proyek solo bergenre reggae dengan nama “Black Finit”. Meskipun begitu, sebelum akhirnya jatuh cinta dengan reggae, aliran punk dan rock sudah lebih dulu dia coba.

Pada 25 November 2011 lalu, pria yang akrab dengan tatanan rambut ala dreadlock ini merilis album EP berisi 6 lagu melalui labelnya sendiri Gong Waning Production. Pada tahun 2015, album penuh pertamanya “Digiyo Digiye” dirilis dan berisikan 11 lagu.

Tahun 2017, Gerson pun diajak berkolaborasi oleh produser Grayce Soba (Soba Studio) untuk merekam beberapa lagu bergenre EDM (Electronic Dance Music) yang mana Gerson memainkan gitar sekaligus bernyanyi. Kolaborasi ini melahirkan beberapa single, di antaranya Mims, No rules dan Pink Dinner.

Bagi Gerson, setiap penikmat musik berhak memberi predikat pada jenis musik mana pun. “Reggae itu istimewa, dia adalah jenis musik eksklusif,” tambahnya.

Dan, hal yang menjadikan reggae istimewa terletak pada lirik lagu yang tak lepas dari pesan damai. Hal itu menjadi titik awal Gerson menentukan orientasi musiknya. Siapa yang tak kenal Bob Marley? Legenda musik reggae yang satu ini adalah inspirasi pertama Gerson dalam bermusik.

Kemudian, jelang akhir tahun 2018 Black finit meluncurkan satu single berjudul “Bukan Puisi” terinspirasi dari karya seniman Yogyakarta. Lagu ini menggambarkan bagaimana seseorang mensyukuri kehidupan dengan segala keindahan alam juga keberagaman manusianya.

Agama, suku, ras bahkan pilihan politik yang berbeda harusnya bukan menjadi halangan untuk tetap menjaga nyala api toleransi terhadap keberagaman di Indonesia saat ini.

Tak tanggung-tanggung, Gerson Finit juga membawa kebudayaan bahasa daerahnya ke dalam karya seninya. Misalnya dalam penggalan lirik lagu Bukan Puisi sebagai berikut, “Imung deung teba tar, ganu dala reta lero wulan”, yang berarti, teman baik berserakan, seperti bintang di tempatnya matahari dan bulan.

Gerson memang sengaja meminta ruang dalam lagu Bukan Puisi untuk tetap punya nyawa Maumere. “Belum sempurna tanpa kalimat itu,” ungkapnya.

Namun, tidak hanya pada lagu tersebut, isian-isian lirik pada lagu-lagu sebelumnya juga banyak menggunakan bahasa daerah Sikka. Tentu saja, lewat itu Gerson berupaya melestarikan dan memperkenalkan kebudayaan Maumere kepada penikmat musik reggae di seluruh Indonesia.

“Bahasa daerah adalah salah satu kebudayaan yang wajib dilestarikan anak daerah,” tambah dia.

Selain itu, dalam kaitannya dengan isi lagu, Gerson Finit sepakat bahwa karya lagu yang bagus adalah yang berbahasa santun, bila mengkritik harus solutif dan dengan nada yang sedap ditelinga. 

Lalu, pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana musisi dari timur seperti Gerson Finit diterima, bertahan bahkan berkembang di Yogyakarta. Dia bilang, kuncinya adalah pantang menyerah.

“Saya coba dari studio ke studio, duduk ngobrol dengan musisi besar di sini,” kata pria Waipare, Maumere ini.

Selain itu, menurutnya jaringan pergaulan lintas etnis juga harus diperluas. Dan harus bergaul juga dengan orang dari beragam keahlian sebab ada banyak hal positif yang bisa diambil dari proses tersebut.

Pergaulannya dengan semua orang dari kelas sosial apa saja, seperti kaum tunasusila, pecandu obat, dan mantan narapidana tak sedikit berimbas pada penilaian negatif dari orang lain.

“Sudah biasa, nanti juga mereka mengerti,” tandasnya.

Di akhir obrolan dengan Ekora NTT, Gerson meminta anak muda Maumere untuk tidak takut mengeksplorasi kemampuan diri dan jangan menyia-nyiakan ide yang ada di kepala.

Dan yang terakhir, yang menarik,  dia katakan, “Jangan lupa ajak teman-teman kita, jangan berjuang sendiri.”