Oleh: Made Supriatma*
Polda dan Pemda NTT membuang sopi, minuman beralkohol hasil distilasi ini ke got. Sodara lihat, berliter-liter ditumpahkan begitu saja.
Saya tahu persis, sopi adalah minuman rakyat di daerah-daerah Timur Indonesia. Minuman-minuman ini sudah ada sebelum ada Republik.
Seorang teman menulis, secara tradisional, orang-orang di Timor membikin sopi mereka sendiri. Biasanya untuk konsumsi sendiri dan keluarga.
Saya melihat kebudayaan ini tumbuh dimana-mana. Ia ada di Maluku, Timor, Flores, dan tidak lupa Dayak. Di Bali pun demikian.
Sopi, Arak, Moke – demikian nama-nama minuman ini – adalah minuman beralkohol yang dibikin secara rumahan. Asalnya dari mayang kelapa, aren/enau, atau lontar, yang dideres sehingga mengeluarkan air. Air tersebut atau Nira berasa manis.
Orang bisa merebusnya menjadi gula. Jika dibiarkan terfermentasi dia akan menjadi tuak. Jika fermentasi dilanjutkan dia akan menjadi cuka.
Fermentasi ini mengubah gula menjadi alkohol. Persis pada tahap ini, petani-petani dan para tetua kita menyulingnya menjadi arak atau sopi.
Penyulingan bisa dilakukan dua tiga kali. Semakin banyak penyulingan maka kadar alkohol yang dihasilkan semakin tinggi.
Tidak usah dijelaskan, sopi sangat penting peranannya dalam kebudayaan tradisional kita. Ia adalah sarana relaksasi. Tidak jarang, kebudayaan muncul dari tengah-tengah sopi atau arak.
Saya masih ingat di Bali tahun 1970-1980an, orang masih minum tuak sambil menembang. Banyak puisi dan ajaran-ajaran tradisional terpelihara karena acara-acara komunal yang pasti ada sopi dan arak di dalamnya.
Bukankah ilmu-ilmu sosial menunjukkan bahwa sesungguhnya kelahiran culture sangat erat hubungannya dengan leisure?
Petani atau nelayan beristirahat, menikmati waktu luang mereka, dan dari situlah lahir puisi, sastra, dan segala macam tari-tarian, ide untuk lukisan, patung, dan lain-lain.
Kemudian, kita memiliki apa yang kita namakan ‘negara.’ Inilah panitia yang mengatur segalanya – lepas kita suka atau tidak.
Sialnya, negara ini kadang dikendalikan oleh segelintir elit yang mau berkuasa selamanya.
Para elit inilah yang mendefinisikan bagaimana harus hidup – apa yang baik, dan tidak baik. Termasuk juga apa yang masuk ke dalam tubuh kita.
Tidak dapat disangkal, negaralah yang pertama melarang alkohol. Sopi termasuk di dalamnya. Alasannya?
Karena alkohol mengganggu ketertiban sosial. Lo, bukahkah yang mampu mengganggu ketertiban sosial itu manusia, dan bukannya alkohol? Mengapa alkohol yang harus dilarang?
Di sinilah urusannya menjadi amburadul. Orang-orang kaya dan setengah kaya di negeri ini juga butuh relaksasi. Mereka juga mengkonsumsi alkohol.
Ternyata alkohol menjadi bisnis yang amat besar. Masihkah Sodara ingat bahwa salah satu anak Soeharto mendapat monopoli untuk mengutip label dari alkohol?
Akhirnya, problem klasik pun muncul. Regulasi dari negara memunculkan kontrol dan kontrol butuh aparat untuk menerapkan dan mengawasinya.
Di samping itu, regulasi juga memunculkan pasar gelap. Kemudian, pasar gelap melahirkan proteksi. Siapa yang memberikan proteksi?
Di sinilah paradoksnya. Proteksi itu diberikan oleh aparatus yang sama. Artinya, secara formal aparatus ini melarang; namun dalam situasi illegal, dia menjadi pelindung pasar gelap.
Amerika hingga awal abad ke-20 masih menerapkan kebijakan prohibitionist terhadap alkohol. Hasilnya adalah pasar gelap – dengan salah satu tokohnya adalah jaringan mafia yang dikepalai Al Capone.
Bahkan kini pun ada usaha mengenyahkan alkohol lewat alasan-alasan religius. Seroang anak bekas menteri aktif berkampanye untuk mengenyahkan alkohol dari muka bumi.
Perjuangan ini nampak heroik, terutama karena dia menjadi platform politik dan mudah diduga karena jadi platform politik, dia hanya berguna untuk mengejar kekuasaan.
Di sisi yang lain, karena prohibitionis ini kita selalu melihat korban-korban yang mati karena mengkonsumsi alkohol dengan campuran etanol.
Rakyat kebanyakan tidak mampu membeli alkohol-alkohol pabrikan yang keberadaannya dikontrol negara.
Rezim prohibitionis lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang menyelesaikan persoalan. Ia menyuburkan pasar gelap.
Ia juga menyuburkan premanisme dan kejahatan teroganisir. Dia justru membikin kekacauan sosial yang lebih besar.
Banyak negara akhirnya menerapkan toleransi terhadap alkohol. Mereka mengenakan pajak terhadap minuman beralkohol sekaligus menerapkan hukuman jika konsumsi alkohol dilakukan menganggu ketertiban umum.
Mengemudi dalam pengaruh alkohol akan kena denda besar, hukuman kerja sosial, dan hukuman penjara.
Tentu saja, negara dan para pengelola negara akan menolak memberikan toleransi terhadap alkohol. Karena ini akan memotong banyak penghasilan – baik formal kepda keuangan negara maupun informal kepada aparat-aparatnya.
Apa yang kita saksikan di Kupang ini lebih mengenaskan lagi. Pihak kepolisian dan pemerintahan daerah memusnahkan minuman – minuman produksi rakyat – yang dibikin lewat kerja keras tangan-tangan rakyat kecil.
Namun periksalah rumah-rumah elit dan aparat di sana, niscaya Sodara akan melihat minuman-minuman bermerk luar negeri. Entah didapat dari membeli resmi atau hasil selundupan.
Selalu saja yang disalahkan adalah rakyat kecil. Mereka yang tidak berdaya. Walaupun mereka tidak merugikan siapa-siapa.
Satu-satunya dosa mereka adalah karena mereka memenuhi sendiri kebutuhan alkohol mereka. Lepas dari negara.
Seperti dalam banyak kasus lain, di sini Sodara melihat negara ini sesungguhnya menjadi masalah dan parasit bagi warganya. (*)
*Made Supriatma, Peneliti Politik dan Militer Berdomisili di Amerika Serikat