“Mark Up” Tunjangan Kerja DPRD Sikka menurut Pengamat Hukum

Maumere, Ekorantt.com – Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus kepada Ekora NTT, Rabu (20/2) mengatakan, kalau angka selisih dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi bersumber dari hasil mark up, maka unsur-unsur tindak pidana korupsi sudah ada.

Unsur-unsur itu adalah perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan perbuatan merugikan keuangan negara atau daerah.

Dua Bukti

Pria bergelar pengacara sepatu miring dari Flores ini mengemukakan, terdapat dua (2) bukti mark up tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi.

Pertama, Perbup 33 yang menurunkan dana tunjangan anggota DPRD Sikka dikeluarkan berdasarkan hasil survei tim survei terhadap standar satuan harga dan biaya sewa rumah dan kendaraan di Kabupaten Sikka.

iklan

Kedua, 35 anggota DPRD Sikka menerima dan menyetujui pemberlakuan Perbup 33 tersebut.

“Bupati berpendapat, angka itu mark up. Maka, bupati turunkan karena tidak penuhi syarat kepantasan dan kelayakan. Persetujuan DPRD akan jadi bukti bahwa selama tahun 2018, tunjangan yang diterima DPRD berasal dari hasil mark up. Dasar mark up ini adalah hubungan yang terjadi di ruang kolusi antara bupati Ansar dan Banggar DPRD Sikka. Unsur kolusi itulah yang menjadi ruang korupsi,” katanya.

Menurut Selestinus, kalau sekarang DPRD Sikka tetap persoalkan Perbup 33, maka mereka menghendaki masuknya aparat penegak hukum (APH) mengambil alih kasus.

Baginya, mesti dipastikan, apakah objek yang dipolemikkan masuk ke dalam tindak pidana korupsi atau bukan?

Kepastian hukum hanya bisa diperoleh melalui proses hukum, yaitu penyelidikan dan penyidikan.

“Hanya dengan penyelidikan dan penyidikan, polemik itu menjadi berhenti dan terang benderang, apakah ini peristiwa korupsi atau bukan? Kalau korupsi, siapa saja tersangkanya?”

Selestinus mengatakan, orang yang paling berpotensi dimintai pertinggungjawabannya secara langsung sehubungan dengan kasus mark up ini adalah Bupati Ansar, Ketua Banggar, Rafael Raga, dan anggota Banggar DPRD Sikka.

Karena perbuatan merekalah, kerugian daerah terjadi. Anggota DPRD lain yang tidak tahu akan ikut menjadi korban karena mereka menikmati uang hasil mark up itu.

Mereka harus menjelaskan kepada penyidik, mengapa terima uang itu?

“Ini akan menjadi peristiwa politik dan hukum yang paling menarik di akhir jabatan anggota DRPD Sikka. Karena bupati berangkat dari niat baik cegah korupsi dan lahirkan pemerintahan yang bersih dari KKN. Tetapi, di pihak lain, ada sejumlah kelompok penyelenggara negara yang bertindak anti pemberantasan korupsi. Jika polemik ini tidak dihentikan, maka warga Sikka akan memvonis mereka di Pemilu 17 April nanti,” katanya.

Menurut Petrus Selestinus, hasil risalah rapat hanya akan memperkuat dugaan, angka tunjangan sewa rumah dan sewa kendaraan anggota DPRD Sikka diperoleh berdasarkan kesepakatan antara eksekutif dan legislatif.

Angka itu tidak diperoleh berdasarkan hasil penelitian yang matang. Risalah itu akan mengungkap fakta persekongkolan antara Banggar DPRD Sikka dan bupati.

“Status risalah rapat sama dengan notulensi. Ia mencatat dinamika yang berkembang di dalam rapat. Risalah rapat itu tidak ungkap hasil survei. Kalau ungkap hasil survei dari lembaga survei yang akuntabel, maka risalah rapat bisa bantu mereka lolos dari perbuatan pidana. Kalau dimejahijaukan, penyidik sudah temukan bukti sempurna bahwa ada perbuatan korupsi,” katanya.

Selestinus menganjurkan, bupati dan pimpinan dewan segera bertemu untuk mencari solusi bersama. Sebab, masih ada waktu untuk selesaikan polemik ini.

“Hukum adat bisa selesaikan, walau sudah terbukti. Kalau bisa dipertanggungjawabkan, saya kira tidak ada masalah,” imbuhnya.

Kejanggalan

Pengacara Orinbao Law Office, Viktor Nekur kepada Ekora NTT, Selasa (19/2) berpendapat, terdapat beberapa kejanggalan dalam kisruh dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi 35 anggota DPRD Sikka.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut bisa dijelaskan dalam dua langkah berikut. pertama, Perbup Nomor 35 Tahun 2017 sah secara hukum karena tim survei pemerintah memiliki legal standing.

Akan tetapi, hanya dalam waktu 30 hari kemudian, muncul Perbup perubahan yakni Perbup Nomor 45 Tahun 2017 untuk menaikkan dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi tanpa melalui mekanisme dan hasil survei Bagian Ekonomi Setda Sikka.

Dasar kenaikan tunjangan itu adalah “Risalah Rapat Sinkronisasi APBD 2018” antara Pemda dan DPRD Sikka pada 21 Desember 2017.

“Dalam risalah rapat ini, muncul angka Rp10 juta dan Rp12,5 juta tanpa rekomendasi dari tim verifikasi Bagian Ekonomi Setda Sikka. Lucunya, dalam wawancara EKORA NTT dengan seorang anggota dewan, ia menyebut, Perbup Nomor 35 Tahun 2017 harus diubah menjadi Perbup Nomor 45 Tahun 2017 karena Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum Perbup Nomor 35 Tahun 2017 sudah dicabut dan diganti dengan PP Nomor 18 Tahun 2017,” katanya.

“Mestinya, dua PP itu dicantumkan dalam konsiderans “mengingat” di Perbup Nomor 35 Tahun 2017 dan Perbup Nomor 45 Tahun 2017. Akan tetapi, tidak ditemukan konsiderans “mengingat” yang memuat dua PP sebagaimana dijelaskan anggota dewan tersebut. Muncul pertanyaan, apakah Perbup Nomor 35 Tahun 2017 dan Perbup Nomor 45 Tahun 2017 adalah Perbup selundupan? Atau, adakah kerja sama antara dewan dan pemerintah untuk menggunakan uang negara tanpa kontrol hukum? Silahkan publik baca risalah rapat,” sambungnya.

Menurut Viktor, dalam tradisi administrasi ketatanegaraan, risalah rapat tanpa verifikasi hasil survei tim survei tidak bisa dijadikan dasar acuan penentuan standar harga satuan barang dan biaya.

Penentuan standar harga satuan barang dan biaya berdasarkan risalah rapat tanpa verifikasi hasil survei tentang standar harga satuan barang dan biaya dari Bagian Ekonomi Setda Sikka ini menjadi dasar dugaan publik bahwa telah terjadi mark up atau penggelembungan dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi yang begitu tinggi oleh pemerintah untuk kesejahteraan 35 anggota DPRD Sikka.

Perbup Nomor 33 Tahun 2018 yang diterbitkan Bupati Idong adalah koreksi atas kesalahan Perbup Nomor 45 Tahun 2017 yang diterbitkan Bupati Ansar Rera itu.

Kedua, kalau dewan tidak menempati rumah dan menggunakan kendaraan sesuai dengan penentuan harga survei standar harga satuan barang dan biaya, maka terdapat dua kemungkinan.

Pertama, jika harga rumah dan kendaraan lebih mahal dari harga survei, maka dewan harus keluarkan uang dari kocek sendiri dan negara mesti membayarnya.

Dan kedua, jika harga rumah dan kendaraan lebih murah dari harga survei, maka anggota dewan melakukan pembohongan publik.

“Bagamana dengan anggota dewan yang sudah punya rumah dan kendaraan pribadi? Apakah mereka masih berhak terima tunjangan rumah dan kendaraan?” katanya.

Viktor mempertanyakan, terlepas dari analisis kebutuhan tunjangan dewan secara nasional, mengapa pemerintah dan dewan tidak memberitahu masyarakat tentang kenaikan dana tunjangan yang begitu besar?

Kalau toh kenaikan dana tunjangan ini sudah dilegitimasi oleh Perbup, apakah uang ini dimakan secara merata oleh 35 anggota DPRD Sikka atau minus tiga (3) pimpinan DPRD Sikka?

Menurutnya, kalau Pemda Sikka menaikkan dana tunjangan rumah dan kendaraan anggota dewan melebihi kemampuan keuangan daerah, maka Pemda Sikka paksa diri untuk membiayai kemewahan anggota DPRD Sikka.

Viktor juga mempertanyakan, apakah anggota DPRD Sikka menerima dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi sebagaimana diatur dalam Perbup Nomor 45 Tahun 2017?

Jika dalam kenyataannya, anggota dewan menerima cuma Rp8,5 juta untuk tunjangan perumahan dan Rp10.625.000 untuk tunjangan transportasi sebagaimana diakui Henny Doing, maka negara memeras anggota dewan sebesar Rp1,5 juta per/bulan dari tunjangan perumahan dan sebesar Rp1.875.000 dari tunjangan transportasi.

Artinya, dalam setahun, dari dua tunjangan tersebut, negara memeras anggota dewan sebesar Rp1.417.500.000,00 per/tahun.

Tidak Terjadi “Mark Up”

Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang, Dr. John Tuba Helan memiliki pendapat yang lain dengan dua pengacara dari Flores di atas.

John berpendapat, sama sekali tidak terjadi mark up tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi 35 anggota DPRD Sikka.

Sebab, para anggota dewan itu menerima dana tunjangan kerja berdasarkan Perbup Nomor 45 Tahun 2017. Dan Perbup tersebut sah secara hukum. Kasus ini bukan mark up, melainkan salah menetapkan aturan.

Karena kesalahan adminstrasi aturan, maka anggota dewan hanya akan diminta mengembalikan kelebihan uang tunjangan kerja tersebut.

“Bukan mark up, tetapi salah tetapkan [Perbup, red], maka harus dikembalikan kelebihan bayar. Sudah pernah terjadi di TTS, Ama,” katanya.

Menurut John, karena hanya sekadar kesalahan administrasi, maka kasus ini tidak akan bisa diproses hukum.

“Kembalikan kelebihan bayar, selesai,” pungkasnya.

TERKINI
BACA JUGA