Cinta Saja Tidak Cukup, Nona!

Maumere, Ekorantt.com – Langit sore sedikit kelabu menghiasi pelataran Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere. Beberapa orang peziarah tampak sibuk lalu-lalang, bertukar cerita, mengambil gambar, dan memerhatikan indahnya bangunan panti pendidikan calon pastor Katolik itu.

Tampak pula satu dua orang frater muncul dari dalam bilik. Mungkin hendak berolahraga atau berdoa.

Dua gadis itu menyunggingkan senyum malu-malu. Melangkahkan kaki perlahan-lahan dari asrama kediamannya menuju ke bagian depan Kapela Santo Petrus.

Kami, saya dan Silvano Keo Bhagi, yang telah lama menanti pun menemui mereka. Aroma parfum sepintas kilas harum merebak. Seolah-olah menutupi bau keringat kami yang telah seharian mewawancarai kaum pekerja di Maumere, 1 Mei 2019.

Keduanya bernama Erna Ke’o (23) dan Lyn Wea (26). Sebagaimana yang pernah dituliskan dalam Ekora NTT edisi 54, Kamis, 9 Mei 2019, mereka adalah karyawati yang mendedikasikan diri untuk melayani kehidupan rumah tangga di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret. Sebuah seminari yang telah mencetak banyak pastor diosesan, uskup, juga awam Katolik yang sukses-sukses. Meskipun kita tahu, kesuksesan itu sendiri tentu punya banyak ukuran.

Kami jelas tidak bertanya definisi kesuksesan menurut mereka. Yang kami tanyakan adalah laku aktivitas apa saja yang  mereka buat untuk “menyukseskan” penyelenggaraan kehidupan di Seminari Tinggi Ritapiret.

“Kalau dapat giliran masak, kami bangun pagi jam 03.00, masak untuk makan pagi romo dan frater mereka. Setelah itu, kami beres-beres sampai jam 09.00,” ujar Lyn.

Beres-beres itu sendiri mencakupi; cuci pakaian/jubah para pastor, bersihkan halaman, atur ruang makan, dan tetek-bengek lainnya sebagaimana tugas seorang pekerja rumah tangga.

Namun, waktu kerja mereka tak hanya pagi atau siang hari. Sebab, sore hari mereka harus bangun lagi untuk siapkan makan malam bagi para frater dan pastor.

Barangkali karena mereka memang tinggal langsung di area kompleks seminari, sehingga waktu kerjanya pun jadi satu hari penuh.

Pada satu sisi, mereka mendapat kemudahan tempat tinggal yang memang gratis. Sisi lainnya, mereka seolah-olah punya beban karena mesti menjaga asap rumah tangga dan menata lingkungan kehidupan seminari.

Memang ini sebenarnya bagian dari pilihan hidup, karena mereka datang untuk bekerja dan bukannya memacakkan niat untuk jadi kaum berjubah.

Setiap pilihan dalam bekerja memang selalu mengandung konsekuensi. Ada tenaga atau jasa yang dikorbankan, ada upah yang diperoleh.

Inilah yang berlaku dalam logika kerja masa sekarang, kecuali dalam tataran tertentu, Anda adalah orang yang punya akses terhadap modal, pendidikan dan kecakapan menguasai jaringan juga perkembangan teknologi dan informasi.

Erna dan Lyn hanyalah lulusan sekolah menengah atas dan mereka sesungguhnya sedang mempertahankan hidup. Lantas, waktu kami tanyakan berapa upah yang mereka dapat, keduanya menjawab, 500 ribu rupiah per bulannya.

Sebuah jumlah yang sedikit dan boleh jadi tak mencukupi kebutuhan hidup mereka. “Susahnya itu pas orang tua di kampung minta uang tiba-tiba,” keduanya serempak berujar.

Mereka kemudian bilang bahwa mereka sempat minta kenaikan upah kepada pastor yang mengurus bagian ekonomi, tapi hasil yang didapat adalah nihil.

Memang upah mereka sebenarnya adalah 800 ribu rupiah, hanya saja 300 ribu dipotong untuk penginapan atau tempat tinggal.

Kami lalu berceloteh bahwa kerja di biara atau seminari itu memang lebih banyak mengedepankan cinta kasih ketimbang tuntutan soal gaji, jaminan sosial dan lain-lain.

Sehingga urusan upah nanti bakalan terhitung di Surga. Mereka membalasnya dengan senyum manis. Entah mereka sepakat atau mungkin menyunguti kami dalam hati.

Namun, satu hal yang mesti disadari, mereka adalah juga manusia yang punya keluarga dengan seabrek kebutuhan hidup.

Mereka bukanlah rohaniwati/wan yang boleh jadi tak terlalu peduli pada urusan kemapanan-kenyamanan karena fokus berdoa dan melakukan pelayanan-pelayanan sakramental.

Erna Ke’o dan Lyn Wea adalah dua anak muda yang masih meraba-raba masa depannya. Dan kami atau juga kita tentu tak punya hak untuk menebak atau menghakimi orang yang penghasilannya hanya 500 ribu setiap bulannya.

Mereka barangkali ingin bekerja di tempat lain yang lebih menjanjikan, namun mereka tak punya akses untuk itu. Sehingga realitas yang ada di depan mata harus dijalani apa adanya.

Tapi, pada akhir perbincangan, mereka masih tetap mengharapkan agar upahnya dinaikkan sesuai standar yang layak.

Melayani Tuhan atau calon wakil-wakil Tuhan memang mulia adanya, namun pada level tertentu, cinta kasih saja tidaklah cukup.

Penghargaan manusia sebagai manusia mesti jadi keutamaan.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA