Partai Politik dan Demokrasi di Indonesia

Laporan democracy Index dari The Economist Intelligence Unit menunjukkan, kemunduran demokrasi di Indonesia terjadi setelah Pilkada DKI Jakarta pada 2016 lalu.

Menurut laporan tersebut, tren indeks demokrasi Indonesia cenderung menurun dari 2014 hingga 2017. Pada 2014, nilai indeks 6,95 dan naik menjadi 7,03 pada 2015.

Akan tetapi, angka terus turun menjadi 6,97 pada 2016 dan turun sangat signifikan pada 2017 dengan skor 6,39. Indonesia pun turun 20 peringkat dari ranking 48 menjadi 68 di tingkat global (Kompas, 15/2/2019).

Survei LSI 2018 menunjukkan, kasus intoleransi politik di Indonesia semakin meningkat dalam tiga tahun terakhir.

Walaupun mayoritas warga yang disurvei masih menghendaki demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik, mayoritas Muslim tetap keberatan warga non-Muslim jadi kepala pemerintahan, baik bupati, walikota, gubernur, wakil presiden atau presiden.

iklan

Mayoritas Muslim juga keberatan warga non-Muslim bangun rumah ibadah di lingkungan mereka.

Mengapa indeks demokrasi bangsa ini terus turun saban tahun?

Kami berpendapat, salah satu sebabnya adalah tidak adanya proses demokratisasi yang berjalan tuntas di internal partai politik.

Hal itu terjadi karena demokrasi di Indonesia, yang dimotori oleh partai politik sebagai pilar penting demokrasi, sudah dibajak sejak awal oleh uang. Demokrasi dalam moncong oligarki (Hardiman, 2013).

Kira-kira itulah problem dasar kemunduran kehidupan berdemokrasi di Tanah Air.

Jika membaca “Tetralogi Buru” Pramoedya Ananta Toer, kita akan berkenalan dengan sosok pemuda yang luar biasa.

Namanya Minke.

Dalam buku ketiga “Tetralogi Buru” berjudul “Jejak Langkah”, kita akan temukan perjuangan maha dahsyat Minke membidani lahirnya organisasi pribumi pertama di Tanah Air.

Namanya Serikat Prijaji.

Kemudian menjadi terkenal dengan nama Serikat Dagang Islam (SDI), asal mula Serikat Islam (SI) besutan H.O.S Tjokroaminoto, Mantan Mertua Presiden Sukarno.

Minke terdorong dirikan Serikat Prijaji karena hendak kobarkan bara api nasionalisme. Tujuannya adalah melawan kebejatan kolonialisme juncto kapitalisme Belanda dan kekolotan feodalisme para raja Pribumi.

Corongnya adalah Surat Kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908).

Dengan motto, “Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia,Medan Prijaji dikenal sebagai koran Pribumi pertama karena menggunakan bahasa Melayu dan mempekerjakan 100% pekerja media dari orang-orang Pribumi.

Gaya menulis Minke, digambarkan Marco, Jurnalis Medan Prijaji, bikin para penguasa kolonial dan pemimpin feodal Pribumi “moentah darah.” Minke kritik habis-habisan kelaliman penjajah yang hisap habis keringat dan darah orang Pribumi.

Akibatnya, dia ditangkap, disingkirikan dari Pulau Jawa, dan dibuang ke Pulau Bacan di Maluku Utara.

Dia akhirnya meninggal dunia pada 17 Agustus 1998 dengan kondisi yang mengenaskan.

Bayi Nasion Indonesia, yang dilahirkan secara sangat menyakitkan oleh “Sang Pemula” – Minke merujuk pada Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers dan kebangkitan nasional – melalui organisasi pribumi paling awal, kemudian menjadi “Rumah Bersama” Boedi Oetomo, partai-partai politik, dan organisasi rakyat lainnya pada masa perjuangan pergerakan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.

Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi partai sulung yang pakai nama politik “Indonesia.”

Lalu, berlangsunglah Pemilihan Umum (Pemilu) sebanyak 11 kali terhitung sejak pertama kali digelar di tahun 1955 pada era Sukarno dengan jumlah Parpol peserta Pemilu 172.

Pada Pemilu 1971 di era Suharto, jumlah peserta Pemilu berkurang menjadi 10 Parpol karena Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan PKI sudah dibubarkan.

Selanjutnya, dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, Pemilu 1977-1997 hanya diikuti oleh tiga (3) partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Golongan Karya (Golkar).

Setelah kran reformasi dibuka, menjamurlah tren pembentukan Parpol baru dengan jumlah peserta 48 Parpol (Pemilu 1999), 24 Parpol (Pemilu 2004), 38 Parpol (Pemilu 2009), 12 Parpol (Pemilu 2014), dan 14 Parpol Nasional serta 4 Parpol Lokal Aceh (Pemilu 2019).

Akan tetapi, sungguh naas, sesudah terlepas dari cengkeraman kolonialisme Belanda dan feodalisme para raja Pribumi, bangsa ini masuk lagi ke dalam moncong oligarki.

Tanda paling benderangnya adalah partai politik.

Hari-hari ini, siapa yang sanggup bantah kalau mahar politik sungguh teramat mahal?

Calon walikota atau bupati rerata bakar duit Rp20-30 M dan calon gubernur rerata Rp100 M (KPK, 2016).

Tuan dan Puan tak perlu menjadi heran kalau kemudian partai politik menjadi tempat “beternak” kepentingan ekonomi-politik para konglomerat di negeri ini.

Tengoklah profil partai-partai politik dewasa ini.

Tuan dan Puan akan temukan para oligark dan konglomerat. Orang-orang yang mempertahankan kekayaannya dengan kuasa uang.

Tidak stop di situ. Para konglomerat dan oligark ini kemudian boncengi media massa (koran, televisi, media digital) untuk menghegemonisasi kesadaran dan pikiran warga negara (Gramsci).

Propaganda “Aku Pancasila”, “Bahaya Laten Komunisme”, dan “Negara Islam” misalnya menguasai ruang publik sedemikian rupa sampai kita lupa bahwa bahaya nyata terbesar bangsa ini adalah ancaman disintegrasi karena Negara gagal mengadministrasikan keadilan sosial bagi seluruh warga Negara Indonesia.

Di Indonesia, para konglomerat media identik dengan para konglomerat politik (Bdk. Tapsell, 2016).

Maka, berlakulah aksioma ini, barang siapa hendak menjadi kampiun politik di Ibu Pertiwi, hendaklah ia menjadi raja media terlebih dahulu.

Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Dahlan Iskan adalah contoh para raja media yang bermetamorfosa menjadi kampiun politik.

Akibatnya, ideologi partai politik dan media tak pernah jelas. Sebab, Parpol dan media yang menjadi corongnya hanya merepresentasikan kepentingan ekonomi politik para pemiliknya.

Jika orang biasa, seperti Jokowi misalnya, hendak ikut-ikutan menjadi kampiun politik – dan dia berhasil melakukannya selama dua periode kepresidenan – dia mau atau tidak mau harus mau pertama, bagi-bagi kekuasaan dengan para konglomerat dan oligark yang mengusungnya dan kedua, terapkan politik pencitraan dengan berlaku surplus ramah terhadap media.

Akibatnya, ideologi perjuangan Presiden Jokowi tak pernah jelas selama lima tahun kepemimpinan Beliau. Untuk penuntasan masalah pelanggaran HAM masa lalu misalnya, dia tersandera oleh orang-orang di lingkaran terdekatnya di istana.

Cara instan menutupi kelemahannya adalah dengan merangkul media.

Oh, betapa bedanya media sekarang dengan Medan Prijaji tempo doeloe.

Oleh karena itu, kami berpendapat, isu sentralisme partai moncong putih besutan Megawati adalah conditio sine quad non dari berkuasanya uang dalam politik di Indonesia hari-hari ini.

Terpilihnya Bupati Sikka menjadi Ketua PDI-P Sikka tidak jauh-jauh amat dari diagnosis masalah minusnya proses demokratisasi dalam partai politik di Indonesia.

Manakala uang plus nepotisme-keluargaisme bertakhta, siapa yang akan perduli lagi nasib proses demokratisasi partai politik di negeri ini?

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA