“Di dunia ini manusia bukan berduyun-duyun lahir dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana…” (Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam)
Angkringan Mbak Susilarini di Jalan Kimang Buleng, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, hampir selalu ramai pengunjung setiap hari. Macam-macam pengunjung datang, duduk, makan, minum, diam, omong, dan pulang silih berganti.
Tak terhitung dengan pasti berapa kali bokong setiap pengunjung menghangatkan kursi plastik segi empat dan karpet kuning di angkringan itu. Setiap pemilik bokong bawa cerita dan keheningan batin masing-masing.
Dia yang bercerita akan cerita kisah dengan tema dan gaya yang khas. Pegawai koperasi akan omong tentang tagihan utang koperasi yang tak kunjung dibayar.
Staf Penerbit Erlangga akan keluh pimpinan sekolah di Maumere yang enggan berlangganan buku terbitan Erlangga. Para wartawan akan diskusi tentang isu-isu berita mutakhir dan visi besar memajukan media tempatnya mencari nafkah.
Para polisi muda akan bicara tentang warga Sikka yang ogah urus SIM. Biarawan tarekat religius di Sikka atau yang datang dari luar Sikka akan jalin ramah tamah yang akrab.
Seniman akan fokus pandangi laptop untuk men-design format pementasan teater yang sebentar lagi akan digelar. PNS di lingkup Pemkab Sikka akan diskusi tentang tugas-tugas harian dan kepenatan yang membebani mereka.
Penjabat publik datang, tetapi tentu pasang muka yang berwibawa sehingga jarang terdengar obrolan dari mulutnya.
Sesekali Mbak Susi datang menyela, entah menyapa tamu yang baru datang atau meladeni obrolan pelanggan yang nyinyir.
Angkringan sudah jadi semacam ruang publik tempat saling tukar tambah pikiran terjadi. Dalam dunia filsafat, ia mirip dengan cafe-cafe di Prancis tempat orang mempercakapkan public issue.
Dia yang hening akan hening dengan tema dan gaya yang khas pula.
Pemandangan yang umum ialah bahwa dia yang hening akan menjadi sunyi dengan menggenggam Android di tangan.
Entah dia sedang sunyi atau sepi, tak tertebak. Ciri khas manusia modern yang individualistis dan konsumeristis. Menyendiri sembari memakai.
Tapi, dia yang bercerita akan terus cerita dan akan ambil jeda saat nasi ikan, nasi ayam, nasi lele, soto, ubi tela, mie, kopi datang. Dan dia yang hening akan sedang berpikir, melamun, mengutak-atik Hp, dan jeda saat pesanan menu datang.
“Lele saya beli dari Mas Eko. Dia punya tambak lele di depan SMK Matilda,” kata Mbak Susi di sela-sela kesibukan melayani pelanggan.
Dia yang datang dan pergi di Angkringan Mbak Susi mesti kelas yang punya uang.
Paling kurang ia mesti sanggup bayar Rp20.000 untuk pesanan nasi ikan. Suatu harga yang hampir dua kali lipat lebih mahal dari harga nasi ikan pada umumnya di Maumere.
Tapi, jangan nilai harganya. Mahalnya harga nasi ikan di angkringan ini antara lain tersebab oleh gedenya ukuran ikan dan gurihnya rasa.
Dipastikan kamu akan kenyang menggelinjang kenikmatan usai menyantapnya. Saya sendiri sudah lebih dari tujuh kali menikmati mahalnya dan gurihnya racikan masakan di angkringan ini.
Artinya, sudah lebih dari Rp140 ribu saya bakar di angkringan ini. Dari tujuh kali pengalaman, tak satu pun saya jumpai masyarakat kelas bawah seperti tani miskin dan pengemis masuk ke sini.
Artinya, angkringan ini adalah angkringan kelas menengah ke atas yang bisa dilihat dari jenis pekerjaan dia yang bercerita dan yang hening di atas.
“Mereka umumnya adalah para pekerja kantoran yang mengaso setelah seharian penuh cari nafkah untuk bisa sekadar bertahan hidup,” ucap rekan saya dari Ekora NTT.
Mbak Susi, tetangga Pramoedya Ananta Toer, datang dari Blora pada 2013 lalu untuk mengadu nasib di kota nyiur melambai ini.
Sesampainya di kota ini, ia mengontrak tanah di sekitaran Komplek SMAK Frateran Maumere. Tanah dikontrak selama 4 tahun dengan harga Rp4 juta/tahun.
Total harga kontrakan selama 4 tahun Rp16 juta. Di atas tanah kontrakan inilah, ia membangun angkringan dan kamar tidur kecil tempatnya menginap.
“Mana kamarnya, Mbak?” tanya saya kepo.
“Di sini. Itu ada pintu rahasia,” katanya sambil menunjuk pada salah satu kamar kecil yang terletak di sudut angkringan.
Hidup memang bukan pasar malam. Kita datang ke dunia ini sendiri-sendiri. Kita pun akan pergi dari dunia ini sendiri-sendiri.
Tak pernah kita berduyun-duyun pergi kepada kehidupan dan berduyun-duyun pula pulang kepada kematian.
Angkringan Mbak Susi Tetangga Pramoedya Ananta Toer di Blora itu adalah saksi bisu tentang kisah-kisah dia yang datang dan pergi.
Kisah-kisah tentang perjuangan anak manusia mempertahankan hidupnya dan menjadi berarti di bumi manusia ini