Menalar Desakan “Tersangka-kan” Ansar Rera: Kasus Dugaan Korupsi Tunjangan Kerja DPRD Sikka

Pada Kamis (8/8/2019), kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Maumere Corruption Watch (MCW) mendesak Kejaksaan Agung RI segera menetapkan Yos Ansar Rera sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD Sikka periode 2014-2019.

Desakan men-tersangka-kan Mantan Bupati Sikka Periode 2013-2018 ini disampaikan dalam aksi damai MCW di Kejari Maumere dan Kantor Bupati Sikka.

Bagaimana kita menilai desakan masyarakat sipil ini?

Hemat kami, desakan masyarakat sipil di atas bisa dinilai dalam dua (2) perspektif.

Pertama, dari perspektif hukum, di satu sisi, terdapat kewajiban dari para Aparat Penegak Hukum (APH) – polisi, jaksa, KPK – untuk menindaklanjuti setiap laporan masyarakat tentang dugaan tindak pidana korupsi.

iklan

Kewajiban “menindaklanjuti setiap laporan masyarakat” tentu saja mengandaikan adanya hak masyarakat untuk “menyampaikan aduan atau laporan dugaan tindak pidana korupsi” kepada APH.

Di lain sisi, terdapat pula hak dari para terlapor untuk mendapatkan perlindungan hukum dari APH itu sendiri.

Dalam ruang ini, mari kita fokus pada desakan MCW untuk men-tersangka-kan Ansar Rera.

Menurut Pasal 1 Angka (4) Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP), “tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

Selanjutnya, menurut Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009), “status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yang paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti” (1).

Selanjutnya, “untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup, yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara” (2).

Berdasarkan KUHP dan Perkap di atas, maka penetapan status tersangka terhadap seseorang mesti pertama, memperoleh paling sedikit dua (2) jenis alat bukti dan kedua, melakukan gelar perkara untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup.

Jadi, di satu sisi, APH punya kewajiban untuk melakukan Pengumpulan Bahan dan Keterangan (Pulbaket) terkait laporan masyarakat tentang dugaan korupsi tunjangan kerja DPRD Sikka. Sasaran dari Pulbaket itu adalah dilakukannya gelar perkara untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka berdasarkan paling sedikit dua (2) jenis alat bukti.

Di lain sisi, berdasarkan Pasal 1 Angka 11 jo. Pasal 14 Ayat (1) Perkap 12/2009, “prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan dan penetapan tersangka harus dilakukan secara profesional, proporsional, dan transparan agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan lebih jauh tidak semata-mata bertendensi menjadikan seseorang menjadi tersangka.”

Peraturan di atas melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) dari para terlapor. Sasarannya adalah mencegah terjadinya praktik kriminalisasi terhadap para terlapor.

Kedua, dari perspektif politik, masyarakat sipil berhak melakukan advokasi terhadap suatu kebijakan publik tertentu – dalam hal ini kebijakan proses hukum APH terkait dugaan korupsi tunjangan kerja DPRD Sikka –.

Menurut Black’s Law Dictionary 8th Edition, “advocay is the act of pleading for or actively supporting a cause or proposal” – advokasi adalah tindakan memohon atau secara aktif mendukung suatu tujuan atau maksud –.

Laola Esther, Kepala Divisi Kampanye Publik ICW, berpendapat, advokasi diperlukan karena Negara – eksekutif, legislatif, dan yudikatif – absen merespons kebutuhan publik.

Menurut dia, paling kurang ada dua (2) indikator absennya Negara, yaitu pertama, adanya masalah/konflik/kasus serta dinamika tertentu dan kedua, adanya sebuah fenomena (baru) yang dapat mempengaruhi kepentingan publik.

Menurut Laola, advocay adalah salah satu dari beberapa metode mengubah kebijakan publik antara lain advising dan lobbying (cooperation/inside track), serta activism (confrontation/outside track).

Advokasi dapat dilakukan melalui dua (2) tahap, yaitu tahap judikasi dan tahap ajudikasi. Tahap judikasi meliputi gugatan hukum, uji materi, laporan etik, permohonan informasi, dan pelaporan kasus. Sedangkan tahap ajudikasi meliputi lobi, audiensi, aksi massa, dan kampanye kreatif.

Kami berpendapat, MCW sudah menggunakan haknya mengadvokasi kebijakan publik APH – dalam hal ini Kejagung RI – melalui pelaporan kasus, lobi, audiensi, aksi massa, dan kampanye kreatif.

Namun, seperti kritikan Viktor Nekur, Pengacara pada Orinbao Law Office, kita tampaknya perlu terlebih dahulu menempuh tahap judikasi terkait kasus ini antara lain dengan melakukan judicial revieuw atau uji materi terhadap Perbup 45/2017 bikinan Ansar Rera.

Sebab, asbabun nuzul delik dugaan tindak pidana korupsi tunjangan kerja DPRD Sikka ada di Perbup tanpa hasil survei tim appraisal ini!

Akhirnya, sikap kami adalah pertama, menghargai proses hukum yang sedang ditangani Kejagung RI, kedua, mengutuk keras segala bentuk kriminalisasi terhadap para terlapor untuk selanjutnya mendorong Negara dan masyarakat menghargai HAM mereka, ketiga, mengapresiasi dan mendorong kelompok masyarakat sipil untuk terus berkomitmen mengadvokasi kebijakan publik terkait kasus ini, termasuk melakukan judicial revieuw atas Perbup 45/2017.

TERKINI
BACA JUGA