Soal Razia Buku: Ide Tak Dapat Diberangus, Ide Didiskusikan

Yogyakarta, Ekorantt.com – Maraknya aksi razia buku di tanah air, terutama buku-buku yang bertemakan komunisme ataupun mengandung paham “kiri”, memantik respons dari beberapa penulis Indonesia. Salah satunya datang dari Gunawan Maryanto.

Pada sebuah kegiatan diskusi dalam rangkaian Jogja Cofee Week beberapa waktu lalu di Jogja Expo Centre, Yogyakarta, Gunawan katakan bahwa razia buku merupakan bentuk konflik horizontal antarsesama warga negara dan memang sangat disayangkan. Sebab, yang terjadi adalah warga atau masyarakat sipil saling berhadap-hadapan, dan bukannya duduk bersama membahas isu-isu bangsa yang lebih besar dan penting.

“Dulu, waktu rezim Orde Baru, pemberangusan buku itu menimbulkan perlawanan dari masyarakat ke negara. Konfliknya vertikal. Kalau sekarang, memang situasinya makin kompleks. Perazia buku itu kelompok masyarakat tertentu, yang adalah saudara kita, tetangga kita. Musuh tunggalnya sudah hilang. Setelah Soeharto tumbang, kita makin dihadapkan dengan situasi sosial yang makin ruwet,” kata dia.

Namun, dia juga bilang bahwa razia buku itu sebetulnya tidak hanya terjadi saat pemerintahan Jokowi saja. Waktu SBY berkuasa, hal destruktif tersebut juga berlangsung.

Maka dari itu, peraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 ini berpendapat, negara/pemerintah semestinya mengambil sikap tegas terhadap siapa saja yang berupaya untuk menghalangi ragam kebebasan berpikir ataupun produk intelektual apa saja.

iklan

Negara harus melindungi warganya. Bukan membiarkan aksi serampangan berjalan begitu saja. Sehingga sungguh miris apabila negara sendiri malah terlibat di dalam atraksi penyitaan termaksud.

Bagi Gunawan Maryanto, ide atau pemikiran itu tidak dapat dimusnahkan. Ide akan terus hidup. Oleh sebab itu, ide-ide itu harus didiskusikan, mendapatkan sentuhan dialektika dari macam-macam sudut pandang.

“Kita tidak perlu saling menghakimi satu sama lain. Kita perlu duduk bersama, membicarakan pendapat-pendapat kita. Apakah benar komunisme sebagai ideologi itu bangkit lagi? Itu yang harus ditunjukkan. Dibicarakan. Tidak serta-merta main hakim sendiri,” lanjut dia.

Untuk diketahui, dalam catatan Ekora NTT, selama beberapa waktu belakangan, razia buku-buku “kiri” dengan dalil menyebarkan paham radikal terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Probolinggo dan Makassar.

Di Probolinggo, lapak baca gratis yang disediakan dua orang pemuda harus terjerembab masalah setelah pihak Kepolisian Sektor Kraksaan menggelandang kedua orang tersebut karena menyediakan sejumlah buku bacaan tentang biografi D N Aidit, yang merupakan pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Sementara itu, di Makassar razia diadakan di Gramedia Makassar oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya sebagai Brigade Muslim Indonesia (BMI). Salah satu buku yang disita adalah karya Franz Magnis Suseno berjudul “Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Franz Magnis Suseno”, yang esensinya justru mengkritik ideologi Marxisme itu sendiri.

Namun, yang jelas, tindakan-tindakan itu tentu sangatlah kontrapoduktif. Pasalnya, razia buku di Indonesia sudah tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010 yang mencabut UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

Dan terlepas dari mengerti atau tidaknya orang terhadap produk hukum itu, ide, sebagaimana diterangkan Gunawan Maryanto, memang akan terus hidup dalam kepala manusia. Walakin dalam bentuk fisiknya, semisal produk buku atau langgam karya apa saja, hal itu jadi sasaran pemusnahan oleh segelintir kelompok masyarakat, bahkan aparat negara, dengan alasan yang seyogianya mudah diperdebatkan.


spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA