Dirancang untuk Gagal? Skandal Tinju Internasional di Maumere, Flores

Gagal total proyek tinju internasional di Maumere, Flores timbulkan tanda tanya besar di benak publik.

Apakah tinju internasional, yang merogoh kocek 8 investor di Jakarta dan di Thailand sekitar Rp400 Juta dan dana corporate social responsibility (CSR) Bank NTT Cabang Maumere sebesar Rp65 Juta, sejak awal dirancang untuk gagal?

Mei 2019.

Patrick Juang Rebong, Yohanes M. Vianey Tinton alias Tinton, dan Gabriel Langga alias Angga menggagas “NTT Big Fight II” tinju internasional di Gelora Samador Maumere di Kantor Redaksi Lenterapos.com.

Tiga sekawan ini hendak mengulang kegiatan serupa bertajuk “NTT Big Fight I” tinju internasional di Mbay, Nagekeo, Flores.

iklan

Seperti di Mbay, Patrick Juang Rebong akan bertindak sebagai Promotor dari Ring Arena Promotion.

Patrick menunjuk Tinton dan Angga masing-masing sebagai ketua dan sekretaris panitia lokal tinju internasional di Maumere.

Penunjukkan dilakukan tidak berdasarkan surat kontrak kerja sama, melainkan berdasarkan tali perkawanan.

Menurut Patrick, tugas Tinton dan Angga antara lain adalah mengurus berkas-berkas surat dan mengajukan proposal permohonan dana bantuan ke Pemda Sikka dan ke sejumlah lembaga keuangan lainnya.

Ketua Pertina Sikka Henny Doing menyatakan menolak mengucurkan dana subsidi silang kepada panitia dengan alasan dana itu tidak diperuntukkan untuk penyelenggaraan tinju internasional, melainkan untuk pengadaan ring tinju.

Padahal, di benak Patrick, telah terbayang rupiah sekitar Rp70 Juta – Rp100 Juta dari Pemda Sikka.

Bayangan itu terpatri jelas di benaknya karena tiga (3) bulan sebelum even, di rumah jabatan di Jalan El Tari, Bupati Robby menyatakan kepadanya akan menggelontorkan dana subsidi silang dari Pemda Sikka melalui KONI atau Pertina Sikka.

Managemen Kopdit Pintu Air Asia juga mengaku menolak mengabulkan permohonan dana dari Ring Arena Promotion dengan total estimasi biaya sebesar Rp650 Juta.

Beberapa hari menjelang hari H, Tinton dan Angga mengundurkan diri dari kepanitiaan lokal.

Posisi mereka kemudian digantikan oleh Rudolfus Ali, Ketua Harian KONI Sikka.

Seperti Tinton dan Angga, penunjukkan Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Sikka itu juga tidak berdasarkan hitam di atas putih.

Patrick tunjuk dia begitu saja.

Menurut Patrcik, pengunduran diri Tinton dan Angga, dua kawan lamanya itu, tanpa ada alasan yang jelas.

Namun, Tinton dan Angga, dalam kapasitas mereka sebagai panitia, sudah berhasil menghubungi dan me-negosiasi Dedi Olderikus, Manager Produksi PT Choin Entertainment, untuk menjadi vendor penyedia alat sound system, lighting, rigging, dan barikade.

Mereka berhasil me-negosiasi harga pembayaran jasa PT Choin Entertainment dari harga awal Rp50 Juta menjadi Rp30 Juta.

Sabtu, 3 Agustus 2019.

Pertandingan tinju amatir antara petinju dari Pertina Sikka versus petinju dari Pertina Flores Timur sedang memasuki partai ketiga.

Tiba-tiba, saat jeda pertandingan, Dedi Olderikus men-demute atau memberhentikan sementara peralatan sound system.

Alasan dia adalah pihak Ring Arena Promotion telah ingkar janji.

Patrick dituding belum menunaikan pembayaran jasa PT Choin Entertainment berdasarkan surat perjanjian kerja sama yang ditandatangani oleh dirinya selaku Manager Produksi PT Choin Entertainment dan Erick B. Sabon selaku Panitia NTT Big Fight II.

Sebaliknya, Patrick mengaku sudah membayar PT Choin Entertainment sebanyak dua kali down payment (DP), yakni di Hotel Nara Room sebesar Rp15 Juta pada Kamis, 1 Agustus 2019 dan di Gelora Samador sebesar Rp1 Juta pada Jumat, 2 Agustus 2019.

Jadi, menurut dia, total pembayaran DP sebesar Rp16 Juta sudah melebihi perjanjian awal.

Menurut Pasal 1 Perjanjian Kerja Sama NTT Big Fight II Tinju Internasional Maumere 1 – 3 Agustus 2019 tentang Hak dan Kewajiban Pihak I, “PIHAK I bersedia membayar PIHAK II dengan nilai Rp. 30.000.000,00.”

Sementara itu, menurut Pasal 3 Perjanjian Kerja Sama NTT Big Fight II Tinju Internasional Maumere 1 – 3 Agustus 2019 tentang cara dan syarat pembayaran, “seluruh pembayaran dilakukan dengan cara cash sebesar 50% sebelum loading dan 50% sisa setelah sound cek di hari acara.”

Singkat cerita, malam itu, tinju internasional di Gelora Samador berakhir ricuh. Patrick, petinju, penghibur, official, dan wasit diamankan polisi di Polres Sikka. Penonton bawa kabur sekitar 75 kursi panitia milik Buang da Cunha. Ketua Satpol PP Sikka itu diperkirakan merugi sekitar Rp7,5 Juta. Komisaris PT Sikka Express Wisata Herman Siswanto melaporkan Patrick kepada Polres Sikka karena diduga “bawa kabur” uang tiket sebesar Rp60-an Juta.

Sementara itu, Henny Doing, Ketua Pertina Sikka, tidak penuhi undangan panitia untuk menghadiri even tinju internasional malam itu.

Ketidakhadiran Henny Doing menimbulkan tanda tanya di benak Patrick. Apakah dia tidak perduli dengan tinju di Sikka?

Sebab, 20-an petinju amatir sedaratan Flores Lembata yang dijadwalkan berlaga malam itu didominasi oleh para petinju Pertina Sikka di bawah koordinasi Martin Adji.

Namun, Patrick ingat, Pertina Sikka pimpinan Henny Doing baru membatalkan kucuran dana subsidi silang hanya beberapa jam setelah dirinya turun dari pesawat di Bandara Waioti. 

“Mereka batalkan kerja sama menjelang acara. Supaya kegiatan ini tidak berjalan dan ada kesan penipuan publik. Soal aroma politik, kita tidak punya bukti. Yang bisa dilacak adalah mereka baru saja mengkonfirmasi batalnya subsidi silang bukan hitungan hari, tetapi hitungan jam. Artinya, saya merasa dipermainkan. Karena dalam hitungan jam harus mencari uang sebesar itu. Saat turun dari pesawat, saya dipastikan tidak ada subsidi silang,” demikian keluh kesah Patrick kepada EKORA NTT melalui sambungan telepon.

Apakah tinju internasional di Maumere sejak awal dirancang untuk gagal? Benarkah tercium bau aroma politik di ring tinju? Siapa pihak yang paling diuntungkan dan dirugikan dari gagal total proyek tinju internasional ini?

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA