Ah, Fatmawati!

Ini pertama kalinya saya datang ke Jakarta. Dan sumpah, saya telah mendapatkan segalanya; mulai dari transportasi yang lancar hingga makanan yang meluncur menuju ke kamar tidur saya.

Saya tidak pernah membayangkan jika ternyata di dalam realitas kehidupan ini, ada jenis kehidupan yang memang dengan mudah seperti yang saya dapatkan saat tiba di Jakarta. Bermodalkan isi kantong yang cukup, semua yang saya inginkan dengan mudah saya dapatkan. Semunya, tak terkecuali Fatmawati.

Tinggal di seputaran Jalan Kramat Raya (Jakarta) No. 5 mempercepat akses saya menuju beberapa lokasi yang ingin saya kunjungi. Memang sejak awal, tujuan kedatangan saya ke Jakarta hanyalah untuk belajar menyaksikan orang-orangnya, melihat bangunan-bangunannya, membaca sejarah-sejarahnya (sejarah Indonesia yang terpusat di Jawa ini memang sudah menjadi bahan pelajaran kami sejak berada di sekolah dasar), transportasinya yang melesat ibarat jet, mahasiswanya yang sering berdemo, kesenian-keseniannya, dan beragam kelimpahan lainnya yang sering dipertontonkan di media mainstream tanah air ini.

Tujuan saya datang ke Jakarta memang bukanlah untuk menjadi seorang mahasiswa atau mencari pekerjaan sebagaimana umumnya yang dilakukan oleh sebagian rekan-rekan saya yang berasal dari Flores. Konon, tamatan mahasiswa Filsafat seperti saya ini – asal Flores – begitu lakunya saat bekerja di ibu kota Negara Indonesia ini. Sumpah, pernyataan ini dapat kalian, para pembaca yang budiman, dapat sendiri membuktikannya.

Sebagian besar alumnus di kampus Filsafat saya di Flores nan jauh ke Timur Indonesia ini mempunya pekerjaan yang layak di Jakarta. Tentu saja posisi tawar mereka tidak sekadar asal-asalan; semisal karena kampusnya terkenal (jangankan kampus Filsafat kami, Flores saja ada yang mengira berada di wilayah di Timor Leste atau Australia), atau lobi-lobi keluarga dan kenalan. Mereka berkualitas. Betul-betul berkualitas. Titik. Itu sebabnya, salah seorang senior saya di kampus, saat mendengar kalau saya akan ke Jakarta berpesan, “Jangan lupa pulang. Sekarang, sudah saatnya kita membangun daerah kita. Indonesia itu tidak semata-mata di Jakarta dan sekitarnya. Indonesia terkenal karena rumpun budaya dan keanegaragaman kekayaannya. Itu sebabnya, kita di daerah juga mempunyai peran yang tidak sedikit.” Mengingat pesan ini, saya jadi ingin segera pulang. Bukan karena kualitas yang saya miliki tidak mumpuni, tetapi, bayangan tentang kampung dan segala bahan mentahnya membuat mata hati saya bergejolak.

iklan

Di antara sekian kunjugan yang saya lakukan di ibu kota negara ini, ada sebuah pengalaman romantis yang tidak ingin saya tinggalkan. Pengalaman tersebut membuat hati saya lonjak tak beraturan. Maklumlah, jiwa muda pertengahan dua puluhan ini memang layak dan wajar mendapat pengalaman serupa ini. Hal tersebut semakin wajar jika tubuh turut memberikan respon yang seimbang. Apalagi di Jakarta, yang tidak sedikit orang-orangnya berperilaku sok mewah-mewahan.

Keluar dari penginapan, kami segera memesan grab. Baru saja saya menyalakan rokok, si pengemudi berkata, “Maaf Pak, dilarang merokok. Nanti di komplain tamu lainnya.” Saya kaget. Bukan karena larangannya, tetapi karena kedisiplinannya. Jakarta, yang roda perekonomiannya melaju begitu cepat ini memang menuntut kedisiplinan. Jika tidak, maka hancur berantakanlah ibu kota negara ini. Saya lalu memaklumi, mengapa Jakarta yang selalu sibuk dan terkenal dengan kemacetan ini, perlu mendisiplinkan pola kerjanya. Dari disiplin berlalu lintas, sampai disiplin merokok. Jalur kira-kanan, genap-ganjil bahkan berakhir pemindahan ibu kota negara.

Dari grab, kami menuju Mass Rapid Transit (MRT) yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo 24 Maret 2019 yang lalu. Di sinilah puncak percintaan itu terjadi. Saya menjumpai Fatmawati.

Berkerudung hitam manis, ia duduk menyibukkan diri dengan aktivitasnya.  Memang sejak awal, posisi duduknya sudah mengundang rasa penasaran dan menarik simpati. Saya lalu mendekatinya, berusaha berpikir dan mengacak-acak isi kepala, kira-kira pertanyaan apa yang bisa saya timbulkan.  

Saya memang tidak mengenal namanya. Akan tetapi, saat salah seorang rekan saya membeli tiket sebagai modal transportasi MRT di Ticket Vending Machine (TVM), saya sempat melirik ke monitor komputer tempatnya menyibukan diri. Tanpa sengaja, saya menemukan sebuah nama manis tertera di dalamnya: Fatmawati. Aduhai, hati saya bergetar. Cantik manis dan bertalenta ini ternyata memiliki nama yang anggun.

Belum sempat melemparkan godaan khas Timur, rekan saya telah mengajak pergi, sebab sebentar lagi MRT mendekat. Saya terburu-buru membuntuti rekan saya ini, sebab saya tahu, jika telat, maka dunia perjalanan saya akan rubuh. Maklumlah, ini pertama kalinya saya datang ke Jakarta.  Dan saya merasa seperti masuk ke dalam dunia robot. Dengan kapasitas teknis yang belum seberapa, saya bakal terancam hilang di tengah keramaian kota yang mengerikan ini.  

Naik MRT juga hal baru bagi saya. Itu sebabnya saya selalu berhati-hati. Bermodalkan akses informasi media mainstream yang mengabarkan kengerian hidup di ibu kota negara ini – bom, pencopet, kerusuhan politik, banjir – tidak salahnya saya selalu bersiaga.

Dalam perjalanan, telepon genggam saya bergetar. Sebuah pesan WhatsApp masuk. “Kalian di mana?” Dari Flores, salah seorang rekan saya bertanya. Karena pada waktu itu belum tahu jenis tumpangan yang sedang saya tumpangi, terburu-buru saya membalas, “Di sebuah kereta kecil.”

Pesan WhatsApp saya itu tidak dibalas. Saya baru menyadarinya setelah sebuah status history dimuat di halaman WhatsApp-nya, “Sedang mencoba naik MRT, seorang pria nekad mengubah jalan hidupnya.”

Saya sadar sekarang. Menyampaikan informasi soal keberadaan saya tadi telah dijadikan bahan bully oleh rekan saya yang jauh di sana. Tetapi, bagi saya, itu bukanlah masalah. Bukankah setiap pencapaian itu dimulai dari permulaan? Selain itu, bagi kami, mem-bully dengan cerdas juga merupakan cara lain menyatakan maksud agar subjek yang mendapat perlakuan demikian terus menancapkan gasnya di medan pacu perjuangan hidup ini. Ya, selama lelucon belum dipidanakan, tidak salah kan memanfaatkannya dengan cara yang sebebas-bebasnya.

Baru saja kami tiba di tujuan akhir stasiun, rekan saya mengajak turun. Dengan polosnya, saya ikuti tuntunannya. Belum beberapa jauh kaki melangkah, saya bertanya.

“Kita ke mana sekarang?”

“Ini stasiun Fatmawati. Sekarang kita ke seberang,” katanya jelas.

Sambil menoleh ke belakang, menyaksikan MRT yang menghilang, saya tertegun sendiri di dalam hati. Ternyata Fatmawati adalah nama stasiun, tempat tujuan, bukan gadis manis berparas cantik yang saya jumpai di awal keberangkatan MRT. Ah, jakarta. Ada-ada saja kamu. Politiknya yang semakin kabur, kedisiplinannya yang kadang menjenuhkan, sampahnya yang merusak pandangan mata, dan merokok yang dituding jadi polusi, kini, cinta pula kau permainkan. Tiba-tiba, aku terkenang Flores.

Marianus Nuwa, Pegiat KAHE, Maumere, Flores.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA