Papua, Wajah Kekerasan, dan Imajinasi Kita (1/2)

Oleh

Doni Koli*

“Kebencian hanya terjadi ketika seseorang kehilangan kemampuan dalam berimajinasi” (Graham Greene, 1971: 171 )

Kasus bertema “Papua” menjadi tranding topic akhir-akhir ini. Kisruh yang bermula lewat aksi pengepungan dan persekusi rasial atas mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang oleh ormas reaksioner terpicu berita penghinaan terhadap bendera Merah Putih memantik reaksi keras dari saudara-saudara kita di Papua. Aksi massa dan demonstrasi anarkis pun menyeruak di ruang publik. Rahim Papua seolah-olah sedang menggelontarkan kemarahan eksplosifnya.

Bicara soal Papua atau memetakan persoalan yang sedang terjadi di Papua memang bukan perkara yang mudah. Di sana-sini, kita menemukan banyak informasi dan opini yang menyebut rangkaian kejadian di sekitar kisruh Papua sebagai polemik identitas. Ada yang menyebutnya sebagai kemunduran nasionalisme, separatisme, kekerasan rasial, heterofhobia, retaknya kesadaran sebagai suatu nation-state, dan sebagainya.

Kisruh Papua hanyalah satu di antara sekian banyak problem kekerasan identitas yang menggema di Indonesia. Kita sering berjumpa dengan aneka narasi konfliktual berbau identitas. Dari lapangan sepak bola hingga kontestasi elektoral, kita berjumpa dengan remah-remah berbau identitas. Polemik identitas memang bak jamur menggunung dan menyindir nalar hingga kita pun rasanya perlu mendudukan rumusan masalah spekulatif ini: apakah kisruh Papua dan konflik-konflik horizontal tersebut hanya dapat dipotret dengan sudut pandang identitas? Atau, kasus Papua hanya merupakan puncak gunung es dari sebuah genealogi kekerasan yang tak kita sadari selama ini? Dalam artian kisruh Papua hanyalah wilayah permukaan dari wajah kekerasan yang jauh lebih akut dan parah.

Tanpa sadar, kita selama ini  dengan legawa menerima kekerasan bercorak identitas itu sebagai persoalan utama dan abai akan kendala-kendala objektif seperti krisis ekonomi politik berlapis-lapis dan selebrasi kemenangan sejumlah elit oligarkis yang mendapat keuntungan di tengah gejolak identitas seperti ini. Kita sedemikian larut dalam aneka perdebatan pragmatis tanpa preseden yang jelas, dengan perkara-perkara yang tak kunjung terselesaikan. Parahnya, imajinasi kita akan perkara yang jauh lebih objektif kian tergerus dan terlepas dari wacana dan perdebatan.

“Objective Violence” dan Akal Bulus Kapitalisme Neoliberal

Foto Ilustrasi: Pinterpolitik.com

Dalam kisruh Papua, informasi dan opini yang berseliweran menggiring isi pikiran kita pada kesimpulan tunggal ini: kekerasan identitas. Di sana-sini, media memborbardir kita dengan isu-isu seputar retaknya nasionalisme, aksi separatisme, dan hinaan rasial. Celoteh dan simpati ultranasionalis serentak moralis tampil bersahutan. Ada yang bilang bangsa kita tidak menjaga kultur toleransi, anti pancasilais, tidak mencintai keberbedaan sebagai kekayaan dan esensi bangsa kita. Pemerintah menetapkan kasus Papua sebagai darurat nasional yang perlu dikawal. Beberapa jenderal purnawirawan militer menilai bahwa kisruh di Papua tak lepas dari intervensi sejumlah provokator separatis. Akan tetapi, kesimpulan seperti itu seringkali tidak memuaskan, pragmatis, mematikan diskusi dan jauh panggang dari persoalan yang sesungguhnya.

Lantas, apa saja modus-modus kekerasan dapat dipetakan di balik kisruh Papua?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya merujuk pada gagasan bernas Slavoj Zizek, filsuf Marxis yang secara tekun dan mendalam meneliti bentuk-bentuk kekerasan. Dengan bertitik tolak pada pelbagai bentuk konflik kemanusiaan global, Zizek berusaha menelanjangi rangkaian klise dan akal bulus kapitalisme neoliberal yang sejatinya adalah arsitek ideologis utama di balik semua konflik.Zizek menemukan bahwa problem utama para intelektual dalam memetakan semua bentuk kekerasan itu adalah pengabaian terhadap kendala-kendala objektif yang melanggengkan kekerasan. Dengan demikian, indikator dan solusi yang dipakai untuk memoret dan menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat sasar.

Dalam bukunya yang berjudul Violence (2008: 1-30), Zizek membedakan dua modus kekerasan yakni, subjective dan objective violence.

Subjective violence adalah “obvious signals of violence that appear in front of our mind” (Ibid., p. 1). Subjective violence adalah tanda-tanda kekerasan yang secara gamblang dapat kita saksikan penampakan riilnya dalam rupa-rupa kekerasan kasat mata seperti aksi teror dan kejahatan, peperangan, invasi militer, kerusuhan sipil, perkelahian antar etnis dan konflik internasional. Subjective violence dialami sebagai kekacauan dari suatu keadaan yang normal dan damai. “It is seen as a perturbation of a normal, peaceful state of things” (Ibid., p. 2).

Kendati demikian, subjective violence bukanlah suatu penampakan kekerasan yang disokong oleh kedalaman realitas di baliknya. Zizek menulis, “Subjective violence is not an appeareance sustained by the depth reality behind it, but a decontextualized appeareance. Subjective violence is experienced as such against the background of a non-violent zero level”(Ibid.). Subjective violence adalah penampakan kekerasan yang telah terdekontekstualisasi.

Sementara itu, objective violence menurut Zizek adalah penampakan kekerasan an sich atau inheren yang menyokong kekerasan subjektif. “Objective violence is precisely the violence inherent to the normal state of things”(Ibid.).

Zizek membedakan dua bentuk objective violence yakni simbolic violence atau kekerasan simbolisyang terinkorporasi dalam bahasa kekuasaan dan bentuk-bentuknya yang direproduksi dalam percakapan sehari-hari dan systemic violence atau kekerasan sistemik yang merujuk pada efek-efek katastrofi dan struktural dari pelaksanaan suatu sistem ekonomi politik predatoris bernama kapitalisme neoliberal.

Menurut Zizek, objective violence adalah format kekerasan yang seringkali tidak terlihat secara kasat mata. “Objective violence is thus like the notorious dark matter of physics. It is purely objective, systemic and anonymous” (ibid., hlm. 13). Objective violence menjadi tidak terlihat karena dia menyokong pelbagai bentuk subjective violence, diproposalkan oleh suatu sistem ekonomi predatoris dan digarap oleh para “invincible agent” berisikan segelintir elite pengabdi kapitalisme neoliberal yang berkoalisi dengan konsiderasi kekuasaan politik.

Zizek menulis bahwa perhatian kita seringkali terpaut hanya pada kekerasan subjektif, yang tiada lain hanyalah tampilan permukaan dan abai untuk memeriksa kekerasan objektif. Padahal, kekerasan objektif itulah yang menyokong pelbagai bentuk kekerasan subjektif. “We’re talking here of the violence inherent in a system, the more subtle of coercion that sustains relation of domination and exploitation” (Ibid., p. 9).

Pengabaian ini sendiri menurut Zizek bukan tanpa alasan. Sebagaimana diakuinya juga, “my underlying promise is that there is something inherently mystifying direct confrontation with it” (Ibid., p. 3). Ada upaya-upaya sistemik untuk memistifikasi konfrontasi langsung subjek dengan penampakan kekerasan yang riil.

Menurut Zizek, mistifikasi itu menjadi sangat mungkin ketika modus-modus kekerasan objektif tersebut memiliki kolegialitas yang mendalam dengan ideologi kapitalisme neoliberal. “The notion of objective violence needs to be thoroughly historycised: it took on a new shape and boundary with capitalism” (Ibid., p. 14).

Kolegialitas senyap itu hadir melalui program multikulturalisme dan toleransi neoliberal. Dalam terminologi umumnya, strategi kebudayaan neoliberal itu terkonfirmasi lewat ekspansi rumusan nasihat-nasihat moral bertajuk political correctness (https://youtu.be/oozLotGygso). Sepintas lalu, proyek humanisme neoliberal itu terlihat sejuk dan mendamaikan. Ia mengajak kita untuk senantiasa merawat identitas partikular kita sambil sesekali melihat sambil lalu identitas orang lain. Para penganjur multikulturalisme neoliberal ini mendorong kita untuk senantiasa menempatkan soal-soal subjektif seperti identitas, keberagaman, dan persaudaran universal sebagai high priority cases. Ia mengajak kita untuk semakin peka dan menghabiskan banyak waktu untuk mengurusi korban intoleransi, membicarakan kemanusiaan universal, merawat identitas partikular, merayakan keberagaman, dan abai akan persoalan sesungguhnya yang melatari semua masalah itu.

Padahal, di balik nasihat moral yang kelihatannya sejuk dan adem itu, terselip narasi-narasi ideologis seperti positivisme identitas, narsisme budaya, dan supremasi modernitas. Para penganjur toleransi neoliberal yang tak ubahnya bandit-bandit berwajah malaikat ini menaruh empati dan perhatian yang besar pada korban-korban intoleransi, melabelinya sebagai bencana kemanusiaan luar biasa, menciptakan pelaku dan penjahat-penjahat boneka yang dituduh rasis dan radikal, menyerukan perdamaian sambil pada saat yang sama memproduksi ketakutan yang mengobok-obok nalar dan pikiran kita dengan meningkatkan efek horor yang menyertai kasus-kasus tersebut. Kelompok itu dapat kita jumpai bentuknya lewat jurnalisme media-media pro-kapitalis, agen-agen sosial, lembaga donor internasional, LSM-LSM bentukan kapitalis, dan negara-negara adidaya (Ibid., p.10).

Akhirnya, sasaran utama para penganjur toleransi neoliberal ini adalah memastikan kedigdayaan kapitalisme sambil membiarkan masyarakat senantiasa berseteru dalam konflik tanpa akhir. Sebagaimana disimpulkan Zizek dalam bukunya, Universal Exception (2007: 173), “koeksistensi hibrida dari aneka ragam dunia kehidupan yang berbeda-beda adalah tampilan luar belaka dari kebalikannya, yakni kehadiran kapitalisme secara masif sebagai sistem dunia yang universal. Inilah homogenisasi yang belum ada presedennya dalam dunia kontemporer”.

Secara sepintas, kita memang melihat kebangkitan atensi serta perayaan atas keberagaman dalam kehidupan manusia. Namun, gerakan ini ini bukanlah aksi yang punya kedaulatan otentik (Robet, 2010: 40). Di tengah perjuangan, berikut fragmentasi sosial yang jauh lebih parah itu, ada semacam kejahatan ontologis, yakni pembiaran terhadap homogenitas kapitalisme neoliberal sebagai sistem dunia yang utuh dan paripurna. Alih-alih berupaya untuk mengubah dunia, kita malah didorong untuk kembali ke dalam asketisme romantik dengan terlibat ke dalam bentuk-bentuk gugus seksualitas, estetika, identitas, serta pelbagai gugus subjektif lainnya. Ekses yang jauh lebih parah dari strategi kebudayaan neoliberal ini adalah kematian imajinasi dan daya refleksif kita akan akan kemungkinan hidup aman, damai, dan berkeadilan. Dalam konteks ini, termaktub imperatif esensial kapitalisme “we have to keep act and no time to reflect”. Kita didorong untuk senantiasa bertindak dan menyibukkan diri sambil kehilangan waktu untuk berpikir dan berefleksi. (Bersambung)

spot_img
TERKINI
BACA JUGA