Cerita tentang Kopi Arabika Eban di Lopo Kofe Kefamenanu

Kefamenanu, Ekorantt.com – Lopo Kofe merupakan salah satu tawaran menarik bagi penikmat kopi di kota Kefamenanu. Lopo Kofe menyediakan kopi asli dari Eban, salah satu daerah penghasil kopi di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang belum banyak diketahui publik.

Selain bercita-cita mempromosikan kopi asli Eban, Lopo Kofe juga dirancang sebagai tempat  diskusi dan melakukan berbagai aktivitas kreatif seperti menyajikan live music dan lain sebagainya.

Nama Lopo sendiri didasarkan pada kultur suku Dawan yang mendiami Kabupaten TTU. Seturut filosofi tradisionalnya, Lopo bisa dijadikan sebagai tempat bertemu dan membahas banyak hal penting.

Saat diwawancarai Ekorantt.com pada Rabu (18/09/2019), pemilik “Lopo Kofe Kefamenanu”, Roby Saunoah bercerita. Berbekal tekad yang kuat dan modal usaha yang pas-pasan, dirinya berani membuka usaha tersebut.

Roby memutuskan untuk menyiapkan kopi asli TTU di Lopo Kofe, disajikan dengan metode manual. Aneka menu di Lopo Kofe diseduh dengan peralatan sederhana, bermodalkan French Press, V60, grinder dan beberapa perlengkapan penunjangnya.

iklan

Lopo Kofe Kefamenanu terletak di Jl. El Tari, kilometer 4, Jurusan Kupang, Kelurahan Kefamenanu Selatan Kecamatan Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Tidak hanya bercerita tentang usahanya, Roby Saunoah juga bercerita tentang sejarah kopi di Timor khususnya TTU.

Menurutnya, sejak tahun 1980 mulai muncul ide pengembangan tanaman Kopi di Eban. Eban dianggap cocok karena suhu di daerah tersebut dingin dan sangat menunjang pertumbuhan tanaman kopi. Setelah ide itu dimatangkan, Dinas Pertanian Kabupaten TTU bersama Paulus Mau dari Desa Suanae, pergi ke Kabupaten Belu tepatnya di Desa Lakmaras untuk mencari bibit kopi.

“Pada tahun 1981, bibit kopi dari Desa Lakmaras mulai dikembangkan di daerah Eban khususnya di Desa Suanae. Sejak saat itu, tanaman kopi mulai dikembangkan di daerah TTU,” jelasnya.

Robby mengakui, perjalanan pengembangan tanaman kopi tidak selancar cita-cita awal. Masyarakat tidak mendapatkan penghasilan yang signifikan dari usaha kebun kopi. Akhirnya banyak tanaman kopi yang diganti dengan tanaman jeruk yang sempat menjadi top brand dari Eban. 

“Tanaman kopi tetap menyebar, tetapi tidak dirawat dengan serius mengingat harganya yang relatif murah. Kemudian, pada tahun 2016, masyarakat kembali tertarik untuk menjual kopi. Saya mencoba mengambil sampel kopi dari Tunbaba dan kopi dari Eban. Ternyata kopi Tunbaba berasal dari jenis robusta dan Kopi Eban dari jenis arabika. Dua jenis ini memiliki perbedaan dari sisi rasa dan tekstur buah. Kopi robusta Tunbaba terasa pahit dan kopi arabica Eban memiliki rasa yang lebih lembut, pahit,  dan asam,” jelasnya lebih lanjut.

Kopi Eban mendapat lebih banyak penikmat karena rasa kopinya yang tidak terlalu pahit, ada rasa asam yang lembut dan lebih cocok di lidah kebanyakkan penikmat kopi nusantara. 

Selain berjenis arabika, kopi Eban berada di ketinggian dengan iklim yang menunjang sehingga kopi Eban bertumbuh subur dan berbuah lebat. Produksi kopi Eban relatif banyak dan memenuhi kebutuhan pasar.

Untuk diketahui, kopi arabika hanya bisa berbuah di ketinggian minimal 600 MDPL. Daerah Eban rata-rata 1000 MDPL sehingga memungkinkan kopi arabika dapat tumbuh dan berbuah. 

“Sejak awal tahun 80-an kopi di tanam di Eban dan sejak saat itu petani kita belum dilatih pengolahan pasca panen. Saya mencoba mendekati petani dan memberi masukan demi peningkatan kualitas kopi”, ujar Roby.

Kopi arabika di Lopo Kofe dibeli dari masyarakat Eban. Sebelumnya petani menjual kopi dengan harga Rp.30.000/kg. Setelah diberi masukan, terjadi perubahan kualitas biji kopi. Dan tahun ini kopi-kopi dari Eban dijual dengan harga Rp.35.000/ kg. 

“Saya berharap kualitas biji kopi semakin baik dan kita bisa menjual lebih mahal lagi dan petani kita pun akan mendapat penghargaan atas jerih payah mereka,” ungkapnya.

Motivasi Robby Saunoah membangun Lopo Kofe mulai muncul pada tahun 2016. Waktu itu belum ada warung kopi yang secara khusus menyajikan kopi bagi penikmat kopi asli sehingga dirinya membulatkan tekad untuk membangun sebuah tempat yang secara khusus menjual kopi asli. 

“Saya bertekad tidak akan menjual kopi instan di warung saya. Saya melihat ada potensi di daerah kita. Kita punya kopi tetapi tidak pernah dikenal oleh orang lain. Hal ini karena kita sendiri tidak mengkonsumsi kopi asli dan juga tidak mempromosikan kopi dari tanah kita. Sebetulnya pilihan minum kopi asli lebih menyehatkan dibanding kopi instan. Kopi sehat bila diminum tanpa gula. Berbagai penelitian tentang itu sudah dilakukan dan bisa diakses di internet,” tandasnya.

Pengunjung Lopo Kofe berasal dari berbagai daerah, termasuk dari mancanegara, di antaranya Australia, Belanda, Amerika, Thailand, Vietnam dan masih banyak lagi. Sedangkan pengunjung dalam negeri sudah sangat familiar dengan nilai jual Rp. 8000,00 untuk setiap cangkir 200 ml.

“Kita juga sudah kirim kopi Eban ke beberapa daerah di Indonesia dan rata-rata semua suka,” ujarnya.

“Namun sayangnya kita orang TTU sendiri tidak terbiasa minum kopi asli. Sangat berbeda dengan daerah penghasil kopi lain seperti Bajawa, Manggarai, Sumba, Aceh, Toraja dan lainnya. Padahal penikmat kopi asli dari daerah sendiri akan sangat berpengaruh pada promosi kopi lokal,” ujar Robby.

Santos

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA