Salah satu hal yang mendapat perhatian besar dalam perayaan 50 tahun STFK Ledalero adalah keberaniannya melibatkan Waria dalam acara hiburan dan mendesain satu forum seminar mengenai Waria dalam rangkaian simposium internasional yang berlangsung selama tiga hari sejak tanggal 4-6 September 2019.
Banyak orang mengakui bahwa langkah yang ditempuh oleh STFK Ledalero adalah sesuatu yang sangat progresif.
Status STFK Ledalero sebagai salah satu institusi pendidikan Filsafat Katolik terbesar di dunia boleh jadi sangat kuat merepresentasikan penerimaan Gereja Katolik terhadap LGBT terutama kaum Waria.
Atau paling tidak, sikap yang berani tersebut bisa memunculkan kembali wacana mengenai penerimaan Waria dan LGBT pada umumnya ke dalam rangkulan bunda Gereja.
Secara dogmatis, pandangan Gereja Katolik tentang seksualitas bersifat heteronormatif. Gereja tidak mengakui adanya jenis kelamin di luar laki-laki dan perempuan. Gereja Katolik menganggap perilaku seksual manusia sebagai sesuatu yang suci, hampir penuh keilahian di dalam intisarinya ketika dilakukan secara benar.
Aktivitas seksual pada dasarnya merujuk dan ditujukan pada persatuan ilahi (relasi Trinitas dan relasi Kristus dengan Gereja) serta penerusan keturunan. Aktivitas seksual dilegalkan melalui sakramen perkawinan. Gereja juga memahami kebutuhan saling melengkapi antara jenis kelamin yang berbeda sebagai bagian dari rencana Allah. Tindakan-tindakan seksual di luar perkawinan yang menekankan relasi heterogen tidak sejalan dengan pola rancangan ini.
Banyak pemikir progresif Gereja Katolik yang merekomendasikan adanya penelusuran kembali dogma dan magisterium Gereja berdasarkan temuan-temuan ilmiah kontemporer mengenai gender dan seksualitas manusia. Lebih banyak yang menawarkan pertimbangan pastoral kontekstual, berhadapan dengan isu LGBT yang marak merebak di masyarakat akhir-akhir ini.
Tahun 2016, ketika Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) kala itu, Muhammad Nasir melontarkan pernyataan bahwa LGBT merusak moral bangsa, dua akademisi dan rohaniawan Katolik, Romo Magnis Suseno, SJ dan Romo Peter Aman OFM lebih dahulu angkat bicara.
Menurut Romo Magnis, polemik LGBT perlu dilihat dari dua sudut.
Di satu sisi, orientasi seksual tidak ditentukan oleh seseorang, tetapi hadir secara alami.
Di sisi lain, kaum LGBT harus pintar-pintar menempatkan diri di masyarakat yang memiliki sistem dan keyakinan kulturalnya sendiri.
Sementara itu, Romo Peter Aman menerangkan, sebagai suatu kondisi psikoseksual kaum LGBT tidak bisa diadili jahat atau dianggap melanggar susila, apalagi kondisi tersebut umumnya terjadi sebagai sesuatu yang terberi atau given. Hanya saja Gereja Katolik tidak mengizinkan pengesahan nikah LGBT karena bertentangan dengan hakikat perkawinan Katolik.
Terlepas dari aspek teologi dogmatik, Khanis Suvianita, peneliti Waria di Maumere sangat percaya bahwa agama pada dasarnya ramah terhadap Waria. Ia sangat optimis bahwa keberadaan agama yang begitu terbuka terhadap LGBT bisa mendorong dan membentuk sikap (religiositas) yang sama di kalangan umat beragama.
Gereja Katolik di Maumere sungguh membangun optimisme itu sejauh temuan-temuannya selama meneliti Waria di tempat ini. Meski demikian, ia tidak memungkiri bahwa konstruksi patriarki yang kental dalam budaya dan kesombongan intelektual dalam Gereja perlu dimurnikan secara terus menerus.
Frater Charys, mahasiswa tingkat V STFK Ledalero mengakui bahwa penerimaan Waria di STFK tidak lantas menjadi tanda bahwa semua orang di STFK Ledalero punya persepsi yang sama terhadap keberadaan mereka. Mereka boleh jadi diterima dalam ruang-ruang yang formal, tetapi belum tentu itu terjadi dalam ruang-ruang privat.
Meski demikian, Charys tetap optimis bahwa Ledalero telah menginisiasi sesuatu yang sangat bernilai bagi pengembangan teologi kontekstual dan visi option for the poor yang telah lama digaungkan oleh Gereja.
Di tengah polemik tentang LGBT, tahun 2013, Paus Fransiskus dinobatkan sebagai Man Of The Year oleh majalah The Advocate, salah satu majalah khusus kaum gay dan lesbian di Amerika Serikat.
Dalam sebuah wawancara dengan The Advocate, Paus Fransiskus pernah mengatakan, “If someone is gay and seeks the Lord with good will, who am I to judge?”
“Jika seorang gay datang kepada Tuhan dengan niat baik, siapakah saya sampai bisa menghakimi dia?”
Eka Putra Nggalu