Jakarta, Ekorantt.com – Wacana pengesahan Rancangan Undang Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) oleh DPR mendapat penolakan keras dari berbagai macam pihak. Alasannya, pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP itu dinilai mengandung sejumlah masalah dan bakal timbulkan kontroversi. Pasal itu antara lain berbicara tentang penghinaan Presiden, aborsi, persetubuhan di luar nikah, pencabulan sesama jenis, kecerobohan memelihara hewan, kumpul kebo, kaum gelandangan, delik pers, dan yang paling anyar dibicarakan, yakni ihwal tindak pidana korupsi.
Pada Kamis (19/9/2019), ribuan mahasiswa dari berbagai kampus datang berdemo di depan Gedung DPR/MPR untuk menolak pengesahan RUU KUHP juga revisi UU KPK. Dalil-dalil yang disampaikan oleh para mahasiswa itu mengatasnamakan kecideraan terhadap demokrasi, pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat juga kebijakan yang tidak pro penegakkan korupsi di Indonesia.
Di dunia maya, petisi ataupun imbauan untuk menentang RUU KUHP ini gencar dilakukan. Ada semacam awasan yang dilayangkan bahwa Indonesia akan kembali ke rezim Orde Baru yang mana negara menjadi otoriter dan pengatur tunggal kehidupan warganya. Tagar-tagar pun seruan untuk “Jangan Kembali ke Orba” pun menjadi topik tren yang didiskusikan. Bahkan, salah satu koran nasional, Tempo, memacak judul headline “Menolak Kembali ke Orde Baru” dalam menyikapi persoalan tersebut.
Ekora NTT sempat meminta pendapat generasi muda untuk berikan pendapat tentang masalah ini. Metildawati, salah seorang aktivis lulusan Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini, katakan bahwa RUU KUHP itu tidak jelas arahnya dan hanya memakai logika kepentingan penguasa dan segelintir orang tertentu. Berkaitan dengan pasal-pasal soal seksualitas misalnya, terlihat bahwa negara sangat mencampurbauri urusan privat warganya yang sebenarnya tak punya tendensi apa-apa bagi kepentingan publik.
“Negara bukan lembaga moral atau agama. Jadi, sebaiknya hal-hal semacam itu tidak usahlah diatur terlalu jauh. Ini bukan soal perlu tidak perlu, tapi bisa nggak mereka melihat isu-isu bangsa yang lebih luas. Zina diurus, korupsi dibiarkan, ini ‘kan lucu juga,” kata dia.
Ada juga Rahmat Muhmin, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, yang berpendapat bahwa RUU KUHP jangan sampai timbulkan banyak pasal karet yang sudah tentu dapat digunakan semena-mena oleh mereka yang memegang kuasa. Hukum dibuat oleh penguasa dan penguasalah yang punya wewenang untuk memampatkan produk-produk itu ke warganya. “Kita sebagai masyarakat ya hanya bisa siap menerima saja. Makanya, penolakan dari berbagai pihak itu tentu sangat wajar,” beber dia.
Informasi lain yang diperoleh Ekora NTT, dalam aksi demo di Jakarta itu, perwakilan mahasiswa sempat bertemu dengan Sekjen DPR dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut.
1. Aspirasi dari masyarakat Indonesia yang direpresentasikan mahasiswa akan disampaikan kepada pimpinan Dewan DPR RI dan seluruh anggota.
2. Sekjen DPR RI akan mengundang dan melibatkan seluruh mahasiswa yang hadir dalam pertemuan 19 September 2019, dosen atau akademisi serta masyarakat sipil untuk hadir dan berbicara di setiap perancangan UU lainnya yang belum disahkan.
3. Sekjen DPR menjanjikan akan menyampaikan keinginan mahasiswa untuk membuat pertemuan dalam hal penolakan revisi UU KPK dengan DPR penolakan revisi UU KPK dan RKUHP dengan DPR serta kepastian tanggal pertemuan sebelum tanggal 24 September 2019.
4. Sekjen DPR akan menyampaikan pesan mahasiswa kepada anggota Dewan untuk tidak mengesahkan RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Minerba dan RKUHP dalam kurun waktu empat hari ke depan (pascapertemuan, red-).