Menimba Nutrisi Toleransi dari Paud Ikan Kombong

Maumere, Ekorantt.com – “Daripada kita capai-capai cari nama, biar kasih nama Paud Ikan Kombong saja,” demikian ujar Lusia Pelinta Lewar (41), pengelola Pendidikan Anak Usia Dini (Paud) yang berada di Kampung Nelayan Buton, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka ini.

Nama Paud ini tergolong unik dan bikin orang penasaran. Rasa penasaran ini dijawab enteng oleh Lusia. “Nama ini lebih mudah diingat dan lebih terkenal ketimbang nama lain,” katanya singkat kepada Ekora NTT, pertengahan Maret 2019 lalu.

Nama ini memang merujuk pada nama Jalan Kombong yang persis berada di depan bangunan Paud yang juga sekaligus Tempat Pengajian Anak (TPA) ini. Ada juga kisah yang menyertainya.

Lusia bercerita, saat dirinya mengurus izin operasional pada tahun 2016 di Kantor Camat Alok, staf-staf kecamatan selalu menyapanya “Selamat datang ibu dari Ikan Kombong. Bagaimana ibu ikan kombong, ada urusan ka”. Ia hanya meresponnya dengan senyum simpul seraya mengamininya.

Sapaan seperti ini spontan saja keluar dari mulut ‘orang-orang kecamatan’ setiap kali Lusia memunculkan batang hidungnya di kantor kecamatan.

“Ya sudah, kita kasih nama Paud Ikan Kombong saja,” ujarnya.

Begitulah sebuah nama. Kadang-kadang, butuh refleksi mendalam untuk menemukannya. Tapi acapkali memberi nama pada sesuatu itu lahir dari hal-hal remeh temeh yang tidak disangka sebelumnya.

Nama Ikan Kombong boleh didapatkan dengan gampang, tapi tidak demikian perjuangan di baliknya. Lusia menyadari itu. Perempuan yang memilih hidup tak bersuami ini merasakan betapa sakitnya melahirkan dan merawat Paud Ikan Kombong

“Tidak gampang. Ada keringat yang harus dikeluarkan,” ucap Lusia memulai cerita.

Ikan Kombong, kata Lusia, awalnya bergabung dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Kampung Garam. Pada tahun 2015,  melalui Musrembang, diputuskan agar Paud ini berdiri sendiri. Lusia dan beberapa temannya sangat antusias dan bergegas untuk memulai kegiatan belajar bagi anak-anak usia dini.

“Pusat kegiatan belajarnya, kami pakai ruangan SD Sinde Kabor yang lama di Kota Uneng,” kata Lusia.

Fasilitas di sekolah sangat terbatas. Belum banyak media pembelajaran dan permainan anak-anak yang tersedia. Tapi semangat menggebu-gebu.

Semangat itu juga yang mendorong Lusia dan beberapa temannya untuk mengurus izin operaional Paud supaya diakui pemerintah. Urusan di kecamatan berjalan mulus.

“Salah satu persyaratannya adalah adanya tempat pusat kegiatan belajar. Di situlah masalahnya,” lanjut Lusia.

Saat tim survei datang ke SD Sinde Kabor yang lama, tiba-tiba ada orang yang datang mengaku sebagai tuan tanah. Ia mencekal dan meminta untuk tidak memberikan izin operasionalnya.

“Menurutnya, tanah itu milik pribadi. Padahal yang kami tahu, tempat itu bekas SD Sinde Kabor yang bekas gempa itu,” kata Lusia.

Lusia sangat kecewa. Niat berbuat baik untuk anak-anak didik tapi dihalangi. Hatinya seperti diiris-iris. Tapi, itu tidak menjadi alasannya untuk mundur. 

Ia lalu mencari jalan keluar. Menurutnya, mencerdaskan anak bangsa bukan hanya urusan pribadinya. Ini masalah bersama. Masyarakat harus tahu masalah ini. Harapannya, setelah tahu, ada jalan keluar yang bisa digagas.

“Saya pun menyerahkan masalah itu ke masyarakat dan orang tua murid. Kami berembuk. Disepakati untuk pakai Tempat Pengajian Anak. Paginya kami pakai, baru sore dipakai untuk mengaji,” ucapnya.

Usman Efendi, selaku tokoh masyarakat setempat, yang memberikan tumpangan bagi kelancaran kegiatan operasional Paud Ikan Kombong. Tempat pengajian Anak miliknya digunakan untuk kegiatan Paud ini.

Dengan cara demikian, jalan untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah terbuka lebar. Kendala yang mengganjal bisa diatasi. Dan ketika tim survei turun untuk mengecek gedung Paud, Lusia mengarahkan mereka ke tempat TPA kepunyaan Pak Efendi.

“Setelah tim survei cek lokasinya, mereka pulang dan izin operasionalnya keluar pada bulan Agustus 2016,” kata Lusia.

Paud ikan kombong pun mulai menjalankan kegiatannya dengan normal sambil berbenah yang kurang di sana sini.

Guru dan siswa-siswi Paud Ikan Kombong

Relawan

Memulai kegiatan belajar mengajar dengan empat staf pengajar, Paud Ikan Kombong mendidik anak-anak dengan semangat sukarelawan.

Tapi dalam perjalanan waktu, dua staf pengajar tak sanggup dan memilih untuk mengundurkan diri. Honor yang kecil jadi salah satu alasannya. Tersisa Lusia dan Rini  Fatmawati (28) yang masih betah dengan keadaan ini.  

Menyinggung tentang honor yang diterima tiap bulan Lusia dan Rini hanya tersenyum. “Meskipun imbalan kecil saya sangat bahagia untuk mencerdaskan tunas-tunas muda harapan bangsa ini sejak dini dengan kemampuan yang saya memiliki,” kata Lusia.

“Kami guru-guru insentifnya tidak besar. Kadang kalau orang tua membayar, ya kami terima. Kalau tidak, kami iklaskan saja,” tambahnya.

Sejauh ini, kata Lusia, staf pengajar mendapatkan imbalan gaji dari komite orang tua murid. Selain itu, ada juga bantuan operasional sekolah yang didapatkan setiap tahun dari dinas pendidikan kabupaten.

Belajar Toleransi

Saat warga kampung Nelayan Buton mempercayakan Lusia untuk mengelola Paud Ikan Kombong, ia sempat ragu-ragu. Ia tidak yakin dengan dirinya sendiri.

Apalagi ia seorang katolik dan harus memimpin Paud yang sebagian besar anak didiknya adalah anak-anak muslim. “Ada 27 anak didik. 23 anak-anak Muslim. Dan ada 4 anak Kristen,” ujar Lusia.  

“Pertama-tama saya menolak untuk menjadi pimpinan Paud di Ikan Kombong ini tetapi warga setempat iklas dan sangat mendukung. Apalagi kegiatan Paud meminjam gedung Taman Pengajian Anak Al- Mu’Minin. Pagi hari kegiatan anak-anak paud dan pengajiannya di sore hari,” tambah tamatan SMAK Sint. Gabriel tahun 1998 ini.

Ia sempat merasa seperti tidak diterima. Rupanya hal itu hanya perasaannya saja.

Lusia belajar dari lingkungan sekitar yang sangat menghargai satu sama lain. Tolerasinya baik. Walaupun berbeda suku, ras dan agama, masyarakat di Kampung Buton hidup berdampingan dengan ramah.

Model pergaulan seperti inilah yang menguatkan Lusia. “Kita di sini hidup baik. Kalau ada kegiatan perarakan patung, remaja masjid ikut berbaur. Begitu juga kalau saudara-saudara kita yang muslim ada acara, kita juga terlibat,” kata Lusia.

Tingginya toleransi beragama di kampung Buton ini lanjut Lusia membuat dirinya aman membimbing anak-anak Paud. Bahkan, orang tua murid sudah sangat mencintai Lusia.

Bukanlah perkara yang gampang untuk mendidik anak-anak yang masih kecil. Butuh kesabaran tingkat tinggi. Rini  Fatmawati (28), berusaha memberikan materi pelajaran yang pendekatan yang khas untuk anak-anak.

Rini menceritakan, mendidik anak usia dini butuh banyak pendekatan. Tidak boleh terpaku pada satu pendekatan. Dan yang paling penting adalah kesabaran dan ketabahan berhadapan dengan kelakuan anak-anak didik.

“Ada kalanya kita lelucon. Tapi kita juga harus serius. Usahakan supaya mereka saling menghormati. Hormat kepada guru juga saling hormat di antara mereka,” kata Rini.

Hal yang unik di Paud Ikan Kombong, anak-anak dibekali dan disuapi nutrisi tolerasi yang baik. Bagi Rini, toleransi harus diajarkan sejak dini kepada anak-anak.

Tidak hanya diajarkan, toleransi juga harus dihidupi dan diwujudnyatakan mulai dari pergaulan anak-anak kecil. Bukan juga melalui hal-hal yang besar, toleransi itu dimulai dari hal-hal yang sederhana.

“Pikiran harus luas sejak dini supaya tidak ada saling curiga. Tidak ada prasangka buruk bahwa agama ini begini dan agama itu begitu,” beber Rini.

Karena itu di dalam kelas, anak-anak dilatih untuk saling menerima perbedaan. Misalnya cara berdoa yang berbeda dan  memberi salam kepada sesama teman yang merayakan hari raya keagamaannya.

“Kita ajarkan supaya tidak boleh beda-bedakan karena agama berbeda. Di luar sekolah anak-anak harus bermain bersama-sama. Kita latih mereka untuk saling bertamu tanpa pandang bulu. Pokoknya bergaul bebas saja,” tandas Rini.

Rini percaya, pelajaran toleransi yang diajarkan kepada anak-anak usia dini punya manfaat pada masa mendatang. Hal ini menjadi semacam bekal yang berarti dalam pergaulan sosial kemasyarakat.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA