Bersahabat dengan Anak

Oleh: Bernardus Tube Beding*

Anak Indonesia dalam pasungan kekerasan. Pernyataan ini tampaknya cukup tepat menggambarkan kondisi kekinian. Tanpa memungkiri bahwa realitas tidak jarang menampilkan berbagai wujud kekerasan dan kebencian orang tua terhadap anak-anaknya. Misalnya, kebiasaan verbal orang tua membentak dan nonverbal memukul ketika anak melawan perintahnya.

Adalah YBO (3) dan ABD (2) meregang nyawa di tangan ayah mereka sendiri APJ (25), 4 Agustus 2020 di Desa Balaweling Niten, Kecamatan Witihama, Adonara, Kabupaten Flores timur. APJ dengan tega membunuh darah dagingnya sendiri.

Mandataris Tuhan

Dalam konteks pengasuhan, tanggung jawab orang tua adalah melindungi anak. Orang tua adalah benteng pertama dan terakhir dalam proses pendewaaan anak. Anak pun hadir sebagai tanggung jawab utama.

Anak tidak bisa memilih orangtuanya siapa. Takdir anak inilah yang kemudian menjadikan orang tua sebagai mandataris Tuhan. Tuhan telah memilih orang tua untuk memelihara, memenuhi kebutuhan, dan memanggul tanggung jawab moral mengantarkannya menjadi sosok yang hebat dan bermanfaat.

Jadi, seorang anak bukan sekadar generasi kedua bagi orang tua. Ia merupakan manifestasi cinta kasih Tuhan agar kehidupan manusia terus lestari. Oleh karena itu, dalam keadaan apa pun anak harus dilindungi orang tuanya. Tidak ada alasan orang tua menolak melindungi anak.

Pasalnya, saat ia menolak dan tidak melakukan kegiatan pemanusiaan, berarti ia telah ‘ingkar’ terhadap amanat Tuhan.

Pengingkaran itu menjadi bukti ketidaktaatan sekaligus ketidaksyukuran orangtua terhadap nikmat yang besar itu. Tentu, kita mafhum, betapa banyak orang yang telah menikah berpuluh tahun tidak kunjung mendapat amanat itu.

Hubungan Mesrah

Dalam konteks yang sama, kesiapan menjadi orang tua sangatlah penting. Pasangan suami-istri perlu belajar cepat untuk ‘menjadi orangtua’. Proses pembelajaran itu tidak dalam bangku sekolah.

Pasalnya, tidak ada sekolah calon orang tua. Oleh karena itu, proses pembinaan, penyuluhan, dan pendidikan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi penting. KUA dan atau lembaga agama mengemban tugas mulia ‘mendidik’ orangtua menjadi calon ayah dan ibu yang baik.

Melalui pendidikan yang memadai, setiap orang dapat saling ‘mengawasi’. Masyarakat akan lebih mudah mendeteksi jika anggota masyarakatnya mengalami gangguan jiwa yang membahayakan generasi penerus (anak). Kesigapan ini terbangun oleh hubungan yang erat dan mesrah antar-anggota masyarakat.

Mereka semua menyadari bahwa anak bukan sekadar ‘barang kecil’. Anak merupakan aset bangsa dan negara. Anak adalah potret kepemimpinan masa depan sebuah peradaban.

Mengingat hal terebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengutuk tindakan kriminal yang dilakukan oleh APJ, yang tega membunuh dua anaknya sendiri dengan sadis. Tindakan tersebut adalah biadab, menistakan kehormatan kemanuiaan.

Ayah  Humanis

Perilaku APJ selayaknya menjadi perhatian pihak keamanan, dan penegak hukum. Keberadaan seorang ayah di tengah keluarga sebenarnya harus menjadi figur atau tokoh yang humanis.

Pihak gereja, khusunya komisi keluarga seharusnya bertindak cepat menjadikan orangtua sebagai sahabat bagi keluarga dan masyarakat. Ayah yang humanis, bukan bercorak otoriter, apalagi militeristik harus menjadi jawaban atas banyaknya tugas komisi keluarga dalam gereja.

Komisi keluarga tidak hanya sekadar mengagendakan program-program kreatif-produktif bagi keluarga-keluarga, tetapi perlu ‘hadir’ di tengah keluarga untuk mendengarkan seluruh curahan hati setiap keluarga.

Barangkali tindakan APJ sebagai gambaran bahwa tugas seorang ayah di zaman ini terlalu berat, sehingga menjadikannya mudah frustrasi dan melakukan tindakan amoral.

Tentu, perlu ada program “Bersahabat dengan Anak” untuk membantu orang tua memiliki banyak waktu bagi anak-anak dan lebih dekat dengan keluarga. Jika seorang ayah dekat dan hangat terhadap keluarga, maka ia akan mampu bersinergi dan bertindak berama masyarakat.

Compassion

Lebih lanjut, kasus yang menimpa APJ selayaknya menjadi pelajaran penting bagi masyarakat. Seorang ayah pun dapat melakukan tindakan brutal kepada anak saat ia tidak mampu mengendalikan diri. Artinya, kasus itu pun semakin menguatkan temuan bahwa kekerasan terhadap anak lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat (keluarga). Mengembangkan sikap compassion antar-anggota keluarga menjadi jawaban di tengah semakin peliknya persoalan hidup.

Akhirnya, apa pun profesi Anda, predikat yang Anda sandang, mari menjadi pelindung dan pengemban amanat Tuhan yang baik, yaitu bersahabat dengan anak. Bersahabat dengan anak merupakan perwujudan cinta kasih atas karunia Tuhan bagi bangsa dan negara.

Barangkali hal pertama yang perlu dilakukan adalah menjadi sahabat bagi pasangan masing-masing. Bersahabat dengan pasangan akan mempermudah keluarga untuk mendiskusikan, memadukan, dan mencari solusi.

Sudah saatnya kita semua berani bertindak tegas, mengubah cara pendidikan anak-anak yang penuh ajaran kekerasan, baik dalam pendidikan formal, nonformal, maupun informal.

*Pegiat Literasi dan Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA