Kisah Petani Kelapa Bertahan Kala Pandemi Covid-19

Maumere, Ekorantt.com – Nifensius, Anselmia Kie, Katarina Ndora, Simplisus Goit, Jhon Abeng, Tarsius Wae, Benyamin Koban dan Yosef Lambrai, petani kelapa asal Kabupaten Sikka tak pernah menyangka bahwa efek pandemi Covid-19 akhirnya menghantam pendapatan mereka.

Harga komoditi seperti kopra dan kakao yang merosot tajam membuat mereka pasrah. Harga kopra terjun bebas hingga Rp 4000/kg. Padahal, sebelumnya harga kopra berkisar di angka Rp 8000/kg. Tahun 2017 lalu harga kopra bahkan melambung sampai pada Rp 19.000/kg.

Efek pandemi membuat para petani ini bahkan sempat berpikir jalan satu-satunya agar bisa bertahan adalah cukup makan ubi, pisang dan aneka pangan lokal pada pagi dan malam hari. Sedangkan untuk makan nasi cukup siang hari. Uang sekolah berupa iuran komite, biaya kost dan pulsa data untuk anak-anak untuk pendidikan anak-anak mereka pasrah saja.

Dalam kebingungan tak pasti, Yosef Lambrai dan Benyamin Koban dikunjungi oleh Petrus Lebi Kilok, sama-sama berprofesi sebagai petani, Petrus lebih beruntung karena ia adalah seorang staf lapangan dari KSP Kopdit Pintu Air. Kopdit dengan jumlah anggota terbanyak se-Indonesia ini ternyata sejak 2019 telah merintis usaha sektor riil berupa pembelian minyak kelapa mentah (Crude Coconut Oil).

Yosef dan Benyamin lalu diajak oleh Petrus Lebi Kilok untuk tidak panik karena masih punya kelapa di kebun.

iklan

“Saya bilang tidak usah terlalu panik to. Kita punya kelapa jadi kita masak minyak terus jual ke Pintu Air,” kata Petrus kepada dua sahabat taninya itu.

Tanaman kelapa tumbuh merata pada 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Sikka. Kelapa memang jadi komoditi primadona bagi para petani di samping komoditi lainnya. Sayangnya selepas Maret 2020, ketika pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia, harga komoditi kopra di Sikka terjun bebas.

Menukil data tim Ekora NTT, sejak harga kopra turun drastis, pilihan warga di daratan Flores umumnya adalah dengan menjual buah kelapa secara gelondongan.

Harga satu ulu/subur, (warga kabupaten Sikka menyebutnya dengan ulu dan juga subur untuk ukuran 40 buah kelapa gelondongan) berkisar dari Rp60.000ribu-Rp100.000. Harga ini bervariasi karena pemerintah kabupaten tampaknya belum sepenuhnya mengatur para tengkulak yang bermain bebas di lapangan. Ada pengepul yang bahkan membeli dengan harga satu subur dengan Rp50.000 saja.

“Mending kami jual kelapa bulat saja daripada kerja kopra Pak,” kata Silvianus salah seorang petani serabutan yang punya kelapa kurang lebih 80 pohon di kebunnya.

Di Kabupaten Sikka sendiri, hampir setiap Minggu ada 34 truk fuso yang mengangkut buah kelapa gelondongan menuju Surabaya. Satu truk fuso ada sekitar 10.000 buah kelapa. Dalam seminggu saja total buah kelapa gelondongan milik warga Kabupaten Sikka yang diangkut ke luar sekitar 340.000 buah jika dikalikan dengan 34 truk fuso yang muat kelapa gelondongan tersebut. Jika dikalkulasikan dalam sebulan, maka total buah gelondongan kelapa yang diangkut ke luar berkisar 1.360.000 buah kelapa.

Ketua KSP Kopdit Pintu Air, Yakobus Jano bersama jajaran pengurus, managemen dan pengawas sudah sejak tahun 2019 merintis usaha sektor riil yang bergerak pada pengolahan minyak kelapa mentah menjadi minyak kelapa murni dengan label ‘Minyak Kelapa Pintu Air’.

Usaha sektor riil ini menurut Jano, sebenarnya sudah jauh terlebih dahulu dipikirkan sebelum adanya kebijakan baru dari Kementerian Koperasi dan UMKM tentang spin off (pemekaran/pembagian). Kebijakan spin off menjadi pelecut bagi Pintu Air untuk sungguh-sungguh bergerak pada usaha sektor riil.

“Sekitar tahun 1999 kami memulai dengan kios sembako dan jadi agen pupuk untuk membantu petani, tapi itu kecil-kecil saja. Hingga pada tahun 2019 itu kami mulai secara serius berpikir untuk mengembangkan sektor riil yang sejatinya dapat membantu anggota kami yang mayoritas anggotanya adalah kelompok tani, nelayan, buru dan ternak,” kata Jano.

Potensi kelapa di Pulau Flores, jelas Jano, lumayan menjanjikan. Hal ini membuka peluang bagi Pintu Air untuk mengembangkannya. Anggota diminta untuk mengolah minyak kelapa mentah, yang selanjutnya diolah menjadi minyak kelapa denganbrand  Minyak Kelapa Pintu Air.

Jano berkeyakinan bahwa usaha koperasi kredit yang selama ini hanya bergerak pada simpan pinjam dengan sendirinya akan memacu peningkatan ekonomi lokal dari anggota koperasi jika ada sektor riil.

Sejak tahun 2019, Pintu Air membeli minyak kelapa dari para petani yang adalah anggota Pintu Air dengan harga Rp12.000/kilogram. Upaya awal sektor riil ini ternyata belum sepenuhnya menarik minat anggota. Salah satu alasannya, petani punya banyak pilihan.

Selain membuat kopra ada juga yang menjual secara gelondongan dengan harga 1 subur/ulu (1subur/ulu=40 buah) berkisar Rp60.000 sampai dengan Rp75.000. Ketika pandemi Covid-19 melanda, harga minyak kelapa mentah yang dibeli dari petani naik menjadi Rp14.500 per kilogram. Sementara harga kelapa gelondongan tetap bervariasi. Ada pengepul yang nekat membeli dengan harga 1 subur Rp100.000, ada yang Rp50.000, Rp60.000 sampai dengan Rp90.000.

Bukan Sekadar Komoditas

Manajer Rumah Produksi Minyak Kelapa Pintu Air, Angelinus Nong Alberto  mengemukakan, upaya Pintu Air menggarap sektor riil minyak kelapa bukan soal komoditas semata. Lebih dari itu, langkah tersebut adalah bagian dari melestarikan warisan leluhur berupa tanaman kelapa dengan segala produk turunannya.

“Kelapa itu bagi orang Flores, secara khusus warga Kabupaten Sikka kelapa adalah simbol kesejahteraan. Ia adalah warisan leluhur untuk dijaga, dirawat dan dihidupi. Jadi ketika Pintu Air masuk dalam usaha sektor riil pembuatan minyak kelapa sebenarnya Pintu Air ikut dalam upaya agar segenap anggotanya yang sebagian besar adalah petani wajib sejahtera dengan kelapa yang tumbuh di kebun-kebun warga,” tutur Berno, sapaan dari Angelinus Nong Alberto.

Berno melanjutkan, sejak beroperasi pada 2019 lalu, Rumah Produksi Minyak Kelapa Pintu Air telah memberikan akses kepada sekitar 5.096 petani untuk memasak minyak kelapa dan menjualnya kepada Pintu Air.

Sepanjang tahun 2019 hingga 2020, total petani yang telah mengakses informasi soal sektor riil dan mulai memasak minyak kelapa dan menjualnya ke Pintu Air ada sekitar 112 petani. Dari 112 petani ini yang serius dan tekun memasak minyak kelapa, berdasarkan data lapangan yang ditemui sampai dengan September 2020, turun menjadi 51 petani. Total 51 petani inilah yang setia memasak minyak kelapa mentah dan menjualnya ke Pintu Air.

Dalam catatan Berno dan timnya, sampai dengan peluncuran Minyak Kelapa Pintu Air pada 28 Oktober 2020 lalu terdapat 15 ton minyak kelapa yang sudah dihasilkan oleh Rumah Produksi Minyak Kelapa Pintu Air.

Berno menjelaskan, masih banyak petani yang memilih menjual kelapa secara gelondongan kepada tengkulak atau pengepul. Dari segi keuntungan dan manfaat yang diperoleh, seharusnya petani kelapa lebih untung ketika menjualnya dalam bentuk minyak kelapa mentah.

Jika dibikin perbandingan keuntungan, dari setiap 1 subur/ulu (40 butir kelapa) bentuk kopra, gelondongan maupun minyak kelapa dengan biaya Rp25.000. Setiap subur/ulu kelapa menghasilkan 9 kilogram kopra dengan harga jual Rp34.200. Apabila dijual gelondongan maka setiap subur dihargai Rp50.000.

Sedangkan apabila dijadikan minyak kelapa maka akan menghasilkan 12 kilogram minyak kelapa seharga Rp51.600 dan 17 kilogram ampas kelapa, sabut, dan air fermentasi seharga Rp85.000. Itu berarti dari setiap subur/ulu, petani yang menjual dalam bentuk kopra mendapat keuntungan Rp9.200, gelondongan Rp25.000, dan dalam bentuk minyak kelapa Rp111.600.

Selepas peluncuran, ketika Berno dan tim minyaknya terjun ke lapangan terjadi kenaikan jumlah petani yang memasak minyak.Dari yang sebelumnya 51 petani, kini terus beranjak naik menjadi 120 petani pada Desember 2020. Pada Januari 2021, total ada sekitar 80-100 pemasak minyak kelapa mentah.

Sejak Januari 2021, Rumah Produksi Minyak Kelapa Pintu Air menaikkan harga beli minyak kelapa mentah dari Rp14.500 per kilogram menjadi Rp 18.000 per kilogram.

Berkah di Tengah Pandemi

Langkah Pintu Air menggarap sektor riil minyak kelapa ternyata memberi berkah bagi petani. Petani kelapa, Tarsisius Wae menuturkan, dirinya setia memasak minyak kelapa mentah sejak 2019 lalu.

Tarsisius mengakui kebijakan Pintu Air sangat membantunya. Kebutuhan ekonomi rumah tangganya terjamin. Sebelum Covid-19 melanda, dirinya bahkan sampai menjual 200 kilogram minyak kelapa mentah. Sejak Covid-19, ia menjual pada level berkisar 70-80 kilogram setiap minggu.

“Saya senang karena selama pandemi, orang lain mungkin susah pegang uang tapi saya bisa pegang uang merah (sebutan untuk uang senilai Rp100.000) hanya dengan menjual minyak kelapa,” ujarnya.

Tarsisius merasa lebih untung masak minyak daripada membuat kopra dan jual gelondongan. Kebetulan dirinya beternak 12 ekor babi.

“Pakan babi yang bagus juga adalah ampas kelapa itu. Jadi ya hitung-hitung saya bisa investasi juga dari pelihara ternak babi itu,” imbuhnya.

Hal senada dialami Yosef Lambrai. Sejak Covid-19 melanda, ia masih bisa berharap banyak pada Pintu Air.

“Saya pegang uang hanya dengan masak minyak kelapa. Saya senang sekali karena kebutuhan makan dalam rumah aman. Kami masih bisa beli pulsa data untuk kebutuhan belajar anak-anak lewat hp dan juga bisa simpan untuk jaga-jaga saja to pak, kalau ada kebutuhan mendadak,” ujarnya dengan mantap.

Lain lagi cerita Silvinus, Alfonsus Todang, dan Oktavianus Risto. Tiga petani ini merasa lebih gampang menjual kelapa gelondongan kepada pengepul.

“Daripada capai-capai kerja kopra dan masak minyak kami memilih jual bulat saja pak. Dapat uang lebih cepat,” ujar Oktavianus.

Tim Rumah Produksi Minyak Kelapa Pintu Air memasarkan Minyak Kelapa Pintu Air dari pasar ke pasar

Edukasi

Dalam catatan Rumah Produksi Minyak Kelapa Pintu Air, ada sekitar 80-100 petani kelapa yang sudah benar-benar menikmati manfaat dari usaha sektor riil Pintu Air. Jumlah ini, menurut Berno, masih terbilang sedikit dari total 280-an ribu anggota Pintu Air yang tersebar di seluruh Indonesia.

Menukil data Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, ada sekitar 29.462 kepala keluarga petani kelapa di Sikka (lihat tabel), karena itu, mengedukasi anggota adalah hal yang wajib dan mutlak untuk terus dikerjakan. Pasca anjloknya harga kopra para petani lalu beralih menjual kelapa secara gelondongan.

“Saat ini tantangan terbesar adalah karena petani masih mau menjual kelapanya secara gelondongan kepada pengepul untuk dibawa ke luar Flores. Ini problem yang besar sebenarnya karena petani selain mau cari gampang dan cepat juga karena tidak punya akses ke jaringan pasar,” ujar Berno.

Adanya bantuan sosial dari Pemerintah pusat hingga kabupaten kepada para petani menurut Berno musti diikuti dengan edukasi terus-menerus. Kadang karena mau gampang saja petani berpikir gampang.

“Jual kelapa gelondongan dengan harga miring juga tidak apa-apa, kan bulan depan dapat BLT dan sebagainya to,” ujar Berno menirukan apa yang sering disampaikan oleh para petani kelapa.

Berkaitan dengan data penerima Bantuan Sosial di kabupaten Sikka pada tahun 2020 ada sekitar 40.614 KK. Data dari Dinsos Kabupaten Sikka yang dihimpun Ekora NTT ada 11.020 KK penerima BLT dari Bansos Kemensos.

Total alokasi dana untuk kabupaten Sikka sebesar Rp19 miliar lebih dan masing-masing KK penerima sebesar Rp1.800.000. Sedangkan alokasi Bantuan Langsung Tunai dari Pemkab Sikka sebesar Rp3.395.700.000. Dana ini dialokasikan untuk 3.773 KK dan masing-masing KK menerima Rp 900.000.

Pembuatan minyak kelapa mentah

Dana Bansos dari Pemerintah Provinsi NTT berupa Bantuan Non Tunai (BNT). Dalam bantuan ini dibagi dalam dua kelompok penerima yakni; Pertama Kelompok Non PHK sebanyak 4.887 KK dengan jenis bantuan berupa beras sebanyak 60 kg dan uang Rp 300.000. Kedua, Kelompok KK yang terdampak PHK, ada 270 KK penerima bantuan berupa 60 kg beras dan uang sebesar Rp 300.000.

Sedangkan Bansos dari Kemendesa alokasi untuk Kabupaten Sikka sebesar Rp 69.778.500.000. Dana ini dialokasikan untuk 20.664 KK. Masing-masing KK menerima Rp 600.000/bulan pada tahap 1 dari April-Mei. Pada Juli-Desember masing-masing KK merima Rp 300.000/bulan.

Alokasi dana Bansos ini paling besar didominasi oleh Kepala Keluarga yang bermata-pencaharian sebagai petani. Total petani kelapa di Sikka yang mencapai 29.462 KK masuk dalam daftar penerima bansos.

Jika dikalkulasikan secara kasar saja dengan jumlah KK petani kelapa yang besar ini ternyata yang memasak minyak dan menjualnya kepada Koperasi Pintu Air baru mentok pada 80-100 petani kelapa. Sejak harga kopra mulai anjlok pada Maret 2020 para petani kelapa masih menjualnya secara gelondongan kepada para pengepul.

Alokasi dana dari Kemendesa ini menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, (DPMD) Kabupaten Sikka, Fitrinita Kristiani ada 37 desa di Sikka yang tidak bisa realisasi secara penuh selama sembilan bulan karena Dana Desa tidak cukup.

Berkaitan dengan adanya sektor swasta yang menggerakan sektor riil seperti Koperasi Pintu Air, Fitri mengapresiasi kebijakan dari Pintu Air.

“Masyarakat atau warga kita tidak bisa tunggu bantuan terus Pak. Kita punya warga yang ada pohon kelapa kita anjurkan untuk sebaiknya ikut dalam program sektor riil dari Pintu Air itu agar bisa membantu ekonomi rumah tangga selama pandemik ini. Langkah dari Pintu Air untuk menolong petani itu sudah bagus sekali dan kita wajib beri apresiasi,” ujar Fitri.

Bantuan ini, tambah Berno, seharusnya melecutkan juga para petani secara khusus petani kelapa se-daratan Flores-NTT dengan memanfaatkannya sebagai modal untuk usaha kecil-kecilan atau usaha secara kelompok. Salah satunya dengan memulai usaha memasak minyak kelapa mentah dan menjualnya ke Pintu Air

Berno pun berjanji akan terus mengampanyekan gerakan memasak minyak kelapa kepada warga dan menjualnya kepada Pintu Air. Dengan harga Rp 18.000/kg minyak kelapa mentah sejak Januari 2021 ini harapannya semakin banyak warga yang mau beralih untuk memasak minyak kelapa.

Note: Artikel ini merupakan karya akhir dari Program Data Journalism Grants “Kebijakan dan Penanganan Covid-19 Beserta Dampaknya” difasilitasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

TERKINI
BACA JUGA