Kupang, Ekorantt.com – Prof. Simon, begitu orang biasa menyapa guru besar di Univesitas Nusa Cendana, Simon Sabon Ola. Pria yang dari Desa Lamawolo, Kecamatan Ileboleng, Kabupaten Flores Timur ini tak pernah berpikir akan berprofesi sebagai dosen, apalagi menyandang gelar profesor. Sebab, ia hanya anak yang terlahir dari rahim kesederhanaan.
“Jangankan jadi dosen, jadi guru pun saya tidak pernah pikir. Saya anak petani miskin dari Adonara. Kampung saya Lamawolo di Kecamatan Ileboleng itu jauh dari sekolah,” kisah Simon kepada Ekora NTT di kediamannya, di Kelurahan Manulai II, Kota Kupang pertengahan Agustus 2021 lalu.
Ia menuturkan pada tahun 1970-an akses jalan di kampung halamannya belum ada. Tiap hari jalan kaki. Kadang naik kuda. Melintasi beberapa kali tanpa jembatan. Saat hujan tiba, mereka terpaksa panjat pohon. Melewati dahan agar bisa menuju seberang kali. Bila tidak, bisa terseret arus kali.
“Seluruh peralatan sekolah basah. Sehabis tamat SD, mau cari SMP untuk sekolah saja susah, bagaimana mau bisa berpikir sebagai seorang dosen?” katanya.
Perjalanan hidup Simon, penuh suka duka. Seusai tamat Sekolah Dasar ia terpaksa harus berpisah dengan orang tua dan keluarganya, lantaran harus melanjutkan sekolah ke tingkat SMP di kampung lain.
Kala itu, sekolah setingkat SMP hanya satu yakni SMP PGRI Gelekat Lewo. Sekolah tersebut belum memiliki gedung. Ini membuat Simon dan teman-temannya mengikuti proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah secara nomaden.
“Pada tahun 70-an ada program rumah murah dari pemerintah pusat. Sebelum ditempati warga kami manfaatkan sementara sekolah di situ. Sesudah itu, orang-orang kampung dari gunung semua turun menempati rumah-rumah ini, termasuk rumah yang kami gunakan untuk sekolah. Kita sekolah di mana? Jadi kita pindah sekolah di rumah bekas kapela,” ujarnya.
Kapela itu dindingnya sudah dibongkar. Pun sebagian atapnya. Ada yang sudah roboh. Di bagian lain dijadikan tempat ikat kambing warga. Kandang kambing dan ruang sekolah hanya dipisahkan dengan sebuah papan tulis.
“Jadi, kami sekolah itu bersebelahan dengan kandang kambing. Orang bilang sekolah kandang kambing. Lebih banyak susahnya,” kenangnya.
Simon mulai tertarik menjadi seorang pengajar ketika sudah menamatkan sekolah di SPG Surya Mandala Waiwerang. Beberapa kali guru dan kepala sekolah SMA datang ke rumahnya meminta orang tuanya untuk jadi guru. Namun, saat itu ia sudah mendaftarkan diri di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.
Selama di kota karang inilah ia aktif menjadi seorang guru dan mengajar di berbagai sekolah dari tingkat SMP, SMA, dan SMK.
Menjadi Dosen
Tahun 1992, Ia diangkat menjadi Dosen di FKIP Undana. Berbekal perspektif beyond (melihat dan menembus jauh ke depan), ia memilih untuk melanjutkan studi dan aktif melakukan penelitian ilmiah.
Kurang lebih 40 artikel ilmiah telah terpublikasi di berbagai jurnal nasional (terakreditasi) dan internasional. Selain itu puluhan makalah ilmiah telah dipresentasikan di berbagai seminar nasional dan internasional bidang linguistik dan budaya.
Prestasi akademik Simon terus melejit. Berkat segudang karya tulis penelitian dan publikasi ilmiah ini, pada tahun 1999 ia meraih piagam penghargaan sebagai peneliti muda berprestasi.
11 tahun berselang, ia berhasil dinobatkan sebagai guru besar bidang Sosiolinguistik dengan pangkat/golongan terakhir yakni Pembina Utama Madya, IV/d, gelar yang menjadi impian tertinggi oleh seorang akademisi.
“Dulu ketika banyak orang sibuk urus berkas naik pangkat, saya sebagai asisten ahli dosen memilih untuk lanjut kuliah. Pada tahun 90-an saya sudah aktif menulis di Jurnal Humaniora Jogjakarta. Banyak orang heran untuk apa menulis? Tidak ada manfaatnya! Padahal habitus utama seorang akademisi adalah menghasilkan karya tulis ilmiah,” jelas Simon.
Simon dikenal sosok sangat berpegang teguh kepada kebenaran dan serius dalam bekerja. Berbagai peran dalam jabatan akademik dan organisasi ilmiah pernah diembannya, seperti Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan Undana, Ketua Umum Badan Pembina Olahraga Mahasiswa (BAPOM) NTT, dan Ketua Asosiasi Peneliti Bahasa Lokal (APBL) Daerah NTT.
Proses panjang dibentuk dari alam yang keras, putra asal Adonara, Flores Timur ini juga tumbuh menjadi orang yang tegas dan berprinsip. Namun, jangan tanya bagaimana caranya bergaul. Profesor yang satu ini ternyata terkenal suka bercanda dan dekat dengan kalangan akar rumput di kampus Undana, baik staf pegawai, hingga sopir dan petugas kebersihan.
“Bagi saya, membangun relasi itu penting sekali karena hal itu merupakan kekayaan yang tiada habisnya. Saya senang menjalin relasi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Hidup itu enak kalau kita jalani dengan banyak teman. Untuk membangun hubungan ke atas (vertikal), saya tidak pernah berhenti mensyukuri apa pun yang diberikan oleh Tuhan,” katanya.
Calon Rektor Undana
Prof. Simon telah mendaftarkan diri untuk bertarung dalam suksesi rektor periode 2021-2025. Mimpi yang besar seorang Prof. Simon adalah membawa Undana menuju World Class University.
Sebagaimana tagline Undana adalah pendidikan tinggi bermutu, relevan, dan berdaya saing maka Undana perlu ada pembenahan agar dapat meraih peringkat baik pada tataran lokal, nasional, regional dan global.
Mutu dan pengembangan Undana dengan predikat kampus negeri pertama dan tertua di NTT mestinya tak perlu diragukan lagi. Peringkat 147 nasional artinya masih jauh dari harapan.
“Yang paling utama adalah menciptakan habitus kampus berbasis riset dan publikasi yang bermutu. Bagaimana mungkin bisa mengembangkan strategi dan isi (materi) pendidikan dan pengajaran berbasis hasil penelitian? Bagaimana dosen dan mahasiswa melakukan pengabdian terhadap masyarakat berbasis hasil penelitian?” katanya.
Menurutnya, indikator publikasi jurnal tidak mungkin maju dan berkembang jika tidak ada penelitian yang memadai. Tagline bermutu harus tercermin dalam mutu dosen, mutu mahasiswa, dan mutu lulusan. Relevan berarti mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara lokal, nasional, dan global. Berdaya saing artinya mampu melahirkan keunggulan-keunggulan, setidaknya menjadi perguruan tinggi terfavorit, yang kemudian walaupun biaya kuliahnya mahal namun tetap diminati.
Dijelaskan, publikasi yang bermutu dihasilkan dari penelitian yang bermutu dan penelitian yang bermutu umumnya membutuhkan dana yang besar pula. Hal ini tentunya sangat dibutuhkan fleksibilitas dalam pengelolaan sumber dana PNBP. Pemanfaatannya harus mengoptimalkan proses dan hasil Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Prof. Simon berujar, mimpi menjadikan Undana sebagai kampus berskala global adalah sebuah keniscayaan. Untuk mencapai Word Class University paling utama adalah menciptakan manajemen yang berorientasi mutu.
Paling pertama, beber dia, utamakan peningkatan mutu yang bisa menarik mahasiswa asing. Dari sini ada transfer pengetahuan dam keterampilan berbasis teknologi yang dibutuhkan pada tataran global. Kerja sama dengan lembaga dan perusahaan asing perlu dirintis dengan mengembangkan program studi dan unit bisnis berskala global.
“Menteri mendorong kebijakan kampus merdeka dan merdeka belajar. Maka jangan takut mengirimkan mahasiswa Undana untuk memprogram mata kuliah tertentu pada kampus di luar negeri,” tegas Profesor yang kini aktif melakukan penelitian budaya dan linguistik lintas bidang ini.