Oleh: A. Jefrino Fahik*
Pelecehan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang melekat pada diri seseorang. Tindakan tersebut merusak martabat manusia, mencederai pribadi manusia. Pelecehan seksual di lingkungan kampus menunjukkan bahwa tindakan predator tersebut sudah ada di sekitar kita serta ada dalam keseharian kita.
Melansir data Komnas Perempuan, yang dipublikasikan pada Oktober 2020, telah terjadi sekitar 27 % aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020. Selain itu, survei yang dilakukan Direktorat Jenderal Kemendikbudristek pada 2020 menemukan sekitar 77% dosen yang disurvei mengakui telah terjadi tindakan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Temuan ini, sadar atau tidak, menyibak fakta gelap dunia PT (Perguruan Tinggi): PT sebagai civitas akademika, ruang berdiskursus serta tempat memanusiakan manusia, malah menjadi zona berbahaya seperti ruang sosial lainnya. Sekarang pilihan kita adalah melenyapkan praktik tersebut ataukah mengakrabinya?
Memerdekakan Kampus dari Predator Seksual
Pelecehan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi merupakan skandal yang melukai wajah kampus. Semua orang tahu bahwa kampus adalah ruang memperadabkan manusia untuk menjadi manusia yang makin manusiawi. Karena itu, orang tidak mengira bahwa kejahatan seksual bisa muncul dari lingkungan kampus.
Namun patut disayangkan, hari ini kita menyaksikan fenomena memalukan itu terjadi di kampus kita. Meski kita berkelit dengan dalil bahwa kampus adalah ruang yang steril dari aneka aktivitas kekerasan dan ideologi ekstremis. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas kekerasan dan sejumlah ideologi ekstremis tumbuh setiap harinya. Ini artinya, kita sedang menghadapi masalah serius.
Perkara pelecehan seksual terbaru yang sedang heboh misalnya terjadi di Universitas Riau (Unri). Perkara ini terjadi pada seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unri. Mengutip laporan liputan 6.com, korban mengaku mendapatkan perlakuan tersebut dari salah satu dosen sekaligus dekannya sendiri dengan modus bimbingan proposal skripsi.
Masalah lain, sebagaimana dijelaskan oleh Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas Airlangga, dalam opininya di Media Indonesia Kamis (11/11/21), terdapat deretan kasus, seperti terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur. Kasus ini pun terjadi pada seorang mahasiswi dengan modus mengerjakan skripsi.
Selain itu, deretan kasus lain, masih menurut Suyanto, seperti terjadi di IAIN Sultan Amai Gorontalo. Perkara tersebut tercatat minimal dialami empat mahasiswi. Selanjutnya pelecehan seksual ini terjadi di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Palangka Raya (UPR), Universitas Negeri Jakarta, Universitas Jember. Bahkan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Itu artinya dunia pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Kita sedang menghadapi masalah moral serius. Kecacatan moral ini tidak hanya menyentuh mereka yang diinsinuasikan sebagai orang bodoh, kurang berpendidikan, bersikap anarkis dan anti-humanisme melainkan juga sudah menggerogoti orang-orang pintar di lingkungan PT. Lingkungan PT yang bertabur orang-orang yang berpengetahuan itu tidak membuat diri seorang dosen lantas menjadi manusia yang manusiawi. Ini artinya, berpengetahuan tinggi tidak selalu membuat kehidupan moral seseorang menjadi baik. Nyatanya, para pelaku kejahatan seksual malah menunjuk orang-orang pintar itu.
Dengan demikian, skandal memalukan di dunia pendidikan kita hari ini pantas menjadi bahan evaluasi serius bagi orang-orang kampus. PT harus sadar sebagai institusi pendidikan, ia bukan lembaga super yang steril dari kejahatan. Fakta hari ini menunjukkan bahwa ia rapuh sebagaimana lembaga-lembaga sosial lainnya dengan menggunakan modus klasik yang mudah terlacak.
Dari sini dapat disimpulkan beberapa modus permainan predator seksual kampus. Pertama, modus bimbingan proposal skripsi. Dari beberapa kasus ditemukan bahwa korban diajak untuk melakukan proses bimbingan proposal skripsi bersama dosen pembimbing. Namun pelaku justru memanfaatkan momen itu untuk melancarkan aksi bejatnya. Modus ini lumrah dipakai karena korban pasti mengikuti instruksi sang dosen demi finalisasi karya akhirnya. Oleh karena itu betapa menyedihkan, pada saat itu pelaku malah memanfaatkannya untuk merusak dan menginjak-injak martabat korban.
Kedua, modus penyelewengan jabatan. Modus ini umumnya dipakai oleh pelaku tindak seksual. Hal ini karena posisi otoritatif seseorang dosen cenderung membuat dirinya merasa kuat, ingin menguasai segalanya. Status sosial itu digunakan untuk mendesak, mengancam, merayu dan menipu muridnya untuk mengikuti kepentingannya. Nilai ujian diatur oleh dosen, murid diharapkan diam saja, ia harus setia mendengarkan instruksi sang dosen. Apabila ia berani berdebat, ia bisa diancam dengan hukuman dikeluarkan dari kampus atau sanksi serius lainnya.
Ketiga, modus kekerasan fisik. Ini melibatkan aneka rencana kejahatan. Murid umumnya diajak ke suatu tempat strategis, lalu diiming-imingi sesuatu, diberikan kasih sayang palsu, rayuan, berbagai perlakuan khusus lainnya. Di sini murid diharapkan diam sebab apabila ia memberontak, ia bisa dihukum. Umumnya Korban dibentak, ditendang, dipukuli, bahkan dibunuh. Kejahatan ini tentu mengerikan dan buas. Namun, nyatanya kita menyaksikannya dalam dunia kehidupan kita.
Pelecehan Seksual dan Martabat Manusia
Tindak pelecehan seksual melukai martabat manusia. Sebab, manusia bukan makhluk yang ada begitu saja (Heidegger), juga bukan sekadar komoditas yang bisa dikomersialisasikan (Sartre) namun ia bernilai pada dirinya (Levinas), ia memiliki martabat yang patut di hargai dan dicintai. Karena keluhuran martabatnya, manusia menjadi makhluk yang istimewa. Martabat manusia ini menjadi alasan substansial bahwa ia kebal terhadap semua hal.
Karena itu martabat manusia itu keramat. Menurut Kant, sebagaimana dijelaskan oleh Stephen Körner (S. Körner: 1948), seorang filsuf Inggris, seorang manusia tidak berhak menjual anggota tubuhnya untuk mendapatkan uang, bahkan jika dia ditawari sepuluh ribu thaler (uang logam) untuk satu jari. Bagi Kant, praktik tersebut merupakan sebuah kejahatan. Sejauh tubuh menyatu dengan diri (self), ia merupakan pribadi (person) yang tidak boleh direduksi menjadi komoditas sebab berpotensi melecehkan martabat luhur manusia. Karena itu, manusia tidak pernah boleh diperlakukan sebagai sarana tetapi selalu sebagai tujuan.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa martabat pribadi manusia merupakan sesuatu yang membuat manusia itu bernilai, istimewa dan khas dari makhluk lainnya. Pelecehan seksual merusak martabat seseorang. Pelaku tindak seksual meniadakan pribadi seseorang sebagai makhluk istimewa dan menjadikan korban sebagai barang santapan biasa. Martabat manusia dilecehkan dan dibuang.
Peran Masyarakat dan Pemerintah
Dalam rangka mencegah semakin maraknya perkara pelecehan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi dibutuhkan kerja sama masyarakat dan pemerintah. Pertama, peran masyarakat. Masyarakat bisa memberikan langkah preventif untuk mencegah pelecehan seksual tersebut. Aksi preventif itu bisa terwujud dengan menyuntikkan nilai-nilai moral, mental berani membela diri, serta berani jujur dan terbuka.
Nilai-nilai ini membantu korban untuk berani melaporkan fenomena pelecehan yang menimpa dirinya dengan jujur dan transparan. Hal ini karena, skandal memalukan seperti ini sering kali ditutup-tutupi, bukan hanya oleh korban sendiri, melainkan juga oleh institusi pendidikan. Oleh karena itu, peran masyarakat sangat penting untuk mencegah semakin maraknya peredaran pelecehan seksual di kampus.
Kedua, peran pemerintah. Kita bersyukur karena belum lama ini telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan yang diteken Menteri Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 itu berlaku mulai tanggal 3 September 2021.
Dalam Permendikbudristek No 30/2021, selain diatur tentang ancaman sanksi bagi pelaku tindak pelecehan seksual, juga diatur upaya pendampingan, pelindungan, dan pemulihan bagi korban tindak pelecehan seksual di lingkungan PT (perguruan tinggi). Bagi pelaku tindak pelecehan seksual di PT, sebagaimana dijelaskan Suyanto, tidak hanya terancam dikenai sanksi administratif, tetapi juga sanksi berupa pemecatan atau pemberhentian tetap.
Langkah tegas pemerintah ini menunjukkan bahwa negara hadir bagi masyarakat. Kendati hukum tersebut masih menuai kritik, hukum tersebut telah mengatur secara ketat bagaimana pembagian hukuman dan upaya pembinaan korban. Korban yang mengalami kekerasan seksual mendapatkan perhatian dan pembinaan psikologis. Korban yang mengalami trauma serius mendapatkan perhatian khusus untuk memulihkan keadaannya seperti semula. Sementara itu, bagi pelaku diberikan hukuman yang setimpal agar memberikan efek jerah dikemudian hari.
Namun, hal ini bisa menjadi bahan refleksi dan evaluasi bagi pihak kampus sendiri. Sebab, pertama-tama lingkungan kampus mesti membenahi dirinya terlebih dahulu. Ia harus membersihkan dirinya, membaluti dirinya dengan kejujuran, keadilan, integritas, dan transparansi. Dengan demikian, marwah kampus sebagai civitas akademika, ruang berdiskursus kembali bersinar dengan terang-benderang.
*Penulis adala Alumnus STF Driyarkara, aktivis sosial