Oleh: Amran Atamaran*
Panorama alam yang eksotis menjadikan Flores, Adonara, Lembata, dan Alor punya banyak daerah tujuan wisata yang layak dibanggakan. Laut, pantai, gunung, sungai, lembah, dataran tinggi, hutan, dan sawah berderet dari dari Flores Barat hingga ujung Alor. Keindahan itu sesungguhnya memiliki nilai jual yang layak untuk terus diperkenalkan kepada publik. Tapi di balik semua pesona alam tersebut harus diakui bahwa wilayah kepulaun ini ini adalah kawasan rawan bencana. Tulisan sederhana ini coba membahas keterkaitannya dengan pariwisata.
Letak Flores, Adonara, Lembata dan Alor yang tepat berada di atas deretan cincin gunung api, menjadikan daerah ini termasuk daerah rawan bencana alam, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, kebakaran hutan, banjir bandang, angin topan, dan tsunami. Sejarah juga telah membuktikan bahwa hampir tiap tahun daerah ini selalu mengalami bencana yang sifatnya berulang.
Ada beberapa bencana yang sifatnya memang alamiah – dalam artian bencana tersebut tak dapat dicegah, seperti letusan gunung berapi dan gempa bumi. Sementara di sisi lain ternyata lebih banyak lagi bencana yang sebenarnya merupakan ulah dari manusia itu sendiri yang seharusnya bisa dicegah, seperti banjir bandang, kebakaran hutan, dan tanah longsor.
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, menyebutkan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Definisi tersebut mengacu pada semua bencana, baik bencana alam, non-alam, maupun bencana sosial. Hal ini secara lebih spesifik bahwa bencana merupakan suatu peristiwa atau kejadian akibat dari fenomena alam yang membutuhkan sistem informasi gabungan pendeteksi cuaca dan tindakan manusia secara lebih luas.
Dalam konteks ini saya membedakan antara bencana alam dan bencana non-alam. Bencana adalah bencana alam, sementara bencana non-alam dan sosial disebut sebagai krisis. Dari pengertian tersebut, ini menegaskan bahwa apa pun bentuk sebuah bencana sebenarnya bisa diprediksi ataupun dicegah. Keterlibatan manusia secara aktif dan sistem informasi pendeteksi cuaca yang lebih luas bisa membantu penanganan sebelum dan setelah bencana.
Pariwisata adalah sebuah industri yang sangat bergantung pada keunikan alam dan budaya. Daya tarik utama sebuah destinasi wisata adalah bentangan alam dan kekayaan budaya suatu daerah yang berbeda dari daerah lainnya. Sehingga jika terjadi kerusakan ataupun degradasi pada sebuah destinasi, baik akibat krisis maupun bencana, maka akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan industrinya.
Dapat dikatakan pula bahwa industri pariwisata sangat rentan terhadap bencana dan krisis. Berbicara tentang pariwisata dan bencana, berarti mengupas keduanya dari dua sisi yang berbeda. Bencana bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap pariwisata. Pengaruh negatif muncul karena adanya kerusakan dan penurunan jumlah pengunjung, sementara pengaruh positif justru timbul saat bencana itu sendiri dijadikan sebagai komoditi pariwisata.
Ada beberapa fakta di lapangan yang menunjukan hal unik terkait pariwisata dan bencana. Secara konseptual bencana akan mempengaruhi permintaan industri pariwisata. Pada beberapa kejadian, justru menunjukan sebaliknya. Mungkin belum hilang dari ingatan kita bagaimana bencana gempa Flores tahun 12 Desember 1992 dan erupsi Merapi Yogyakarta yang telah menarik banyak wisatawan untuk melihatnya atau bagaimana wisatawan malah berbondong-bondong untuk melihat keadaan Kali Urang pasca-erupsi Gunung Merapi.
Untuk itu para pakar dan sustainability tourism sepakat kalau industri pariwisata memerlukan penanganan khusus dalam perencanaan dan pemulihan pasca-bencana. Kedua akibat bencana tersebut, baik negatif maupun positif, tetap membutuhkan penanganan sebelum, saat, dan sesudah terjadinya. Ada beberapa alasan mengapa industri pariwisata memerlukan penanganan khusus terkait dengan bencana alam.
Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu pekerja, penduduk lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam ketika sebuah destinasi terkena bencana.
Perilaku wisatawan di sebuah destinasi tidak dapat diprediksi, sehingga sulit untuk mengontrol terjadinya bencana. Hal ini menciptakan kebutuhan yang kuat untuk mendapatkan informasi yang dapat diakses dengan mudah di daerah terpencil dan di seluruh daerah tujuan secara keseluruhan.
Dalam banyak kasus, wisatawan tidak berbicara bahasa lokal dan tidak dapat dengan mudah menemukan petunjuk tentang bagaimana berperilaku dalam penanganan bencana.
Banyak destinasi wisata yang berada di daerah keindahan alam, seperti garis pantai, gunung, sungai, dan danau di mana ada risiko dan bahaya yang lebih besar untuk terkena dan terdampak bencana alam.
Wisatawan memiliki sedikit pengetahuan tentang tempat yang mereka kunjungi, bahkan kurang begitu tahu tentang bagaimana untuk bereaksi, ke mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara, dan bagaimana prosedur darurat ketika berada pada sebuah destinasi yang mengalami bencana.
Industri pariwisata adalah industri multi sektor yang saling berkaitan, sehingga tidak mudah merespon bencana. Ini juga menekankan perlunya suatu sistem informasi di seluruh industri yang tersedia untuk semua jenis perusahaan yang dapat digunakan dalam menghadapi bencana. Atau perencanaan pembangunan pariwisata teritegrasi.
Alasan-alasan di atas menekankan perlunya stakeholders sebuah destinasi membuat sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi bencana yang bisa dikomunikasikan dengan baik dan benar kepada wisatawan dan para pemangku kepentingan lainnya, seperti pekerja wisata dan penduduk lokal, sehingga kerusakan dan korban jiwa bisa diminimalisir. Sebuah destinasi akan mendapatkan manfaat dari sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi yang digunakan untuk menangani bencana secara efektif.
Global Sustainable Tourism Criteria (GSTC) dan World Tourism Organization (WTO) serta UU Nomor 10 tentang Kepariwisataan menjabarkan secara jelas dan terperinci kerangka kerja untuk sistem pengelolaan pengetahuan dan informasipada Tourism Disaster Management. Ada lima tahapan kerangka kerja berdasarkan proses terbentuknya bencana, yakni pre-event, prodromal (disaster imminent), emergency, intermediate, dan long term recovery. Masing-masing tahap terkait dengan unsur-unsur pengelolaan bencana, seperti pendahulu, mobilisasi, pemulihan, rekontruksi, dan evaluasi.
Sehingga jika hal ini terus dan terus dilakukan dalam konteks adaptasi dampak bencana maka keberlanjutan destinasi dan giat pelaku pariwisata akan terus berjalan dengan baik.
Salam Pariwisata
*Penulis adalah Aktivis NGO