Ruteng, Ekorantt.com – Heribertus Beri, Kepala Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai mengusir 5 orang aparat di desa itu yang hendak berkantor pada Selasa (11/1/2022) sekitar pukul 08.00 Wita.
Salah satu aparat, Robertus Kawul kepada Ekora NTT menjelaskan, ia bersama aparat lainnya diusir dari kantor karena telah mendapat surat pemecatan atau pemberhentian dari Kades Beri. Mereka pun belum mengetahui secara pasti penyebabnya.
Menurut Kawul, Kades Beri telah memberhentikan mereka setelah acara serah terima jabatan di kantor desa setempat pada Senin 10 Januari 2022.
“Pemberhentian itu kan tidak jelas karena apa,” ungkapnya saat ditemui di kantor Dinas PMD Kabupaten Manggarai.
Kata dia, dalam SK yang bernomor 01 Tahun 2022 tentang Pemberhentian Kepala Urusan Kepala Seksi dan Kepala Dusun dalam Struktur Pemerintah Desa Pong Lale Tahun 2021-2027, Kades Beri memberhentikan tujuh perangkat desa. Satu orang diberhenti karena meninggal dunia, seorang lagi karena berusia 60 tahun, dan lima orang lainnya diberhentikan tanpa alasan yang jelas.
Namun, pada saat itu, mereka langsung berkonsultasi ke pihak kecamatan dan pihak Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) atas surat pemberhentian tersebut.
Kawul bilang, mereka mendatangi lagi ke Dinas PMD untuk meminta perlindungan serta mencari dan menemukan solusi konkret dari persoalan itu.
Menyalahi Regulasi
Sekretaris Dinas PMD Kabupaten Manggarai, Lorens Jelamat mengatakan bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh Kades Pong Lale adalah tidak benar. Ia telah menyalahi regulasi.
“Apa yang dilakukan Kepala Desa Pong Lale itu tidak benar, karena dia memberhentikan perangkat desa tidak ada dasarnya dan tidak sesuai dengan regulasi,” tegas Jelamat.
Seharusnya, Kades Beri harus mengevaluasi terlebih dahulu perangkat-perangkat yang ada, serta tunjukkan dengan bukti jika mereka tak layak lagi menjadi perangkat desa.
“Setelah dia temukan bukti, baru dia ajukan ke Pa Camat bahwa mereka ini tidak memenuhi persyaratan lagi sebagai perangkat desa,” jelasnya.
Setelah membuat surat rekomendasi, camat mesti menurunkan tim investigasi untuk melihat kembali kinerja perangkat desa yang diajukan untuk melakukan pemberhentian.
“Betul tidak mereka sudah melakukan pelanggaran terhadap apa saja yang membuat pemerintah desa tidak berjalan atau kinerja mereka tidak memenuhi syarat lagi, baru camat berdasarkan kajian dari tim maka memang layak diberhentikan,” ujarnya.
“Maka dia (camat) buatkan rekomendasi. Dasar rekomendasi itu dia buat keputusan bahwa mengingat, menimbang, memperhatikan rekomendasi camat, memutus, lalu menetapkan,” tambahnya.
Sekdis Lorens berpendapat, keberadaan dan pengangkatan perangkat desa telah diatur dalam Permendagri 67 tahun 2017 Pasal 12 dan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2017 Pasal 21 ayat 1 dan 2.
Untuk itu, ia menyarankan agar kelima perangkat desa tersebut tetap masuk kantor seperti biasa walaupun pintunya ditutup.
“Sehingga, kesannya mereka ada niat untuk masuk kantor,” pintanya.
Amanat Undang-Undang
Saat dikonfirmasi, Kades Beri berpendapat, pemberhentian perangkat desa sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang melekat pada pimpinan wilayah.
“Jelas diatur dalam Pasal 51- Pasal 53 dan Permendagri Nomor 67 Tahun 2017,” sebutnya saat dikonfirmasi Ekora NTT, Rabu (12/1/2022).
Surat Keputusan Kepala Desa Pong Lale tentang Pemberhentian Perangkat Desa Nomor 1 Tahun 2022, kata dia, adalah produk hukum yang wajib ditaat dan dilaksanakan.
Kades Beri berujar, persoalan bahwa ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, tentu materi dalam SK tersebut yang harus diuji kebenarannya bukan mengambil kesimpulan yang prematur, apalagi dianggap unlegitimate.
Dinas PMD sebagai lembaga teknis, kata Kades Beri, hendaknya bisa menyikapi dengan baik dan lebih arif, apalagi disadari bahwa kepala desa adalah kepala wilayah dipilih melalui jalur demokrasi.
“Surat keputusan seorang kepala desa tentu berdimensi hukum. Karena SK itu adalah produk hukum, wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak sesuai dengan diktum dalam surat keputusan tersebut,” ujarnya.
“Pernyataan Sekretaris PMD bertendensi politis dan cenderung mengabaikan kedudukan serta hak yang melekat pada seorang pemimpin desa,” tambahnya.
Menurutnya, usia 60 tahun yang diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 dan Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 mereduksi kewenangan kepala desa untuk dapat mengangkat dan memberhentikan aparat desa, dan narasi yang dibangun adalah Kepala Desa Pong Lale tidak memahami dan mengerti aturan hukum.
“Saya menyadari bahwa sikap yang diambil merugikan pihak lain dan terkesan sangat cepat dan terburu-buru. Padahal sikap ini semata-mata untuk menyadarkan kita semua (abdi dan pelayan masyarakat) tentang perilaku, sikap, perbuatan, dan kinerja yang harus terukur dan berimbang,” tegasnya.
Dinas PMD, lanjut dia, mestinya meminta klarifikasi kepada aparat desa tentang tugas pokok dan fungsi sebagai pelayan masyarakat, bukan dengan cara yang cenderung memvonis kebijakan yang diambil oleh seorang kepala desa. Pola pembinaan dan pengawasan hendaknya lebih diutamakan ketimbang menyudutkan salah satu pihak.
Dibutuhkan pemahaman bersama antara PMD dengan pemerintah desa terkait penataan dan pembangunan desa, termasuk asas penyelenggaraan negara yang baik dan benar, kata Kades Beri.
“Secara pribadi saya menghormati perbedaan nilai dan perspektif tentang aturan penyelenggaraan pemerintahan desa, terutama regulasi dan aturan hukum sehingga tidak menimbulkan dugaan dan tafsiran yang cenderung subyektif,” tutupnya.
Adeputra Moses