“Jangan Rampas Tanah Adat Kami”

Mbay, Ekorantt.com – “Jangan rampas tanah adat kami”. Ungkapan ini keluar dari mulut Maria di hadapan para aktivis dan perwakilan komunitas adat se-daratan Flores-Lembata saat kegiatan Konsolidasi Gerakan Masyarakat Sipil di Malapoma, Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Senin (17/01/2022).

Maria merupakan salah seorang perwakilan komunitas adat dari Kabupaten Flores Timur. Ia diberi kesempatan untuk memberikan kesaksian tentang persoalan tanah yang menimpah masyarakat adat di wilayah itu, terutama perampasan hak-hak anak dan perempuan.

Pada sesi pemberian kesaksian dan sharing yang dipimpin John Bala, Maria membeberkan suka duka perjuangan perempuan terhadap masyarakat adat mengenai tanah yang sepihak dicaplok oleh pemerintah.

Ia beralasan, tanah adat merupakan salah satu hasil perjuangan kaum perempuan dengan tumpah darah. Darah perempuan yang mengalir ke dalam tanah sebagai simbol kemartabatan perempuan-perempuan adat yang semestinya dihargai dan dihormati.

“Sehingga kami menolak perampasan tanah adat. Jangan merampas tanah kami,” ujar Maria, mengenang perjuangan perempuan adat Flotim beberapa tahun silam.

iklan

Sementara, Robertus Ruben, perwakilan komunitas masyarakat adat Maumere mengisahkan perjuangan perempuan-perempuan adat di Sikka yang berhasil menyelamat dirinya dari Kantor Pengadilan Maumere, seusai mengikuti persidangan beberapa waktu lalu.

Ia dibawa sekelompok perempuan adat ke rumahnya.

“Saya baru sadar, tiba-tiba saya sudah berada di rumah,” kenang Ruben.

Ruben mengatakan, konflik tanah adat selama ini di Tanah Air menimbulkan masalah kompleks terhadap perempuan dan anak-anak.

Para perempuan-perempuan adat harus meninggalkan tugas rumah tangga karena harus rela memperjuangkan hak tanah. Secara tidak sadar, pihak-pihak kontra masyarakat adat telah merampas hak-hak anak dan perempuan.

“Ibu tidak bisa memasak dan mengurus anak karena sibuk membela hak tanah. Anak tidak bisa cerdas karena asupan makanan kurang. Ini persoalannya,” ujar Ruben.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga Philipus Kami sebelumnya mengatakan kegiatan Konsolidasi Gerakan Masyarakat Sipil Flores-Lembata bertujuan untuk membangun kekuatan bersama kelompok masyarakat untuk membahas sejumlah isu sosial dan ekologi di Flores-Lembata.

Selain itu, untuk memperkuat jaringan kerja advokasi dan gerakan pendukung masyarakat sipil guna percepatan penanganan masalah yang menimpah anak-anak, perempuan adat maupun masyarakat adat yang sedang terjadi saat ini.

“Kenapa kita berkumpul hari ini di sini? Untuk boleh merasakan sakit. Kita harus cinta adat budaya. Adat tidak boleh hilang karena itu karakter kita,” kata Philipus.

Untuk ditehahui, kegiatan Konsolidasi Gerakan Masyarakat Sipil Flores-Lembata dihadiri 77 elemen baik LSM, komunitas adat, aktivis ekologi, pihak gereja (JPIC) dan aktivis mahasiswa.

Hadir pula Sekjen AMAN Pusat Rukka Sombolinggi, Direktur Eknas WALHI Zenzi Suhadi, Sekjen KPA Dewi Kartika dan Pengurus JATAM Melky Nahar serta Direktur Eksekutif FWI Mulfi Fathul Barri.

Kegiatan konsolidasi masyarakat sipil yang dipelopori oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan FWI itu juga digelar selama tiga hari dari tanggal 17-19 Januari 2021. Adapun metode pertemuan secara hybrid (offline dan online).

Ian Bala

TERKINI
BACA JUGA