Oleh: Isidorus Lilijawa*
Kemiskinan NTT yang semakin akut membuat sesorang wakil presiden turun gunung. Tanggal 17 Oktober 2021 lalu, Wapres Ma’aruf Amin melakukan rapat koordinasi terbatas di Kupang terkait lima kabupten di NTT dengan kemiskinan ekstrem. Menginap semalam di NTT, Wapres minta di tahun 2024 angka kemiskinan turun menjadi 0 persen dari posisi sekarang 20 persen.
Lima kabupaten itu adalah Sumba Timur, TTS, Rote Ndao, Sumba Tengah dan Manggarai Timur. Lima kabupaten ini jumlah penduduk miskin ekstrem mencapai 212.672 jiwa dengan total rumah tangga miskin ekstrem 89.410 RT.
Dalam rapat koordinasi itu, dimunculkan beberapa strategi mengeliminir kemiskinan ekstrem di NTT. Pertama, memastikan warga miskin terangkul semua program pemerintah, baik program pengurangan beban pengeluaran maupun program pemberdayaan.
Kedua, menggenjot penanganan kemiskinan ekstrem melalui intervensi APBD di setiap kabupaten. Ketiga, memberi tambahan uang tunai untuk rumah tangga miskin melalui program sembako dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) desa.
Benarkah Kita Miskin?
Tentang kemiskinan di NTT ini, kadang-kadang saya bertanya, benarkah kita miskin? Apakah kita memang miskin? Jangan sampai kita miskin hanya dalam proyeksi data-data statistik. Jangan-jangan kita miskin hanya dalam narasi atau dalam orasi.
Mengapa demikian? Kita di NTT ini sepertinya tidak miskin. Kita malah sombong dalam kemiskinan itu. Katanya miskin tapi urusan adat, urusan pesta jalan terus. Dalam urusan macam begini, uang pasti ada, hewan pasti ada, barang pasti ada. Kita seperti tidak miskin. Orang boleh bilang kita miskin ekstrem. Mereka tidak tahu betapa besar kadar sombongnya kita di hadapan kemiskinan itu.
Orang bilang kita miskin. Tetapi lihat gaya hidup kita. Lihat gaya hidup para pejabat kita. Mereka seolah-olah tidak merasa bersalah atas kemiskinan itu. Bahkan mereka memanfaatkan kemiskinan untuk memperkaya diri dan kelompok dengan membajak program-program yang seharusnya memberi manfaat untuk rakyat. Mereka ambil untung banyak dari program-program itu. Rakyat hanya dapat sisa.
Kemiskinan kita di NTT itu paradoks. Data BPS, penduduk miskin NTT bertambah sebanyak 19.770 orang. Sementara pada Maret 2020 angka kemiskinan NTT menurun menjadi 20,90 persen. Pemerintah pukul dada nyatakan angka kemiskinan menurun. Tetapi di sisi lain jumlah orang miskin bertambah. Lalu yang menurun itu angka atau orang miskinnya? Kadang memang aneh.
Kemiskinan seperti hantu. Terus diterapi dengan program, tetapi orang miskin bertambah. Yang salah programnya atau eksekutor program. Mestinya berani lakukan evaluasi program-program prioritas. Jika masih relevan dilanjutkan. Tetapi jika tidak, dicari kendalanya di mana. Dirombak total. Jangan menciptakan program hanya untuk mendatangkan keuntungan bagi diri dan kelompok. Lalu rakyat hanya jadi penonton.
Respon Warga
Sampai saat ini, kita masih juara ketiga termiskin serepublik. Bahkan dapat predikat baru lagi kemiskinan ekstrem. Kira-kira seperti apakah respon orang NTT terhadap kemiskinan NTT ini? Saya menduga beberapa hal ini.
Pertama, mungkin ada yang berpikir kemiskinan NTT adalah kemiskinan yang seolah-olah. Artinya, secara real tidak miskin, namun hanya miskin dalam angka.
Buktinya, selama ini pemerintah NTT nyaman-nyaman saja. Warga pun tenang-tenang saja. NTT pun belum kolaps. Artinya, kemiskinan itu hanya soal proyeksi angka-angka statistik yang tidak membuat malu pemerintah yang mengurus rakyat dan rakyat yang mengelola hidupnya sendiri.
Kedua, ada yang merasa biasa-biasa saja dengan peringkat miskin ini. Golongan ini berpikir dari dulu hingga kini, NTT tetap tiga besar termiskin serepublik. Sebanyak apapun tekad pemerintah, itu urusan program saja.
Faktanya, NTT tetap miskin. Mungkin saja, keyakinan mereka akan berubah jika Yang Kuasa bertindak nyata, karena NTT adalah Nanti Tuhan Tolong.
Ketiga, ada golongan yang tidak kaget dengan posisi NTT dalam kejuaraan kemiskinan nasional ini. Mengapa? Kemiskinan di NTT itu seperti komoditi kopra dan cengkeh, yang pada musimnya akan diperjualbelikan, dengan variasi harga, murah hingga mahal.
Menjual kemiskinan sudah menjadi kegemaran segelintir orang atau lembaga. Kemiskinan sebagai realitas sosial kerap dikomersialisasi untuk mendatangkan dana yang acapkali salah sasar. Artinya, kemiskinan rakyat dipotret, dijadikan proposal dan dikirim ke lembaga-lembaga donor.
Namun, dana untuk rehabilitasi atas kemiskinan itu dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri atau lembaga dan rakyat hanya diberi sedikit uang penghibur. Belum lagi pada siklus lima tahunan, kemiskinan laris manis sebagai komoditi dalam jargon jualan politik. Terjadilah politisisasi kemiskinan dan sedikit miskinisasi politisi.
Keempat, ada yang tidak peduli atau apatis terhadap fakta kemiskinan di NTT. Golongan ini sibuk mengenyangkan perut sendiri dan kaumnya. Mereka tidak peduli dengan sesamanya yang dengan kesulitan berjuang untuk hidup. Bagi kelompok ini NTT mau miskin terus setiap tahun tidak jadi soal asal gudang makanan mereka berlimpah susu dan madu dan tabungan di bank terus membengkak.
Mereka menghidupi filosofi lu-beta-besong, bukan filosofi katong. Di NTT, realitas sosial yang seperti ini bertumbuh bagai piramida.
Kelima, ada pula orang atau kelompok orang yang malah meragukan data-data BPS. Mereka justru mempertanyakan atas dasar apa BPS merilis NTT sebagai provinsi miskin.
Mereka mungkin menggunakan pendekatan ‘dubium methodicum’ (metode keragu-raguan) terhadap suatu realitas maupun hasil kajian. Mereka dapat ajukan bukti pembanding. Bagaimana mungkin NTT disebut miskin, sementara koruptor bertambah dan orang kaya baru bermunculan?
Keenam, ada orang dan golongan yang malu pada realitas miskin ini dan marah pada kenyataan ini. Mereka menggugat, mengapa NTT miskin terus? Apa yang salah dengan NTT yang potensi alam dan pariwisatanya luar biasa ini? Apa kerja pemerintah selama ini? Membangun kok tambah miskin? Angka kemiskinan berkurang kok orang miskin bertambah?
Ketujuh, ini kategori kelompok paling alim. Terhadap realitas NTT miskin, mereka mungkin hanya pasrah dan berdoa saja. Berdoa supaya Tuhan menginsafkan para pemimpin di NTT agar fokus bekerja untuk rakyat, bukan sibuk menjadi papalele dan membangun kerajaan bisnis.
Mereka berdoa untuk sesamanya yang masih miskin agar mencari jalan sendiri membangunkan diri dan keluarga dari kubangan kemiskinan dengan bekerja, kreatif dan inovatif.
Mereka juga berdoa bagi para pelaku terjadinya kemiskinan di NTT, teristimewa dalam perilaku-perilaku malum seperti korupsi, kolusi, nepotisme, suap-menyuap agar segera kembali ke jalan yang benar sebelum dipanggil segera menuju liang lahat.
Tidak akan habis kita mengulas kemiskinan di NTT yang seperti hantu itu. Semoga terapi atasi kemiskinan ekstrem bisa berjalan baik. Jangan sampai semakin banyak memunculkan orang miskin baru karena mau dapatkan uang tunai melalui BLT dan bantuan sembako. Ah, kapan NTT bisa bangkit dari kemiskinan kronis ini?
*Penulis adalah Direktur Yayasan Increase Kupang