Oleh: Doni Koli*
Democracy is the only game in the town. Jargon yang seolah tak terbantahkan ini cukup bertahan mengingat hampir seluruh negara di dunia telah mengadopsi demokrasi sebagai ideologi politiknya (Marijan, 2010).
Kendatipun pada masa purba demokrasi dilihat sebagai bentuk rusak peradaban politik (yang dibedakan dari sistem ideal seperti monarki, aristokrasi atau kalipolis), demokrasi malah banyak dijunjung tinggi pada abad modern ini. Sebagai sebuah filosofi, sistem dan pendekatan politik, demokrasi menjadi antitesis sekaligus obat mujarab atas sistem yang otoritarian dan represif.
Akan tetapi, pelbagai kajian dan studi politik selama ini, khususnya yang terjadi di Indonesia malah memproyeksikkan stagnansi demokrasi. Salah satunya bisa dirujuk pada survei Power, Welfare and Democracy (PWD) 2013, sebuah proyek penelitian kolaborasi UGM dan Universitas Oslo.
Berdasarkan hasil survei PWD, ditemukan bahwa demokratisasi pasca reformasi malah merawat penyalahgunaan kekuasaan. Kejatuhan rezim otoritarian Soeharto tidak disusul oleh laisasi kolega dan kroni-kroninya yang ternyata berhasil memindahkan konsentrasi kekuatan politik dari kemampuan mengendalikan cara-cara koersif dan administrasi publik menuju pada penguasaan sumber daya dan modal ekonomi (Olle Tornquist dkk, 2017).
Lebih jauh, temuan survei PWD juga mengemukakan bahwa stagnansi demokrasi juga disebabkan penurunan proposisi aktor kelas menengah yang mampu mengartikulasi kepentingan rakyat serta mengambil disposisi antagonisme dengan kekuasaan. Para aktivis sayap kiri tersebut sebagaimana dirangkum Samadhi dan Prasetyo (2017), justru menempuh strategi-strategi yang cenderung liberal, individual, fragmentaris dan tidak terorganisasi secara matang dalam trajektori politik.
Sindrom kegagalan wacana politik kiri ini semakin akut ketika item-item politik populis kanan mengemuka dalam wujud konservatisme dan radikalisme agama, ultranasionalisme reaksioner dan proteksionisme rasial. Bahayanya lagi, ikon-ikon politik sayap kanan tersebut malahan adaptif dan rentan diinstrumentalisasi kekuasaan.
Dengan demikian, untuk menjaga dan merawat momentum demokratisasi, kita perlu memikirkan dan duc in altum merancang populisme kiri yang lebih terorganisasi secara politis.
Populisme dan Krisis Demokrasi
Salah satu penampakan riil mobilisasi gerakan politik masa kini yang berbasis golongan akar rumput hadir dalam kasus Podemos, partai sayap kiri di Spanyol yang berfokus pada masalah kesenjangan, korupsi, pengangguran dan resesi ekonomi setelah krisis utang Eropa.
Dibentuk pada tahun 2014, partai ini telah menyerap basis massa dalam jumlah banyak. Kendatipun demikian, membayangkan dan membumikan metodologi gerakan politik Podemos sebagai basis epistemologi dan contoh kasus bagi artikulasi gerakan di Indonesia adalah soal lain yang tidak bisa dibaca dalam nada optimisme menyeruak belaka.
Bagaimanapun juga, sebagaimana diakui Muhhamad Ridha (2015), podemos tidak merumuskan sebuah gerakan horizontal murni tetapi juga merupakan kanalisasi dari fragmen-fragmen kekuasaan sebagai respon atas rezim politik yang mengadopsi neoliberalisme.
Masifikasi gerakan radikal agama yang mengiringi kasus Ahok umpamanya berbeda dengan gerakan politik akar rumput di Spanyol. Justru, gejolak-gejolak massa di Indonesia makin membentuk imajinasi publik bahwa Trumpisme atau genderang populisme (kanan) yang pada dekade 60-an oleh Ernest Gellner diwanti-wanti sebagai hantu yang sedang mengancam dunia sedang melanda prospek berdemokrasi di Indonesia.
Term populisme sendiri merupakan fenomena dengan sejarah panjang. Secara konseptual, populisme adalah paham yang menghadapkan politik “rakyat banyak” dengan politik “elite” yang digambarkan sebagai tamak dan jahat. Laclau, filsuf post-marxis, umpamanya mendefinisikan politik populis sebagai pendekatan politik berbasis massa yang muncul akibat kegagalan fungsional lembaga-lembaga sosial dan politik (Alfian, 2016).
Demikian, ide dasar populisme tidak selalu destruktif bahkan terbilang mulia. Kebangkitan populisme di beberapa negara Amerika Latin terbukti mampu memerankan antagonisme, memainkan keberpihakan yang mulia pada kelompok marginal serta memproposalkan keadilan sosial.
Bahaya atau tantangan populisme bagi artikulasi demokrasi tampak dalam gerakan politik partai-partai ekstrim kanan yang berwatak anti pluralisme, mengenakan xenophobic logic, anti-intelektualisme, konservatisme dan bahkan fasisme. Untuk mengerti watak-watak ini, kita dapat merujuk pada kasus-kasus penampakan populisme kanan selama ini. Populisme kanan yang anti-pluralisme umpamanya terlihat pada partai-partai ekstrim kanan di Eropa Barat dan partai-partai berorientasi etnis dan ultranasionalis di negara-negara Eropa Timur (Madung, 2018).
Sementara itu, sikap anti intelektualisme berwujud pemutusan aspek diskursus rasional dan keengganan untuk mencari alternatif politik yang lain. Masifikasi gerakan Islam yang dipicu tafsiran yang sempit dan literalistik atas teks Al Maidah 51 dalam kasus Ahok merupakan contoh kasus watak politik populis yang anti-intelektualisme.
Lantas, apakah upaya untuk mengatasi bahaya populisme kanan? Menurut Vedi Hadiz (2013), salah satu indikator yang menyebabkan stagnansi demokrasi di Indonesia adalah minusnya trajektori politik populisme kiri yang mampu memerankan antagonisme mulia atas kekuasaan yang dikuasai para oligark.
Kendatipun demikian, mengangkat gagasan populisme kiri tidak dengan sendirinya menutup diskusi bahwa pathos kekuasaan yang memunggungi demos atau populus dapat diselesaikan. Berkaca dari fenomena Arab Spring di Middle East yang mengemuka beberapa tahun lalu, populisme kiri yang tidak terorganisasi secara politik nyatanya masih dapat dikooptasi dan digagalkan. Segera sesudah musuh (diktatorisme) bersama lenyap, mereka harus menghadapi tantangan lebih berat dalam memelihara persatuan di antara mereka (Heryanto, 2018).
Akan tetapi, yang mau dinarasikan adalah bahwa dominasi politik populis sayap kanan dan minusnya artikulasi populisme kiri sesungguhnya berkontribusi besar bagi stagnansi demokrasi dan artikulasi kemanusiaan.
Untuk sepakat dengan tesis ini, kita hanya perlu berkaca pada sejarah yang pernah menyingkap negativitas dan sadisme gelombang politik sayap kanan yang xenophobic dan eksklusif-reaksioner. Fasisme di Italia, Holocaust yang menusuk batin, pembantaian ribuan ras Yugoslavia, hingga pembantaian ribuan anggota PKI adalah beberapa di antaranya.
Ibaratnya, adalah lebih mulia membangun dunia bersama sambil membiarkan advocatus diaboli senantiasa mengusik kita dengan maksud menyelamatkan kita, daripada mencari kenyamanan eksklusif pada sebuah istana emas sambil merawat ketakutan akan bahaya pencuri yang sigap mengintai di ujung hari.
Beberapa Kendala Demokrasi
Beberapa tahun lalu, tepatnya dalam bursa pilpres 2019, beberapa penulis harian Indoprogress sempat menyepakati bahwa gerakan kiri tidak punya signifikansi politik yang menentukan (Mudhoffir, 2018). Di satu sisi, kesepakatan ini terbilang tentatif. Akan tetapi, ia menjadi adekuat ketika kita jujur dengan realitas sosio-politik sekarang ini.
Buktinya, tak ada satu partai politik atau institusi sosial hegemonik yang secara radikal menjadi kanal dari kelompok masyarakat pinggiran, yang termarjinalkan baik oleh struktur ekonomi yang tidak adil serta lemahnya posisi tawar menawar mereka (bargaining position) dalam medan konsolidasi kebijakan politik. Di sisi lain, sikap tersebut dapat dibaca sebagai ungkapan nyinyir terhadap conditio ekonomi politik pasca-orde baru yang nyatanya masih jauh panggang dari api subtansi demokrasi.
Di Indonesia, kehadiran politik sayap kiri sempat diidentikkan dengan gebrakan Partai Solidaritas Indonesia yang giat menggalang kampanye di media digital. Akan tetapi, harapan ini tampaknya masih pragmatis ketika beberapa tuduhan skeptis menyebutkan bahwa PSI juga tak bebas dari jejaring oligarki. Kendala fundamen yang menghantam demokrasi ini hemat saya disponsori oleh beberapa kenyataan berikut ini.
Pertama, dominasi oligarki pada level kekuasaan dan blok-blok penting ekonomi-politik. Kebanyakan masyarakat terjebak pada euforia reformasi yang dipersepsi bekerja secara naturalistik namun nyatanya merawat luka lama.
Pasalnya, keruntuhan orde baru tidak diikuti delegitimasi jaringan oligarki. Dengan memanfaatkan akumulasi sumber daya material yang besar, para oligark ini berhasil menguasai wilayah kekuasaan, menancapkan taring-taring hegemoniknya dan mendomestifikasi kontrol publik.
Prestasi elektoral Jokowi adalah bukti riilnya. Kemenangan Jokowi yang didasarkan pada konsultasi dan komunikasi langsung dengan konstituen pada kenyataannya tak cukup merestorasi status quo kekuasaan yang in se masih dipelintir para oligark predatoris ini.
Kedua, pasifikasi aktivisme civil society melalui paket pembangunan berwatak developmentalisme, praktik korporatokrasi dan negaraisasi aktor politik populis. Kendala yang ketiga ini mengetengahkan kerja struktural pemerintah dalam membungkam disposisi bersebrangan serta profetisme kritis para aktor.
Developmentalisme merupakan sebuah model pembangunan di mana masyarakat di-subsistensi sebagai subjek pasif yang menerima paket-paket pembangunan sebagai pemberian pemerintah. Sehingga tak heran kalau banyak masyarakat kita (terutama di desa-desa) mengakarakterisasi pembangunan semata-mata pada proyek-proyek infrastruktur fisik saja (Djalong, 2011).
Ketika proyek itu selesai, maka pembangunan pun selesai sambil mereka menunggu kebaikan pemerintah untuk kembali mengalokasikan proyek infrastruktur tersebut di tempat mereka. Dalam konteks developmentalisme, peran demos direduksi sebagai pengemis pemerintah dan birokrasi.
Sementara itu praktik korporatokrasi dan negaraisasi tampak dalam alokasi jabatan publik dan paket-paket profesi bagi para aktivis, intelektual, tokoh populis dan figur publik sebagai imbalan prestasi karena telah mendukung penguasa. Setelah masuk dalam lingkaran kekuasaan, peran mereka sebagi kanal-kanal katalisator kritis kemudian melempem.
Dalam etika keduniawian Hannah Arrendt, orang-orang ini kemudian mengalami krisis dalam aktivitas berpikir atau thoughtless (Koten, 2018). Mereka kemudian tenggelam dalam logika kerja yang kompromistis dan tak mampu berdistansiasi dengan kekuasaan.
Kendala yang pertama dan kedua adalah dua persoalan yang beiringan. Dominasi oligarki berimbas pada usaha untuk memutus mata rantai serta ruh advocatus diabolic berupa usaha membungkam daya kritik serta antagonisme akar rumput. Salah satu contoh praktis watak predatoris oligarki kekuasaan dalam blok-blok ekonomi politik strategis dapat kita lihat umpamanya dalam kebijakan menaikkan secara drastis tarif masuk ke Taman Nasional Komodo oleh Pemprov NTT.
Alih-alih kebijakan ini dibangun atas dalil konservasi, justru yang nampak adalah narasi ketundukkan pemerintah pada dikte pasar serta kuasa aliansi elit yang sedang menderegulasi substansi demokrasi.
Ke-tiga, pada tataran epsitemis, pra-kondisi yang juga berkontribusi dalam kegagalan konsolidasi wacana politik kiri di Indonesia adalah lemahnya tradisi filosofis liberalisme dan sosialisme dalam politik demokrasi kita. Lemahnya tradisi filosofis liberalisme tampak dalam pelanggaran terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia Indonesia.
Sementara itu, gejala keropos tradisi filosofis sosialisme tampak dalam individualisasi manusia Indonesia secara luas dan sistemik. Sehingga tak heran kalau kita mempunyai sistem pendidikan yang 100 persen individualistik dengan sistem penilaian yang berfokus pada prestasi individu. Ekonomi pasar disulap menjadi ekonomi uang sehingga kepemilikan individual terhadap uang amat menentukan hidup-matinya seseorang.
Segala urusan administrasi negara maupun swasta bersifat individualistik murni (kita tak punya KTP kolektif) dan banyak orang tak ambil pusing ketika semakin banyak orang harus secara solitair mencari tempat kerja untuk mempertahankan hidup (Suseno, 1987). Akibatnya, sensibilitas sosial dan moralitas publik yang penting dalam epistemologi gerakan politik sayap kiri menjadi perkakas purba yang mahal di Indonesia.
Merebut Demokrasi: Merancang Populisme Kiri
Dalam terang demokrasi radikal, tugas dari politik adalah membangun populisme kiri yang bisa mendayagunakan kekuatan demos dan mengartikulasikan antagonisme identitas-identitas kolektif (Thomassen, 2016). Oleh karena itu, usaha menggolkan agenda reformasi dan demokratisasi di Indonesia dapat dicapai dengan merancang populisme kiri yang memadai.
Pertama, membangun kerja politis yang terorganisasi dan efektif. Secara teoretis, ide pembentukan kendaraan politik sayap kiri sudah banyak diproblematisasi selama ini oleh intelektual dan pemikir dalam negeri. Akan tetapi, kerja teoretis ini belum bermetamorofosa ke dalam kerja praksis yang riil. Padahal, kerinduan dan suara minor masyarakat akan sebuah kiblat politik yang demokratis semakin kuat mengalir dari pelbagai pelosok negeri.
Kondisi ini seharusnya menjadi pra-kondisi, stimulus dan legitimasi paling mulia bagi para aktivis, intelektual, pegiat sosial, dan aktor-aktor populis untuk merancang dan membangun blok politik kiri yang kuat. Tugas ini tentu tak mudah karena harus dibayar biaya pengorbanan dan kerja luar biasa.
Untuk mewujudkannya dibutuhkan komitmen politik yang utuh melalui opsi keberpihakan pada demos, pelibatan dan konsolidasi pelbagai kelompok kepentingan identitas masyarakat sipil, kesiapan logistik politik, kampanye populistik yang strategis hingga pembentukan blok politik demokratis melalui partai politik.
Kedua, genderang populisme kiri juga dapat dialamatkan pada agama. Agama-agama perlu memerankan mythopoetic pembebasannya melalui agensi sosial, karya profetik emansipatif yang punya sigifikansi politis dan turut serta dalam usaha mengawal demokratisasi.
Salah seorang teolog pembebasan Katolik, Gustavo Gutierres, menekankan bahwa perjuangan masyarakat miskin untuk pembebasan membutuhkan keikutsertaan secara efektif dalam jalur kekuasaan politis dan itu hanya mungkin tercapai lewat formasi kehidupan masyarakat yang demokratis (Banawiratma, 1993).
Dalam kacamata teolog tersebut jelas bahwa peranan agama perlu mendapat bentuk yang politis. Aksi-aksi tersebut perlu disokong oleh pengembangan isi teologi yang sadar konteks. Ada peralihan dari model teologi lama yang individualistik dan menekankan moralitas privat menuju ethico sosial.
Ketiga, sebagai proyek dan kerja jangka panjang, usaha untuk merancang populisme kiri secara sederhana dapat diperjuangkan secara bersama-sama melalui gerakan penyadaran kolektif. Setiap insan yang punya komitmen politik populis perlu senantiasa mendukung dan mengampanyekan keberpihakan pada konstituen, merawat sensibilitas sosial, membangun jaringan kerja sama dan senantiasa mengawal gerak jalan demokrasi. Hal ini bisa berwujud umpamanya via sikap politik keberpihakan, partisipasi lewat menulis di media massa, terlibat dalam diskusi publik dan upaya merawat nilai-nilai bersama yang etis (common goods).
Hingga akhirnya pujian tak tanggung-tanggung bahwa demokrasi adalah the only game at the town mendapat legitimasi dan justifikasinya.
*Penulis adalah ASN Kementerian Agama