Istri yang Baik (Ketika Suami Gangguan Jiwa)

Oleh: Avent Saur*

Apa yang kita sebut dengan kebaikan selalu bersifat relatif. Bahkan sangat subjektif. Apa yang orang ini sebut baik, belum tentu baik bagi orang lain.

Namun sekalipun kebaikan pada umumnya relatif, bahkan subjektif, tetapi ada kebaikan-kebaikan objektif; paten dan permanen. Pada mata siapa pun, kebaikan itu tetap baik. Sedikit pun, sifatnya tak berubah. Pada perasaan moral siapa pun, kebaikan itu konsisten pada sifatnya sendiri yakni baik.

Tentu saya secara khusus mengacu pada pergumulan hidup seorang istri saat berhadapan dengan suami yang mengalami gangguan jiwa. Ada sekian banyak narasi pergumulan itu, tetapi saya hanya ingin mengutarakan satu.

Pada sebuah kampung di Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, seorang Ibu berjuang menghadapi suaminya yang menderita gangguan jiwa selama kurang lebih 15 tahun.

Sepanjang hari dan bertahun-tahun, ia coba terus bertahan di hadapan keadaan suami yang agresif, yang kacau, yang mengganggu kenyamanan rumah tangga, bahkan kenyamanan sosial. Ia juga bergelut dengan pekerjaan sebagai petani untuk menyokong ekonomi rumah tangga, menghidupi tiga anak yang masih usia anak.

Ia terus bertahan. Tetapi karena secara sosial, masyarakat tak bertahan di hadapan kelakuan suaminya, keluarga besar dan masyarakat pun mengambil solusi pidana tradisional yakni pemasungan.

Suaminya dipasung pada dua kaki dengan menggunakan kayu balok, lalu ditempatkan di pondok yang sengaja dibangun untuk pemasungan itu. Pondok itu tak beratap, juga tak berdinding. Ya, untuk kondisi seperti ini, saya sering menyebutkan “pondok berdindingkan ujung-ujung bumi, pondok beratapkan langit.”

***

Tak lama berselang, sang istri bersama anaknya meninggalkan kampung itu, meninggalkan suaminya.

Kenapa? Ia rupanya tak mampu bertahan pada situasi itu; bukan tak mampu bertahan menghadapi suaminya, melainkan tak mampu bertahan menghadapi kondisi keluarga besar dan masyarakat sekampung yang memasung suaminya.

Hari-hari hidupnya ia jalani dengan banjiran air mata. Di kedalaman perasaannya, ia menjerit kesakitan. Bukannya ia menangis dan menjerit karena suaminya menderita, melainkan karena tak tega menyaksikan kekasihnya yang terpasung dalam kondisi menyakitkan.

Lebih daripada itu, ia menangis dan menjerit karena ia tidak ingin tiga buah hatinya yang masih usia kecil itu harus menyaksikan ayah mereka dalam keadaan yang tidak manusiawi. Spontan saja ia berpikir bahwa kondisi psikis anak-anak akan berubah ke arah keburukan jika setiap hari menyaksikan keadaan ayah mereka.

Itulah sebabnya ia bersama anak-anak pergi ke tempat cukup jauh, ke kampung orangtuanya. Mulai dari angka nol, ia coba menata kembali ekonomi keluarganya, coba mencari kemungkinan-kemungkinan ekonomi yang memadai buat masa depan anak-anaknya.

Sendirian ia bergelut, sambil menghibur dan menguatkan serta mendidik anak-anaknya yang sedikit pun belum paham apa arti kehidupan di dunia fana ini.

Kurang lebih sudah sembilan tahun berlalu. Proses pergumulan hidup dalam durasi yang panjang itu tentu tidak semudah yang kita bayangkan.

Ia mendengar kabar bahwa sang suami sudah dilepaskan dari pasungan. Namun tak sedikit pun dalam pikiran dan perasaannya akan kembali hidup bersama suaminya. Seakan-akan ia tak peduli pada kabar itu. Sebagaimana biasa, ia tetap berjalan maju mengayun sampan keluarga kecil yang kesejahteraannya tak seberapa.

***

Ada pun keadaan suaminya, ketika masih dalam pasungan, saya tahu setelah mendengar kabar dari sukarelawan Kelompok Kasih Insanis Manggarai Barat. Sukarelawan juga mengetahuinya dari orang-orang lain di kampung tetangga.

Saya coba mendorong sukarelawan untuk segera melakukan kunjungan, membuat pendataan yang mendetail, dan kalau memungkinkan, kita akan berkonsultasi pada tenaga kesehatan agar suaminya itu segera diberikan layanan medis.

Tidak butuh waktu lama, para sukarelawan menyusuri jalur riskan menuju kampung pemasungan itu. Mereka menemukannya dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Dalam gambar yang dikirim kepada saya, tampak sekali, selama sembilan tahun terpasung, suaminya kurang dirawat sedikit pun, selain diberikan makanan dan minuman ala kadarnya.

Badannya kurus kerempeng, tak berpakaian sehelai pun. Penuh daki pula. Rambutnya panjang tak terurus, juga kuku jari-jemari kaki dan tangannya memanjang dan mengeras.

Pondok pasungannya yang tak beratap dan tak berdinding itu sudah sangat reyot. Tiang-tiang penyanggah sudah lapuk. Sukarelawan cemas bahwa pondok itu pasti akan roboh dan tentu sangat membahayakan nyawa manusia pasung itu.

Satu hal yang relawan patut syukuri adalah bahwa keluarga dekat dan keluarga besar dari suamnya itu bersedia untuk menempuh proses pemulihan secara medis. Pengobatan pun segera dimulai, dan hari itulah awal dari proses panjang pemulihannya.

Dan kepulihan itu direngkuh pada tahun kedua. Keluarga dan masyarakat sepakat untuk melepaskan dia dari kayu hinaan itu. Bahkan mereka bersepakat untuk merayakan upacara syukur baik secara budaya maupun agama. Saya diminta untuk menghadiri syukuran itu.

Namun permintaan itu tidak dengan mudah saya kabulkan. Saya coba berikan syarat kepada keluarga dekat dan keluarga besar di kampung itu. “Saya akan ke kampung itu jika kalian mengurus kepulangan sang istri dan anak-anaknya.”

Syarat itu tentu tidak terbilang mudah. Cukup sulit, bahkan sangat sulit. Sebab sudah sembilan tahun lamanya, keluarga di kampung itu tak sedikit pun berkomunikasi dengan sang istri dan anak-anak. Sang istri dan anak-anak juga tak sedikit pun mengunjungi suaminya dan ayah mereka. Komunikasi terputus.

Nah bagaimana komunikasi itu bisa tersambung kembali? Tentu ini bukan perkara mudah, tetapi bukan tidak bisa. Saya pun mendorong keluarga dari sang suami untuk dengan perasaan hati yang kacau seperti apa pun, harus menjalin kembali komunikasi itu. Tidak membutuhkan waktu yang lama, komunikasi itu kembali terjalin.

Bagaimana hal itu menjadi mungkin? Pada pikiran dan perasaan sang istri, ia tahu bahwa dirinya adalah istri dari sang suami yang terpasung itu. Anak-anaknya adalah juga anak-anak dari suaminya.

Pada pikiran dan perasaan sang istri, dalam hari-hari hidupnya, ia terus menanti-nantikan suatu hari di masa depan yang jauh sekali, akan kembali tinggal di bawah satu atap bersama sang suami. Secara fisik, ia bersama anak-anak meninggalkan sang suami, tetapi secara afektif ia tetap tinggal bersama sang suami.

Karena itu, bak gayung bersambut, sekalipun keluarga dekat dan keluarga besar dari sang suami pergi dengan berat hati untuk menjalin kembali komunikasi yang terputus selama sembilan tahun, pada mata sang istri kehadiran mereka adalah sebuah kegembiraan yang tak terbandingkan.

Sang istri bersama anak-anak yang saat itu sudah menginjak masa remaja tak membutuhkan waktu lama untuk kembali ke kampung sang suami dan ayah mereka, serta kembali tinggal serumah.

***

Hari syukur itu pun tiba. Dari Ende, saya bersama teman sukarelawan segera menempuh perjalanan menuju sebuah kampung di sudut wilayah Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores itu. Matahari sudah terbenam di ufuk barat ketika kami tiba di kampung itu, di rumah keluarga itu.

Yang saya peluk pertama tentu adalah korban pasung yang sudah bebas dari penderitaannya yang mengerikan, kemudian mendekat ke sang istri dan anak-anak mereka.

Dan saya mengajak sang istri dan sang suami serta anak-anak untuk saling berpelukan. Kami semua spontan bertepukan tangan sepanjang mungkin, sekuat mungkin, dan senyaring mungkin.

Tak sedikit pun kata-kata yang saya ucapkan. Mereka semua pada terharu dan tak mampu menahan air mata.

Rupanya pikiran mereka yang dihantui aneka hal yang rumit telah terurai. Rupanya perasaan mereka yang diwarnai hitamnya kegelapan hidup telah disinari cahaya harapan. Rupanya dada mereka yang disesaki sekian banyak perkara telah dilegakan dengan angin segar yang menenangkan.

Malam itu adalah malam kelahiran baru bagi keluarga kecil itu, juga malam kegembiraan buat keluarga besar di kampung itu. Kami semua melewati malam itu dengan aneka narasi masa lalu yang gelap; narasi kebuntuan hidup, narasi jeritan nurani yang tak habis-habisnya, narasi hidup berumah tangga yang runyam, narasi hidup sosial yang cengkeram, dan narasi tentang Tuhan yang seakan-akan malas tahu pada keadaan umat yang dengan setengah mati beriman pada-Nya.

Pada setiap narasi itu, kami selipkan edukasi kesehatan jiwa. Kami selipkan gurauan dan tawa ria, senyuman yang semanis-manisnya dan wajah yang berseri-seri serta saling meneguhkan dalam hidup dan dalam beriman kepada Tuhan yang adalah pribadi yang tak akan pernah berubah dari awal sampai selama-lamanya; Tuhan yang adalah awal dan akhir dari ziarah fana hidup manusia.

***

Nah istri yang baik? Apa modalnya?

Kiranya kita tidak perlu menundukkan kepala untuk memikirkan pengertian mendalam tentang istri yang baik. Kiranya kita juga tidak perlu mengangkat muka untuk mengimajinasikan teori yang jauh di langit tentang istri yang baik.

Satu saja modalnya yakni berpegang pada sumpah yang pernah diucapkan mulut, hati, dan pikiran sendiri; konsistensi pada komitmen yang pernah diucapkan kepada satu sama lain antara suami-istri.

Dan substansi dari modal itu adalah “Sebab mereka bukan lagi dua, melainkan satu.” Lebih daripada itu, “Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.”

Dan lagi, “saya berjanji untuk menjadi istri/suami yang baik dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya berjanji untuk setia padanya sampai akhir hidup.”

Sebagaimana sebuah pasangan suami-istri pada umumnya, substansi modal itu sangat mudah diucapkan. Namun kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa menjalani ucapan yang mudah itu sungguh sangat sulit diamalkan terutama ketika rumah tangga dilanda kemalangan dan sakit.

Istri dari sang suami korban pasung itu telah melewati kesulitan itu dengan berani dan kuat. Ia menikmati proses-proses itu tanpa kehilangan kebahagiaan. Sebab kebahagiaan ada pada kedalaman perasaan tiap-tiap orang, dan tak pernah sedikit pun dirampas oleh siapa pun dan oleh keadaan apa pun.*

*Pendiri Sukarelawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa NTT

spot_img
TERKINI
BACA JUGA