Oleh: Agustinus Tetiro
Gubernur terpilih Nusa Tenggara Timur (NTT) Emanuel Melkiades Laka Lena langsung angkat bicara soal proses lelang jabatan pengurus Bank NTT. Dengan sangat tegas, Melki mengatakan, gubernur dan wakil gubernur terpilih NTT, Johni Asadoma, tidak pernah memberikan persetujuan untuk lelang jabatan pengurus badan usaha milik daerah (BUMD), termasuk Bank NTT. Lelang jabatan ditunda sementara dan akan digelar setelah pelantikan, yang dijadwalkan pada 7 Februari 2025.
Itu artinya, ada pihak yang melakukan pencatutan. Tentu saja, hal ini salah secara hukum dan sangat tidak etis jika dilihat dari perspektif moral.
Kita tidak perlu lagi memperluas dan memperlebar permasalahan. Opini ini hanyalah suatu upaya untuk menyumbangkan pendapat pribadi penulis tentang optimalisasi kinerja Bank NTT dari salah satu perspektif yang mungkin agak unik untuk kebanyakan orang, etika bisnis.
Optimalisasi Posisi Strategis Bank NTT
Penegasan pernyataan Melki Laka Lena dan ketegasan pilihan sikap pasangan gubernur-wakil gubernur terpilih NTT Melki-Johni perlu diapresiasi. Salah satu ciri pemimpin yang berintegritas adalah mampu mengantisipasi rancangan tangan-tangan nakal atas apa saja yang seharusnya digelar dan dilakukan secara transparan dan accountable.
Dalam konteks suksesi pengurus Bank NTT, hal ini menemukan urgensinya. Salah satu janji politik Melki-Johni di bidang ekonomi adalah memastikan hilirisasi (non-tambang). Secara sangat singkat, hilirisasi berarti memastikan setiap tahapan kegiatan ekonomi mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi terjadi dalam salah satu wilayah atau teritori tertentu.
Salah satu contoh sederhana: pisang dari Ngada langsung bisa diolah di NTT untuk menjadi banana pie atau banana cakes dan menjadi produk unggulan NTT yang berdaya saing dengan produk-produk sejenis di Bali dan Surabaya.
Contoh sederhana ini penting, karena ada pengalaman miris di mana orang NTT menjual pisang ke luar pulau, lalu membeli olahan kue pisang atau banana cakes di bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali.
Melki Laka Lena pernah mengatakan, “Hilirisasi amat penting, agar (dengan nilai lebih dari produk yang ada) masyarakat bisa pegang uang makin banyak”
Prioritas pada program hilirisasi ini membutuhkan mesin ekonomi yang memastikan likuiditas. Pada titik kebutuhan ini, Bank NTT menjadi jantung dan motor perekonomian menyusul sejumlah fungsi tradisionalnya sebagai bank.
Ada sekurang-kurangnya 4 (empat) fungsi bank (J. Boatright, 2001:476). Pertama, bank sebagai pengantara untuk pembayaran atas nama nasabah kepada (dan dari) pihak lain. Orang tua dari seorang mahasiswa asal Kefamenanu yang mengambil kuliah di Malang atau Yogyakarta bisa mengirimkan uang kepada anaknya melalui bank, termasuk dengan menggunakan layanan e-banking. Begitu juga dengan seorang anak yang merantau di Batam mengirimkan uang kepada orang tuanya di So’e.
Kedua, bank menyimpan uang kita dengan aman. Daripada uang hasil penjualan cengkih pasangan pasutri di Mauponggo ditaruh di bawah bantal, sebaiknya uang disimpan di bank.
Ketiga, bank memberi pinjaman kepada masyarakat untuk membuka usaha baru dan untuk ekspansi usaha yang telah berjalan. Uang pasutri di Mauponggo yang disimpan di bank NTT bisa dipinjam oleh seorang pemuda di Waingapu yang berniat membuka usaha kafe atau vila untuk wisatawan.
Keempat, bank menanggung risiko dalam kegiatan simpan-pinjam uang. Di bawah pengawasan Bank Sentral dan sejumlah lembaga terkait, manajemen perbankan terjamin aman dan dikelola secara baik.
Dalam perkembangannya, terutama di era digital dengan segala disrupsinya, bank kemudian memainkan peran lebih dari sekadar fungsi-fungsi tradisional. Salah satunya adalah menjadi semakin besar melalui merger dan akuisisi.
Selain simpan-pinjam, bank juga bisa melayani valuta asing, asuransi, sekuritas, dan lain-lain. Termasuk adanya lembaga seperti institute untuk sejumlah kebutuhan riset dan pengembangan bank itu sendiri.
Bank NTT sebagai bank pembangunan daerah (BPD) perlu didorong untuk mampu memainkan peran-peran yang lebih inovatif secara akseleratif, sambil tetap menjaga kesehatan bisnis, relevansi kinerja dengan konteks kebutuhan masyarakat, dan mampu bersaing dengan BPD-BPD sejenis dan seukuran, serta berorientasi pada BPD-BPD yang telah berada pada satu atau dua tingkat di atasnya.
Sebagai jantung perekonomian NTT dan motor pembangunan Flobamorata, Bank NTT harus berada pada satu level manajemen yang profesional. Mungkin pada langkah-langkah awal ini, kita membutuhkan jasa konsultasi keuangan (financial advisory) yang bisa menentukan orientasi dan arah pengembangan Bank NTT secara tepat sasar dan terukur.
Tidak perlu membayangkan kita menyewa lembaga konsultasi keuangan yang mahal-mahal. Dengan jaringan yang ada, saya yakin, Melki-Johni telah menemukan banyak pihak, terutama warga NTT diaspora yang profesional di bidang industri perbankan, untuk urun-rembug membantu Bank NTT.
Pada gilirannya, suatu saat nanti, kita bisa menemukan Bank NTT yang sehat dan menjadi mega-bank dengan sejumlah diversifikasi usaha dan pelayanan jasa keuangan yang kreatif dan produktif bagi NTT.
Dalam proses hilirisasi kegiatan ekonomi, Bank NTT harus sampai pada suatu titik menjadi jembatan atau mediator bagi semua jenis usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masuk dalam incubator bursa efek Indonesia (BEI) untuk memastikan makin banyak UMKM NTT bisa go public dan mampu menggalang dana dari pasar modal dan sejumlah sumber pendanaan lainnya. Ini hanya ditampilkan satu contoh ilustrasi kecil dari banyak hal yang bisa dicapai jika Bank NTT telah menjadi suatu lembaga keuangan yang berkualitas.
Aspek Etis Bisnis Perbankan
Pemberitaan tentang pencatutan nama Melki-Johni dalam proses rekrutmen pengurus Bank NTT tentu saja menjadi sentimen negatif untuk semua ikhtiar kita menjadikan Bank NTT sebagai motor pembangunan dan jantung perekonomian. Hal ini langsung berkaitan dengan aspek-aspek etis dalam bisnis industri perbankan.
Pengajar Etika Bisnis Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Kees Bertens (1936-2024) memberikan penekanan pada tiga aspek etis dalam bisnis industri perbankan. Pertama, kebaikan bersama (the common good). Adalah rahasia umum bahwa masuk dalam jajaran direksi (board of directors/BOD) dan jajaran komisaris (board of commissioners/BOC) perbankan berarti akan menerima gaji yang fantastis.
Kendati demikian, menjadi komisaris dan direktur pada perbankan seperti BPD Bank NTT yang tugas utamanya menjadi motor pembangunan tidak boleh hanya berpikir tentang gaji dan bonus yang besar, tetapi wajib memperhatikan kebermanfaatan bank bagi banyak orang. Kepentingan diri individu tertentu tidak pernah boleh bertentangan dengan kebaikan bersama seluruh warga NTT.
Kedua, dunia perbankan harus selalu bisa dipercaya. Kepercayaan (trust) adalah tuntutan etis terpenting dalam bisnis perbankan. Oleh karena itu, transparansi menjadi keharusan.
Jika kita memandang pada bank-bank yang bonafid, transparansi berjalan bersama dengan akuntabilitas: mereka membuat laporan yang lengkap sekaligus jujur atas semua kinerja keuangan mereka setiap bulan, setiap kuartal, setiap semester, setiap tahun. Hal lain yang perlu dicatat mengenai trust ini adalah: manajemen risiko menjadi salah satu karakter dasar profesi bankir.
Ketiga, dunia perbankan tidak boleh serakah. Don’t be greedy! Kita tentu mengamini bahwa bisnis perbankan bukan merupakan suatu lembaga karya amal, akan tetapi keserakahan para komisaris dan jajaran direksi bisa membuat visi kebaikan bersama (bonum commune) menjadi kian menjauh.
Keserakahan itu bukan hanya soal korupsi, tetapi juga pembusukan dalam penetapan sumber daya manusia (SDM): karyawan dan pegawai Bank NTT. Sayup-sayup terdengar, perekrutan pegawai bank sangat bergantung pada kedekatan dengan para penguasa lokal seperti kepala daerah dan wakil rakyat.
Saya membayangkan, dalam semangat kolaborasi dan penguatan serta pemutakhiran kinerja, perekrutan pegawai Bank NTT memperhatikan secara serius portfolio pelamar yang mungkin dalam satu-dua tahun pernah berkarya di sejumlah bank besar sekelas himpunan bank milik negara (Himbara), BCA, Citibank, CIMB Niaga dan sejenisnya.
Pada akhirnya, perlu diakui, tilikan dari perspektif etika bisnis yang serba singkat ini hanya salah satu cara sumbang saran untuk optimalisasi Bank NTT sebagai motor pembangunan dan jantung perekonomian NTT.
Aspek-aspek etis ini perlu dilengkapi dengan regulasi dan supremasi hukum yang tegas serta panduan teknis yang tepat-sasar. Sehingga, suatu saat ketika membaca tagline Bank NTT “Melayani Lebih Sungguh”, kita boleh yakin bahwa pelayanan yang sungguh itu memang diarahkan agar masyarakat makin berdaya dan mandiri secara ekonomi, sebagaimana mimpi Melki-Johni dan kita semua: NTT yang Sejahtera.
*Penulis seorang jurnalis ekonomi-bisnis & peminat etika perbankan