Kian Banyak Warga Desa di Flores yang Merantau Akibat Perubahan Iklim

Ende, Ekorantt.com – Patrisius Sae (50) kelihatan tidak tenang. Sesekali ia keluar rumah dan memantau hujan yang belum berhenti mengguyur Kampung Serowaru, Desa Liabeke, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende, 31 Oktober 2022 lalu.

Di luar sana, hujan semakin lebat. Kabut pekat berangsur pudar karena guyuran hujan yang deras. Hawa dingin nan sejuk masuk melewati celah dinding rumah.

Patrisius dan istrinya Elisabeth Mbae (51) baru saja pulang dari kebun yang berjarak sekitar 3 kilometer dari kampung. Setelah berganti pakaian, mereka menempati kursi di pendopo tengah, ruang antara dapur dan rumah besar.

“Bagaimana mau panen cengkih, kalau cuaca begini terus,” keluh Patris sembari membakar rokok yang terselip di jari tangannya. “Kita mau beli beras pakai apa?”

Seperti warga lain di Liabeke, pasutri tujuh anak ini sangat bergantung pada hasil pertanian. Mereka memiliki empat bidang tanah yang ditumbuhi tanaman perdagangan. Ada cengkih, kakao, dan kemiri. Tiga tanaman ini sangat cocok dengan keadaan tanah di dataran tinggi seperti di Desa Liabeke.

iklan

Sayangnya, panenan cengkih merosot tiga tahun terakhir, bahkan belum berbuah sama sekali. Padahal, umumnya cengkih bisa dipanen sejak Juni hingga Oktober.

“Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang musim hujan tidak jelas, musim kemaraunya kapan juga tidak jelas. Pengaruhnya ke tanaman kami petani,” ujar Patris.

Patris biasa memanen cengkih hingga ratusan kilogram pada tahun-tahun yang lalu. Hasil jualan cengkih tersebut bisa mencapai puluhan juta rupiah. Dan itu tidak berlaku tahun ini: nihil.

“Menurut saya penghasilan cengkeh itu paling bagus dan menjanjikan karena selain biaya uang untuk anak sekolah, kebutuhan sehari-hari dalam rumah tangga, juga bisa membantu kami dalam membayar utang,” tutur Patris.

Beruntung Patris dan Elisabeth masih memiliki kebun kemiri yang hasilnya relatif stabil sehingga bisa menopang ekonomi keluarga. Tapi itu pun mereka harus menghemat pengeluaran agar bisa bertahan hidup.

Patris dan Elisabeth tidak sendirian. Hal serupa dialami Alfonsius Mbete (33). Sebagai seorang petani, ia kesal dengan cuaca yang tidak menentu. Bagaimana tidak, cuaca sangat memengaruhi produksi tanaman kakao. Kakao akan berbuah lebat bila cuacanya stabil. Sebaliknya, panenan merosot bila cuaca tidak stabil.

Dua tahun terakhir, kata Alfonsius, produktivitas kakao di kebun miliknya menurun akibat kelebihan musim hujan. Biji kakao rusak karena kelebihan air.

“Cuacanya tidak bagus, karena di saat bunganya sudah mulai muncul, banyak yang gugur karena hujan terus,” tuturnya.

“Ada bagusnya hujan untuk pertumbuhan kakao, tetapi kalau hujannya terus-menerus dengan sendirinya biji yang ada dalam buah kakao tersebut akan hitam dan rusak semua,” lanjutnya.

Alfonsius mengatakan, dia memanen kakao bisa mencapai 28 kilogram per minggu, tetapi sekarang hanya 5 kilogram. Belum lagi harga kakao yang tidak bersahabat. Dulu petani bisa menjual harga kakao dengan harga Rp28 ribu per kilogram, tahun ini harganya turun sampai Rp24 ribu per kilogram.

“Untungnya terbantu dengan adanya kemiri untuk memenuhi pendapatan keseharian kami meskipun tidak sebanyak yang kami dapatkan dari hasil kakao,” ungkapnya.

Walaupun panenan sedikit, Alfonsius tetap membersihkan dan merawat kebun kakaonya dua hingga tiga kali sebulan.

“Semoga cuacanya kembali normal lagi seperti tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya penuh harap.

Koordinator Bidang Observasi dan Informasi Stasiun Klimatologi Nusa Tenggara Timur, Fera Adrianita mengakui bahwa perubahan iklim mulai terasa. Hal ini ditandai dengan tren peningkatan suhu dan curah hujan.

“Saat ini ENSO sedang pada  kategori La Nina Moderate, hal ini menyebabkan awal musim di beberapa wilayah NTT maju dari normalnya (lebih awal), dan juga sifat hujan bulanan dari Oktober hingga November di atas normal di beberapa wilayah,” jelas Fera.

Tren suhu minimum di wilayah NTT mengalami kenaikan terbesar dibandingkan dengan suhu rata-rata dan suhu minimum, yaitu sebesar 0,033 derajat celsius per tahun.

Sedangkan tren peningkatan suhu rata-rata pada umumnya sebesar 0,016 derajat celsius per tahun dan tren peningkatan suhu maksimum pada umumnya sebesar 0,019 derajat celsius per tahun.

Merantau

Produktivitas pertanian yang menurun akibat perubahan iklim mendorong orang untuk mencari jalan keluar untuk bertahan hidup. Hal tersebut dirasakan oleh warga Desa Liabeke. Sebagian warga terpaksa merantau daripada menetap di kampung karena tidak ada penghasilan.

Matias Mite (62) menuturkan, kalau pun tinggal di kampung dalam keadaan tidak ada penghasilan seperti ini, maka jalan keluarnya adalah merantau.

“Mau jual hasil apa, makan-minum setiap hari saja setengah mati, lebih baik merantau dan menghasilkan uang,” kata Matias.

Matias baru kembali dari Kalimantan. Ia kebetulan bekerja sebagai buruh bangunan selama enam bulan di sana.

“Itu pun saya kerja di tempat keluarga, kebetulan ada bantu untuk bangun rumah dan saya digaji,” ujarnya.

Meski merantau hanya beberapa bulan, ia mampu meraup untuk Rp10 juta. Uang itu dipakai untuk keperluan harian dan tambahan dana untuk pembangunan rumahnya.

Upaya yang sama dilakukan Maria Goreti Oje Maku dengan mengizinkan suaminya Dionisius Wangge merantau ke Kalimantan. Berat memang rasanya, tapi mau bagaimana lagi, hidup semakin terdesak.

“Awalnya saya agak sedih harus merelakan suami pergi merantau, kasih tinggal saya dengan anak-anak yang masih kecil tapi mau bagaimana, terpaksa harus merelakan suami saya untuk pergi,” ujar ibu tiga anak ini.

Dionisius sempat kembali ke kampung, lalu balik lagi karena ada panggilan untuk bekerja. Ia bekerja sebagai buruh bangunan, tidak seperti orang Flores pada umumnya yang pergi ke Kalimantan untuk bekerja di lahan sawit.

“Benar-benar sangat membantu saya untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga dan kebutuhan anak, karena mendapatkan kiriman uang dari suami saya,” ungkapnya senang.

Kepala Desa Liabeke, Robertus Raja mengatakan perubahan iklim sangat memengaruhi ekonomi masyarakat setempat. Pasalnya, sekitar 206 kepala keluarga di Liabeke menggantungkan nasibnya dari pertanian.

Menurut Robertus, lahan pertanian di Desa Liabeke ditumbuhi dengan berbagai macam jenis tanaman. Mulai dari kakao, kemiri hingga pisang. Beberapa petani juga menanam padi ladang.

Sebagian besar warga desa, kata Robertus, masih menerapkan sistem pertanian tradisional. Mana kala ada kendala, para petani kerap keteteran menghadapinya. Itu terlihat saat menghadapi perubahan iklim seperti sekarang.

Robertus mengatakan, pihaknya hanya bisa memberikan sosialisasi kepada petani untuk mengantisipasi cuaca yang tidak menentu. Di sisi lain diberikan pula bantuan pupuk dan alat pertanian.

Tapi hal itu tidak cukup. Robertus membutuhkan kerja sama semua elemen yang ada baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun desa berkolaborasi dalam membantu kesulitan para petani.

“Supaya petani kami bisa sukses untuk ke depannya dengan dorongan dan anggaran yang diberikan pemerintah,” tandasnya.

Saat dimintai tanggapan, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Ende, Marianus Alexander mengatakan bahwa pihaknya tidak mendapat alokasi DAK untuk perkebunan. Yang ada hanya alokasi dana desa yang digunakan untuk peningkatan ekonomi dan “bisa desa bersama masyarakat merencanakannya untuk penanganannya.”

“Kami tahun ini hanya dapat untuk non fisik, pelatihan tematik bagi PPL saja. Bidang perkebunan tidak ada,” ujarnya.

Pendidikan Iklim

Ketua Badan Pengurus Yayasan Tana Nua Flores, Hironimus Pala mengusulkan perlu ada kebijakan dari pemerintah. Selain kebijakan anggaran, yang paling penting ialah pendidikan mengenai perubahan iklim.

“PPL harus diberdayakan dan beri sosialisasi kepada masyarakat mengenai cerdas iklim. Kurangi memberi pupuk kimia. Pupuk kimia baik tapi tanaman tidak tahan lama, termasuk dapat menurunkan kesuburan tanah,” kata Hironimus.

“Sosialisasi pupuk organik, humus dari dedaunan atau kotoran hewan. Daerah Lio Timur itu rata-rata produksi kakao, perlu perkuat ke wilayah itu. Ada juga pendidikan pertanian di sekolah-sekolah melalui muatan lokal,” sambungnya.

Menurut Hironimus, dinas terkait mesti memberi pemahaman terkait perubahan iklim yang berdampak pada aktivitas pertanian.

“Petani perlu beradaptasi dengan lingkungan dan iklim yang terjadi, perlu pemahaman yang mendalam oleh petani, karena bukan saja tanaman kakao tetapi berdampak juga terhadap tanaman lain dan ternak,” jelasnya.

Kemudian, kata Hironimus, demi meminimalisir gagal panen, ada beberapa teknologi yang perlu dikembangkan, misalnya, di sekitar pohon kakao ditutupi dengan batang pisang demi mengurangi penguapan. Sementara ada juga irigasi tetes. Teknologi ini sebenarnya untuk meminimalisir terhadap kekeringan.

“Perlu diberi pupuk organik perangsang akar, pupuk organik perangsang bunga buah, serta kurangi penggunaan bahan kimia dalam pengendalian hama dan penyakit,” tandasnya.

Di sisi lain, Philipus Kami dari AMAN Nusa Bunga meminta pemerintah untuk membangun ketahanan pangan demi mengantisipasi gagal panen. Hal yang juga mesti diperhatikan pemerintah adalah mengantisipasi gejala gagal panen sejak dini.

“Sehingga kalender musim penting diperbaiki sejalan dengan perubahan cuaca yang tidak menentu yang sangat berdampak bagi bunga buah komoditi tertentu,” ujarnya


Nivan Gomez & Nofia Rosmalinda Ona

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA