Urgensi Soft Skill

Oleh: Viviana Murni*

Hard skill merupakan kemampuan akademik yang penting dimiliki oleh seseorang. Dalam bidang pendidikan, hard skill menjadi pusat perhatian yang harus dikembangkan. Pengembangan hard skill melibatkan proses yang didukung oleh metode-metode dan diakhiri dengan evaluasi.

Hard skill berorientasi pada kemampuan intelektual (intelligence quotient) sehingga mudah untuk diperoleh di sekolah.  Akan tetapi, soft skill juga sangat penting dimiliki oleh seseorang dalam keberlangsungan hidupnya.

Soft skill berkaitan dengan kemampuan seseorang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (interpersonal skills) dan dirinya sendiri (intrapersonal skills). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mengimbangi hard skill dan soft skill peserta didik.

Menurut penelitian Tang (2020), pembelajaran yang dibarengi soft skill lebih dini akan menghasilkan individu yang memiliki karakter kepribadian positif, tangguh, dan sukses dalam karier. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Mendikbud (2020), yaitu hard skill dan soft skill sama pentingnya.

iklan

Kebutuhan Dunia Kerja

Dewasa ini, dunia kerja tidak hanya membutuhkan pengetahuan secara teknis, tetapi kemampuan berkomunikasi, integritas, dan bernegosiasi pun menjadi tuntutan pada abad 21, di mana soft skill diperlukan untuk survive dalam industri 4.0.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harvard University, Carnegie Foundation dan Stanford Research Center, Amerika Serikat mengatakan bahwa soft skill bertanggung jawab sebesar 85% bagi kesuksesan karier seseorang, sementara hanya 15% disematkan pada hard skill.

Hal ini dikuatkan dengan kajian Depdiknas RI pada 2009, yang menyatakan bahwa kesuksesan seseorang dalam pendidikan, 85% ditentukan oleh soft skill.

Selain itu, buku Lessons From The Top yang ditulis oleh Thomas J. Neff dan James M. Citrin (1999), mengatakan bahwa kunci sukses seseorang ditentukan oleh 90% soft skill dan hanya 10% saja yang ditentukan oleh hard skill.

Kesimpulannya, soft skill lebih dibutuhkan oleh perusahaan atau dunia kerja dari pada hard skill, keberhasilan dalam bekerja ditentukan dengan 75% oleh soft skill dan 25% oleh hard skill (Klaus, 2010).

Pada sisi lain, soft skill juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari; di mana soft skill melahirkan living skill yang berkaitan dengan keterampilan seseorang saat menjadi problem solver.

Seseorang yang memiliki living skill yang tinggi mampu memecahkan masalah sehari-hari secara efektif dengan proaktif mencari solusi yang baik. Living skill meminimalisir terjadinya peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan, seperti depresi yang berujung pada bunuh diri (Matteson et al., 2016).

Jadi, sebagai bagian dari soft skill, living skill membantu seseorang memiliki kecakapan hidup sebagai bekal menyelesaikan permasalahan hidup dari berbagai aspek dan menghadapi tantangan di masa yang akan datang.

Ada sepuluh (10) soft skills yang dirampung dari berbagai sumber akan menjadi pusat perhatian bersama, yaitu critical thinking atau kemampuan berpikir kritis, komunikasi yang baik, kecerdasan emosi, integritas, gaya hidup sehat, kepemimpinan, public speaking, kemampuan beradaptasi, team work (kolaborasi), kreatif dan inovatif.

Sejatinya, soft skills dilahirkan dan dibentuk, sehingga setiap individu berpeluang untuk mengembangkannya melalui bantuan berbagai pihak.

Namun demikian, dalam perjalanan, soft skill diukur melalui etika karakter seseorang (Anwar, dkk, 2020). Etika merupakan prinsip-prinsip moral yang mengukur baik dan buruk, salah dan benar perbuatan seseorang. Banyak orang yang memiliki kepribadian menarik, tetapi ternyata koruptor kelas kakap, inilah yang terjadi di Indonesia.

Menurut Covey, etika kepribadian bukanlah primer, melainkan sekunder. Sedangkan etika karakter bersumber dari kumpulan kebiasaan yang dijalankan berulang-ulang. Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang, meminjam kata-katanya Aristoteles.

Di sini, karakterlah yang harus dibangun dan dikembangkan terus-menerus, sementara kepribadian karena bersifat sekunder, otomatis akan mengikutinya. Lebih jauh, peningkatan soft skill harus terencana, terprogram, dan tersistem dan juga membutuhkan mentor.

Semua bertujuan pada esensi pengembangan soft skill, yakni meningkatkan kualitas hidup, mengembangkan, dan menyiapkan diri menjadi pribadi yang produktif dan sesuai dengan tuntutan dunia kerja.

Terdapat 4 (empat) metode yang bisa dilakukan untuk meningkatkan soft skill di sekolah, antara lain sebagai berikut.

Pertama, jalur intrakurikuler. Materi soft skill diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran setiap mata pelajaran. Cara seperti ini dipandang lebih efektif karena ada banyak metode pembelajaran yang bisa diterapkan, misalnya problem based learning, case study, project based learning, dan lain-lain.

Kedua, pendekatan ekstrakurikuler. Kemampuan soft skill anak dikembangkan lebih intensif pada kegiatan ekstrakurikuler yang mengakomodir semua minat dan bakat siswa sehingga setiap siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan soft skill yang dimiliki. Metode ini sangat cocok untuk sekolah asrama (boarding school).

Ketiga, gabungan pendekatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Perpaduan keduanya akan membentuk kualitas soft skill yang mumpuni; jika sebuah lembaga pendidikan mengakomodir dengan rapi, apik, dan teratur.

Tentu, yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana melihat secara subyektif peserta didik dengan bakat dan kemampuan atau kualitas mereka masing-masing.

Keempat, metode pelatihan. Setiap siswa, baik per kelas maupun per jenjang, dikumpulkan pada waktu tertentu untuk diberi pelatihan yang berkaitan dengan soft skill.

Hemat Penulis, selama ini belum semua sekolah menyadari pentingnya soft skill dan menyiapkan dengan baik aktivitas yang bisa menunjang soft skill peserta didik.

Untuk itu, pengembangan soft skill menjadi sangat penting dan sebaiknya dilakukan sejak dini, yaitu saat seseorang mengenyam pendidikan di berbagai jenjang dari kelompok bermain (Kober), PAUD, TKK, SD, SMP, SMA, SMK, hingga Perguruan Tinggi. Terakhir, Penulis mengutip pernyataan Peggy Klaus; “Soft skills get little respect, but make or break your career”.

*Dosen Unika Santu Paulus Ruteng

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA