Oleh: Bernardus T. Beding*
Nyepi, perayaan Tahun Baru Saka 1945 bagi umat Hindu jatuh pada 22 Maret 2023. Suasana persiapan hingga hari ‘H’ kali ini “diganggu” oleh berita mengenai perilaku Warga Negara Asing (WNA). Para turis menjadi bahan pembicaraan hangat di media-media sosial Indonesia. Tentu, perilaku para turis menciptakan keresahan dan merugikan masyarakat sekitar.
Latar keresahan terhadap “kebebasan” berperilaku dan tidak ada penghargaan pada aturan dan budaya daerah setempat. Bahkan, viral di pemberitaan media massa sejumlah turis asing berani melawan aparat kepolisian Bali.
Selain itu, beberapa wujud pelanggaran yang dilakukan oleh para turis, seperti melanggar lalu lintas dan menggunakan pelat motor palsu; bekerja secara ilegal dengan visa kunjungan; membuat petisi karena terganggu dengan suara ayam; membuat KTP Bali untuk menghindari perang di negaranya; serta overstay dan berujung dideportasi.
Tidak dapat dimungkiri juga bahwa masyarakat Bali mengalami kekawatiran akibat pertumbuhan jumlah penduduk asing dan fasilitas pariwisata yang berlebihan. Jumlah fasilitas, seperti hotel, restoran, spot-spot pariwisata semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah turis yang berkunjung ke Bali. Padahal kapasitas wilayah Bali terbilang terbatas.
Pertumbuhan dan perkembangan pesat yang bersumber secara eksternal (dari pihak luar Bali) boleh dipandang seperti gerhana matahari yang menurut mitologi Hindu sesuai Kitab Adiparwa (bagian pertama dari Mahabharata) sebagai munculnya kekuatan Kala Rau, atau Rau yang sedang memangsa matahari, karena Dewa Matahari tidak rela membiarkan Kala Rau yang merupakan bagian dari bangsa raksasa untuk mendapatkan keabadian (amerta) (Sutarya, 2016).
Hegemoni “orang asing” di negeri dewata merupakan kekuatan yang harus diwaspadai. Walaupun tidak dapat disangkal bahwa kehadiran mereka ada hal positif yang diperoleh, dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat Bali. Kehadiran para wisatawan dapat dipredikatkan sebagai Rau dan Ketu.
Sebagai Rau, kehadiran wisatawan sebagai kekuatan yang menambahkan. Sebaliknya, sebagai Ketu, kehadiran wisatawan sebagai kekuatan yang mengurangi.
Kekecewaan masyarakat Bali muncul ketika wisatawan memperlihatkan dirinya sebagai “bangsa barat”. Bahkan, perilaku lara turis asing di Bali itu membuat banyak masyarakat Indonesia marah. Tidak salah jika pemerintah Provinsi Bali mengambil tindakan keras dengan melarang para wisata untuk merental kendaraan, dan lain sebagainya.
Walaupun demikian, masyarakat Bali tetap berpegang teguh pada pesan Sarasamuscaya (Kitab Suci Hindu di Bali), berderma dan berbuat baik. Dalam konteks ini, masyarakat Bali seakan haram dan pantang untuk mengatakan tidak pada wisatawan.
Konteks Nyepi tahun ini membawa nilai kesabaran dan kesadaran bagi para penganut, khususnya masyarakat Bali untuk senantiasa menambahkan kebajikan melalui brata penyepian yang baik, yakni puasa. Aktivitas tidak menyalakan api, tidak bepergian, dan tidak mengadakan hiburan adalah bentuk penyepian yang baik.
Situasi puasa dalam nuansa Nyepi memberi makna membangun sifat-sifat baik dari dalam diri penganut dan sesama di sekitarnya.
Membangun kebajikan (darma) adalah membangun sifat anti kekerasan (ahimsa), jujur (satya), tak menginginkan milik orang lain (asteya), tak rakus makan (aharalagawa), dan tidak mengumbar nafsu (brahmacarya).
Kelima usaha ini disebut “yama” – dalam konteks kekinian bermakna selalu mengendalikan diri dari berbagai perkembangan yang terjadi (Sutarya, 2016). Kekecewaan terhadap WNA juga perku dikendalikan dengan membuka diri untuk berdialog dengan mereka.
Spirit dialog yang berkesinambungan merupakan kunci dalam membangun kehidupan yang damai. Hal ini barangkali belum secara maksimal dan intens terbangun, sehingga aturan dan budaya sering diabaikan dalam pembangunan aspek pariwisata.
Jika dilihat secara historis, masyarakat Bali sering diabaikan sejak perencanaan tahun 1971 sampai awal pembangunan pariwisata massal, yaitu kawasan Nusa Dua Bali tahun 1980-an. Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kawasan Nusa Dua Bali, kepentingan masyarakat lokal hanya sedikit yang terakomodasi. Bahkan, masih menyisakan kemiskinan pada masyarakat asli Nusa Dua.
Investasi juga hanya sedikit memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal (Sutarya, 2016). Peristiwa itu menunjukkan sebuah proses yang sama, yaitu belum intensnya dialog dan negosiasi masyarakat lokal Bali terhadap pihak “asing”.
Karena itu, momen Nyepi perlu digunakan untuk membangun dialog yang lebih baik antara masyarakat lokal, pemerintah, dan para wisatawan. Berdialog juga merupakan roh perayaan Nyepi, sebab secara historis perayaan Nyepi lahir dari hasil dialog antara Hidu dan Budha pada Kerajaan Saka di India pada awal Masehi.
Dialog tersebut menghasilkan perdamaian yang ditandai dengan perayaan Tahun Baru Saka (Nyepi). Hasil dialog tersebut tidak hanya pada tatanan kehidupan sosial, juga tatanan filosofis.
Pengakuan atas kebenaran agama-agama dan kepercayaan dalam mencapai tujuannya yang berupa kebajikan adalah hasil dialog panjang pada Kerajaan Saka yang terdiri dari berbagai etnis, pemeluk agama, dan kebudayaan.
Spirit tersebut perlu diimplementasikan dalam dialog kekinian, yaitu dialog untuk membangun kesejahteraan dan kedamaian bersama yang harus bermuara pada pengakuan bahwa setiap orang memiliki hak politik dan ekonomi.
Karena itu, dialog haruslah untuk melindungi hak-hak hidup setiap orang, sehingga setiap manusia pada hakikatnya harus berbagi ruang untuk hidup. Dialog seperti itulah yang perlu terus terbangun melalui spirit Nyepi tahun ini, sehingga kekuatan “bangsa barat” bukan sebagai masalah, tetapi sebaliknya menambahkan kebijakan beribu kali lipat.
Perayaan Nyepi, bukan hanya untuk umat Hindu, tetapi kita semua. Kita diajak dan dirangkul oleh umat Hindu untuk kembali ke jati diri, membangun keseimbangan hidup, dan menghilangkan hedonisme serta kegaduhan.
Kita semua, baik masyarakat lokal maupun wisatawan diajak untuk mengalokasikan kesempatan khusus untuk memahami diri di depan sang pencipta, masyarakat, dan lingkungan tempat kita “meletakkan kepala”.
Selamat Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Saka 1945.
*Dosen Prodi PBSI Unika Santu Paulus Ruteng