Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila*
Tanpa mengenali akar kemiskinan dan ketimpangan yang bersumber dari konflik agraria, menurut saya, kita terlalu amat sederhana menjustifikasi sekaligus mereduksi akar kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi di masyarakat sebagai respon atas kurangnya pembangunan infrastruktur dan kemalasan individu.
Akibatnya, perspektif seperti ini cenderung membebek pada sikap menerima masalah kemiskinan dan ketimpangan seolah sebagai suatu yang terberi dan alamiah.
Padahal, problem kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi di masyarakat sebagaimana dicatat Karl Marx lahir dan dibentuk lewat suatu sistem masyarakat yang tidak adil. Ketidakadilan itu dapat ditemukan dalam masyarakat yang memiliki alat produksi dengan masyarakat yang tidak punya alat produksi.
Di sinilah akar kemiskinan dan ketimpangan itu dibentuk, ketika pemilik alat produksi (tuan tanah) mengakumulasi profit lebih banyak. Sementara di pihak lain, ada kelas (petani) yang terpinggirkan karena pengisapan oleh kelas pemilik modal melalui berbagai mekanisme perampasan.
Menurut saya, problem kemiskinan dan ketimpangan di NTT tidak pernah lahir begitu saja. Ia lahir dari sejarah yang panjang sekaligus reaksi atas kondisi sosial di masyarakat yang tidak adil. Dalam perspektif agraria, problem itu lahir dari kepemilikan atas tanah luas oleh individu (tuan tanah), sementara ada individu (petani) yang tidak punya akses dan kepemilikan atas tanah. Lebih jauh, diperparah oleh praktik perampasan tanah (land grabbing), yang disokong negara atas nama pembangunan dan investasi.
Pada titik inilah konflik agraria itu lahir. Konflik tersebut bahkan semakin kronis, ketika tidak ada komitmen penyelesaian konflik agraria. Sebagaimana dicatat Komnas HAM, dalam kurun waktu 8 tahun terakhir terjadi peningkatan konflik agraria karena massifnya pembangunan. Dalam laporannya, Komnas HAM mencatat, selama 2021 menerima aduan terkait konflik agraria sebanyak 538, dan pada tahun 2022 meningkat menjadi 540 kasus konflik agraria (Bdk; Kompas.com, 19/04/2023). Sayangnya, sebagaimana dicatat Komnas HAM, belum ada upaya menyelesaikan dan menuntaskan konflik agraria di Indonesia.
Di NTT dalam laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terjadi kriminalisasi dan penangkapan terhadap 24 warga adat Rendu-Nagekeo, karena menolak pembangunan waduk Lambo, karena merampas tanah dan ruang hidup warga. Selain itu, kriminalisasi juga dialami oleh 42 warga yang menolak kebijakan penaikan tiket ke pulau Komodo. Tentu, ini hanya sekian saja konflik agraria dan kriminalisasi yang terekspos ke publik, yang dialami oleh warga, karena kegigihan mereka mempertahankan tanah dan ruang hidupnya.
Tulisan ini mau mendiskusikan dan menggali lebih jauh apa yang bisa kita pelajari dari konflik agraria di NTT. Saya kira, dari berbagai konflik agraria di beberapa tempat di NTT, misalnya, Sumba, Mangarai Barat, Manggarai, Nagekeo, Besipae, dan beberapa tempat lain, mengandung pelajaran bagi proses penghidupan warga (petani) yang kian terancam oleh massifnya gelombang pembangunan dan investasi.
Kaya Tapi Miskin?
Harus kita akui, Provinsi NTT memiliki banyak sumber daya alam yang menguntungkan jika dikelolah dengan baik. Sektor pariwisata di Labuan Bajo, Sumba, Nagekoe merupakan daerah dengan sektor wisata strategis yang menguntungkan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sementara itu, sektor pertanian, seperti di Manggarai Timur, Manggarai, Ngada dapat memberikan banyak nilai ekonomis bagi daerah. Di samping itu, sektor perikanan dan peternakan di Ende, Sikka, Sumba, dan beberapa daerah di NTT, mampu menggenjot dan mendongkrak perekonomian daerah.
Secara geografis dengan kekayaan sumber daya alamnya itu, NTT menjadi daerah strategis yang memerlukan perhatian serius pemerintah. Namun, di sinilah masalahnya, sektor strategis tersebut kurang dioptimalisasi demi mendukung dan menggenjot perekonomian di dalam masyarakat. Sebaliknya, potensi alam yang kaya justru memicu banyak konflik agraria di NTT, karena masuknya investasi dan pembangunan yang bercorak kapitalistik.
Persis pada tingkat ini, jika kita berkaca pada berbagai konflik agraria di NTT, misalnya, konflik masyarakat dengan pemerintah di Bowosie, Manggarai Barat, karena adanya proyek wisata alam. Proyek wisata alam di Bowosie itu memantik problem struktural, seperti terancamnya keberadaan warga lokal serta kepemilikan tanah warga lokal yang mulai susut akibat proyek wisata tersebut (Bdk; Tempo, 25/04/2022; baca juga liputan Floresa, 30/09/2022).
Di tempat lain, konflik agraria di Sumba memperlihatkan bagaimana pendekatan yang dijalankan lebih bernuansa otoriter. Sebagaimana dicatat WALHI NTT, selama 3 tahun terakhir terjadi konflik agraria antara masyarakat adat dan pemerintah serta masyarakat dan pihak investor, seperti konflik mengenai tanah seluas 500 hektare yang diklaim sudah menjadi milik Pemprov sejak 2001 (Bdk; Mongabay, 07/12/2021). Sementara konflik agraria di Sumba juga telah mengorbankan nyawa seorang petani bernama Poro Duka, yang gigih mempertahankan tanah dan ruang hidupnya.
Sementara di Besipae, Timor Tengah Selatan (TTS), konflik agraria memicu berbagai tindakan represif oleh negara. Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan aparat keamanan melakukan pembongkaran dan penggusuran paksa rumah masyarakat. Bahkan, sebagaimana diberitakan, salah satu rumah masyarakat adat Besipae dibakar oleh sekelompok orang yang tidak dikenal (Bdk; CNN Indonesia, 17/10/2020).
Konflik yang melibatkan masyarakat di satu sisi berhadapan dengan negara dan korporasi di sisi lain, tentu saja sangat berkelindan dengan problem perebutan ruang (tanah dan sumber daya alam). Di sisi lain, konflik agraria di NTT tersebut juga menjustifikasi pola kekuasaan negara di aras lokal dan korporasi yang hendak menegakan kepentingan politik sekaligus ekonomi yang berwatak kapitalistik-neoliberal.
Selain menegakkan dan menancapkan kepentingan politik dan ekonomi neoliberal melalui penyerobotan paksa tanah dan lahan warga, konflik agraria tersebut juga menjelaskan logika primitive accumulation (lihat tulisan Arianto Sangadji, Prisma; Vol. 38, No. 3, 2019) lewat pemisahan petani dari tanah dan ruang hidupnya.
Lebih jauh sebagaimana dicatat Noer Fauzi Rahman lewat artikelnya yang berjudul, ‘Meneliti Proses Kebijakan Land Reform Indonesia’ (dalam Prisma, Vol. 38, No. 3, 2019), petani yang semula memiliki hubungan yang erat dengan tanah dan kekayaan alam justru diceraikan secara paksa, bahkan brutal, yang melahirkan petani tanpa tanah. Dengan skema pemisahan dan perampasan tanah inilah, petani yang tidak punya lahan menjadi subjek yang oleh Marx sebut sebagai tenaga kerja bebas, yakni bekerja demi mendapatkan upah untuk bisa bertahan hidup.
Sangat disayangkan, proses pemisahan petani dari tanah dan ruang hidupnya berlangsung dalam dan melalui pola kekuasaan yang tidak demokratis. Ini berlangsung sedemikian rupa, misalnya, klaim kepemilikan lahan oleh negara seperti di Sumba, pengerahan aparat keamanan, intimidasi, bahkan secara terang-terangan melakukan pembongkaran dan penggusuran paksa warga dari tanah seperti yang dialami oleh masyarakat Besipae.
Jadi, buat saya, konflik agraria di NTT tidak hanya dibaca dalam perspektif terpinggirnya masyarakat dari tanah dan ruang hidupnya. Tetapi juga menunjukan pola kekuasaan dan kepentingan akumulasi kapital, yang bertengger dalam rangka melanggengkan akumulasi modal (nilai lebih) bagi kepentingan kapitalis. Pada titik ini, masyarakat tidak memperoleh keuntungan ekonomis, tetapi kehilangan sumber produksi.
Karena itu, konflik agraria yang terjadi di NTT, menurut pembacaan saya, sama sekali tidak memberikan prospek terhadap produktivitas ekonomi di tengah masyarakat. Sebaliknya, konflik itu justru memicu dan melahirkan sekaligus melanggengkan banyak problem seperti, ketimpangan agraria dan perampasan tanah (land grabbing), yang bermuara pada pemiskinan struktural di NTT.
Pelajaran dari Konflik Agaria di NTT
Di tengah rentetan konflik agraria di NTT, maka sudah saatnya konflik tersebut harus dihentikan. Selain karena telah menimbulkan korban jiwa, konflik agraria tersebut juga memperlihatkan rendahnya kualitas demokrasi lokal di NTT. Padahal, sebagaimana kita tahu, demokrasi merupakan pintu masuk bagi terciptanya kemakmuran di pedesaan.
Lewat artikelnya yang berjudul, Persoalan Agraria dan Demokrasi di Indonesia, Iqrah Anugrah (lihat Prisma, Vol. 38, No. 3, 2019) menguraikan bagaimana korelasi problem ketimpangan agraria, diferensiasi kelas dalam konteks pedesaan, perampasan tanah, kesenjangan ekonomi, telah memburuk kualitas dan trajektori demokrasi di aras lokal.
Konflik agraria di NTT, seperti di Besipae, Sumba, Nagekeo, Manggarai Barat dan beberapa tempat lain, mengajak kita untuk semakin kritis sekaligus meningkatkan perlawanan atas berbagai perampasan tanah yang dialami dan mengorbankan petani kecil. Apalagi, di tengah massifnya pembangunan dan investasi, perampasan tanah itu mudah dilakukan dan hak masyarakat dengan mudah dilucuti melalui jargon ‘kesejahteraan petani’.
Tentu upaya untuk menjaga kedaulatan petani dari ekspansi kapital yang disokong lewat investasi dan pembangunan, yang mengorbankan tanah dan ruang hidupnya, memerlukan solidaritas masyarakat akar rumput (grassroots solidarity) dalam menegakkan kepentingan petani dan keberlanjutan hak-hak mereka di atas tanah dan ruang hidup mereka.
Tanpa solidaritas di kalangan masyarakat, yang melibatkan LSM, akademisi, gereja, mahasiswa, media/pers, petani, nelayan, dan kelompok lainnya, menurut saya, konflik agraria bisa semakin meluas. Kita bisa baca bagaimana sikap penolakan warga Poco Leok saat ini atas rencana eksplorasi geothermal di wilayah mereka, merupakan bagian dari konflik agraria, yang mencoba menceraiberaikan mereka dari tanah dan ruang hidupnya.
Pada akhirnya, kita harus menolak berbagai tipu daya kapitalisme yang hendak mengekstrak seluruh kekayaan alam di NTT. Atas nama investasi dan pembangunan, kita mesti kritis dan mempertanyakan setiap gerak investasi dan pembangunan yang masuk ke NTT, apakah itu membawa kesejahteraan atau malapetaka bagi kehidupan dan masa depan generasi masa depan NTT.
*Alumnus Universitas Merdeka Malang-Program Studi Administrasi Publik